Aku seakan tak melihatnya dan terus aku mengerjakan tugasku. Saat selesai mengerjakannya, aku sedikit memberanikan diri dan bertanya, "apakah kamu baik-baik saja?" Doni menjawab dengan tersenyum "i'm okay."
Keadaan yang sama yang dilakukannya setiap hari selama sebulan. Sepertinya aku harus menanyakan kepada Doni. Tapi, aku merasa canggung dengan sikapnya yang masih terus pendiam walaupun aku sering membuat lelucon. Paling ketawa seadanya. Itu saja.
Akhirnya aku mencoba mencari tahu tentang kehidupannya secara diam-diam. Mungkin saja dia sedang menghadapi masalah ekonomi, keluarga atau masalah percintaan.
Ternyata ini yang ku dapat: Doni adalah anak seorang pejabat. Ayahnya mengepalai satu instansi dan ibunya seorang bidan di rumah sakit daerah. Doni juga adalah lulusan dari Singapore dan paling mengagetkan adalah, dia belum pernah menjalin hubungan asrama.
Ah, ada yang tidak beres. Pikirku. Malam itu, aku benar-benar memantapkan nitku untuk bertanya langsung padanya.
Keesokan harinya, seperti biasa. Doni datang selalu 15 menit lebih awal. Dan selalu dengan wajah gembira.Â
Saat bekerja aku hanya memperhatikan dia dari kejauhan. Tidak sabar lagi aku untuk bertanya padanya. Beberapa menit kemudia, Doni melakukan hal yang sama. Matanya mengeluarkan air mata sambil ia menutup matanya.
"Don, apa yang terjadi? kamu sedang mengalami masalah apa? ayo cerita sama aku. Aku tidak tega melihat kamu menangis setiap hari. Ada aku yang yang siap mendengarkan kamu." Aku pun kaget seketika, mengapa bisa mengatakan hal itu pada Doni. Padahal Aku hanya mau menanyakan alasan dia menangis.
"I'm okay. Aku hanya tidak bisa tahan ketika mengupas dan memotong bawang merah." Kata Doni sambil melihatku dengan matanya yang masih perih.
"Terima kasih, sudah bersedia menjadi teman yang mau mendengarkanku. Bolehkah lebih dari seorang teman?"
Dengan perasaan campur aduk antara sedikit malu dan jengkel padanya. Aku masih berdiri kaku dan hendak keluar dari ruangan itu.Â