Tuhan lebih sayang adalah sebuah pernyataan kepasrahan atas kedaulatan kekuasaan-Nya. Ia berdaulat atas semua ciptaan-Nya, yaitu langit dan bumi serta segala isi di dalamnya. Semua makhluk yang bernafas ada di dalam kedaulatan-Nya. Apa saja yang Tuhan buat adalah yang terbaik menurut pemandangan-Nya.
Pernyataan ini biasanya terucapkan secara spontan ketika seseorang meninggalkan. Keluarga, kerabat dan handaitolan akan menyatakan itu bila orang-orang yang dikasihinya wafat. Mereka menyatkan itu dengan nada suara yang paling lirih yang dipunyai. Dan orang yang mendengar dengan serta merta berkata: Ia memiliki iman yang mantap.
Misalnya orang yang setia bersama Tuhan dalam melakukan segala pekerjaan-Nya wafat, pernyataan ini dinyatakan.Â
Orang-orang muda yang hidup menuruti kehendak Tuhan dan wafat, orang di sekelilingnya layak menyatakan itu. Intinya mereka yang dalam keadaan sehat dan pulang ke haribaan Sang Pencipta, pernyataan ini sangat menguatkan.
Aku tidak akan masuk ke areal atau dimensi rohani yang lebih dalam. Biarlah itu menjadi porsi para rohaniwan atau mereka yang lebih paham tentang hal itu. Di sini aku hanya ingin menyampaikan kebiasaan orang Kupang, khususnya Tilong menyangkut hal ini.
Dan aku tak akan menguraikan secara ada budaya atau ritual-ritual tertentu. Tapi aku akan menceritakan saja kepada para pembaca kejadian yang aku temui. Dan nanti teman-teman pembaca yang menyimpulkannya. Entah benar entah salah, kuserahkan pada pembaca yang budiman.
Ada seorang mahasiswa berhasil melalui seluruh rangkaian perkuliahan dengan sukses. Ia telah berjuang selama lebih kurang delapan semester yang melelahkan. Dan ia mampu mengatasi segala rintangan dengan baik walau sesekali ada air mata tanda tak mampu. Tapi akhirnya berhasil lulus dan diwisuda atau dinobatkan sebagai sarjana.
Sesudah upacara atau ritual sakral yang melegalkannya jadi seorang ahli, ia pulang. Kembali ke kediamannya. Entah di rumah sendiri atau di kos. Yang pasti kembali ke kehidupan sehari-hari seperti yang ia lalui sebelumnya. Dia pun merencanakan sebuah perayaan kecil.
Dengan segala daya yang ia miliki, ia mengundang teman-teman dekatnya. Dan mereka menikmati hidangan ala kadar sekedar penanda ada sebuah kegembiraan. Dan lewat kegembiraan itu, mereka menghangatkan badan demi meriangkan suasana dengan alcohol sekadarnya.
Ia merupakan pernyataan ucapan selamat yang tak terucapkan dan tak perlu dikatakan. Cukup dengan sikap bersenang riang bersama orang-orang seangkatan. Sesama anak muda yang penuh imajinasi. Anak muda yang berlimpah kreativitas dan banyak kelebihan lainnya.
Mereka bersama-sama menghabiskan malam dengan menikmati minuman itu. Air yang memberi kenyamanan kehangatan yang sering juga memanaskan dan membakar. Dan menikmatinya dalam suasana akrab yang sangat karib sambil melontarkan cerita-cerita kecil sederhana seputar perjalanan perkuliahannya hingga tuntas di ruang wisuda.
Di dalam keasyikannya, mereka lupa sudah berapa banyak botol yang dikosongkan. Mereka tidak ambil pusing. Tak perlu dihitung. Yang penting senang riang merayakan kemenangan. Sebab ini adalah hari kemerdekaan. Kebebasan dari segala keterikatan kuliah yang menjemukan menyebalkan.
Di dalam keseruannya, hari sudah berganti walau suasana masih gelap. Mereka tetap tidak ingin berpisah hanya alat pemersatunya telah tandas ludas. Apalagi mereka masih segar. Maka mereka pun beranjak dari tempat semula karena jenuh tiada aktivitas yang menyenangkan.
Tanpa berpikir panjang mereka keluar dari rumah demi menikmati udara sejuk subuh. Masing-masing dengan kendaraannya berkonvoi berkejar-kejaran. Memacu motor dengan cara yang tidak biasa karena suasana sepi dan dikuasai air penyemangat tadi.
Mereka kebablasan karena keasyikan. Ditambah, takada yang melarang atau pun menegor. Masing-masing melakukan menurut apa yang dianggapnya keren dan patut. Ini sebuah bentuk aktualisasi diri yang sangat keliru. Tapi nasi telah menjadi bubur dan sudah basi pula.
Terjadilah kecelakaan yang tak diinginkan. Seorang di antara mereka menabrak pembatas jalan yang agak tinggi. Motor hancur berkeping serpihan. Sedangkan orangnya mati di tempat dengan otak dan potongan dagingnya berserakan.
Dalam situasi seperti itu, mereka tak bisa berbuat banyak kecuali melakukan yang mereka bisa. Semua terpana diam membisu. Ada ketakutan dan kebingungan entah mau bertindak berbuat apa? Maka tanpa aba-aba tanpa komando mereka melontarkan ini: "Tuhan lebih sayang dia." Betulkah?
Tabe!Â
Tilong-Kupang, NTT
Rabu, 22 September 2021 (08.48 wita)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H