Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat dari Maut, Mari Belajar dari Hal Kecil!

6 Januari 2021   09:26 Diperbarui: 6 Januari 2021   09:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Satu kebiasaan di dalam keluargaku yang "wajib" kami lakukan bersama adalah belanja bulanan. Namanya belanja bulanan, artinya hanya sebulan sekali. Itu sebabnya, kami selalu saling menyesuaikan waktu agar bisa pergi bersama-sama. Kalau ada yang berhalangan, berarti harus mencari kesempatan di lain hari. Dan seterusnya demikian.

Belanja bulanan ini biasanya, dan pasti, sehabis gajian. Kadang di akhir bulan atau di awal bulan berikutnya. Waktu belanjanya selalu di sore hari hingga malam (maksimal pukul dua puluh kurang lebih, karena kami harus melakukan mesbah keluarga -- doa bersama sebelum tidur).

Di samping itu, biar tidak panas. Juga karena memang kami baru berkumpul kembali di rumah di sore hari. Baru berkumpul setelah beraktivitas seharian (bekerja/mengajar, kuliah atau sekolah).

Syukur pada Tuhan karena Ia telah memberkati kami dengan dua motor yang lumayan. Tidak mentereng sekali, tapi juga tidak jelek amat. Sangat membantu untuk transportasi sehari-hari. Kuda besi yang setia mengantar kami pergi ke sekolah atau kampus dan kembalinya.

Lumayan! Bahkan sangat memudahkan kami kalau bepergian. Minimal untuk berkeliling kota Makassar. Kami belum berani menjelajah ke luar kota melewati jarak 100 kilometer. Belum berani karena kami orang baru, selain tugas kerja yang sewaktu-waktu menuntut kehadiran.

Anggota keluargaku yang ada di rumah hanya berempat. Maka ke manapun pergi, kami selalu boncengan dan beriringan. Saat yang pasti bagi kami untuk pergi bersama-sama/beriringan adalah ke gereja dan ke Supermarket -- Pasar Swalayan. 

Di antara kami berempat, baru aku dan anak pertamaku, Lorrinne (berusia 19 tahun), yang mempunyai surat ijin mengemudi. Maka dengan sendirinya, kami berdualah yang mengemudi. Putra bungsuku, Rommy (berumur 15 tahun), dibonceng Kakaknya. Dan aku membonceng istriku tercinta.

Tempat yang paling sering kami datangi untuk kegiatan ini (belanja bulanan) adalah Mal Panakukang. Selain dekat, juga karena ada banyak obyek/hal yang bisa dilihat dan dinikmati. Dari sekian banyak obyek kunjungan yang bisa dan biasa kami habiskan waktu, Toko buku Gramedia adalah yang terpopuler.

Walaupun di sana kami lebih sering menikmati secara rohani daripada jasmani. Artinya kalau ke toko buku, kami lebih banyak melihat-lihat daripada membeli. Tetapi kalau kebetulan ada buku yang bagus, maka baru akan disisihkan dana untuk membelinya di bulan berikut.

Jadi kami jarang membeli sesuatu tiba-tiba tanpa perencanaan. Apapun yang kami belanjakan selalu melalui sebuah perhitungan perencanaan. Kami membiasakan diri merayakan hidup menyesuaikan dengan kondisi keuangan. Yang bisa dibeli secara mendadak adalah makanan dan minuman penghalau lapar dan dahaga.

Sejak aku menikah, kami -- aku dan istriku -- belajar dan berusaha melatih diri untuk mengatur pengeluaran sesuai rencana. Termasuk belanja bulanan pun, sudah ada daftar yang pasti. Sehingga kalaupun melenceng atau ada -- semacam -- distorsi atau deviasi, tak terlalu membengkak yang membuat kelimpungan.

Malam hari itu adalah Rabu tanggal 28 Oktober 2009. Sehabis transaksi, kami pulang berboncengan seperti biasanya. Barang belanjaan bergelantungan di leher motor sebagaimana yang sudah-sudah. Motor sampai termehek-mehek dibuatnya.

Saat beranjak dari parkiran, Kakak -- demikian kami memanggil Lorrinne -- menyerahkan kunci motor ke Bung -- panggilan Rommy. Ia yang menyetir. Walaupun belum memiliki SIM, tapi ia cukup terampil untuk mengendarai motor. Aku tidak menyetujui tapi tidak juga mencegah atau melarang. Semua mengalir saja.

Rute kembali yang paling sering kami lewati sehabis berbelanja di Panakukang adalah: Jalan Pengayoman -- Jalan Pettarani. Lalu setibanya di pertigaan, pertemuan Jalan Pettarani dan Jalan Sultan Alaudin, kami belok kanan. Kira-kira 30 meter dari situ, belok kiri ke Jalan Manuruki sampai keluar ke jalan Daeng Tata untuk kemudian masuk ke komplek Hartaco Indah.

Tapi malam ini tidak. Kami tidak melalui Jalan Manuruki. Di ujung Jalan Pettarani, aku memberi tanda belok kiri ke arah Jalan Sultan Alaudin yang menuju Sungguminasa. Kemudian dari lampu pengatur lalu lintas atau perempatan Malengkeri, Sungguminasa dan Gowa akan belok kanan masuk  Jalan Daeng Tata.

Memasuki Jalan Daeng Tata, Rommy dan Lorrinne duluan. Mereka melaju di depan, mendahului kami. Ketika aku sampai di jalan masuk kendaraan ke dalam terminal Malengkeri, aku mendengar bunyi benturan yang sangat keras. Jarak jalan masuk ke terminal dan lampu merah hanya sekitar 50 meter.

Belum hilang bunyi itu di telinga, aku melihat samar-samar dua orang tergeletak di aspal. Mereka tergeletak di depan jalan keluar kendaraan dari dalam terminal Malengkeri. Jarak antara jalan masuk dan jalan keluar terminal berkisar 15-20 meter.

Mereka nyaris masuk selokan. Secara reflek aku teriak mengingatkan istriku: "Rommy." Oh, ternyata orang lain. Lega hati kami berdua. Kami melihat mereka yang terjatuh bangun dan merapikan diri dalam keadaan agak sempoyongan.

Kira-kira 10-20 meter di depan, aku melihat banyak orang berkerumun di pinggir jalan. Aku dan istriku mulai perlahan. Maksudnya, aku menjalankan motor perlahan sekali dan agak menepi untuk mengetahui apa yang terjadi.

Ternyata Kakak sedang menangis sambil berjongkok di samping belakang motor. Sementara Bung masih diam di atas motor sembari terus menahan motor dan berat badannya dengan kaki kiri. Sedangkan kaki kanannya dibiarkan menggantung menyandar lemas di sisi kanan motor.

Istriku turun mendekati mereka dan turut pula menangis. Semakin dekat kulihat, aku dapati kaki kanan Bung berdarah di bagian punggungnya (punggung kaki). Darah mengocor seperti air dari talang saat turun hujan. Mesin motor di sebelah kanan tempat kakinya menggantung, penuh darah.

Masyarakat sekitar menggendong Bung ke dalam sebuah apotek di situ. Aku bilang Kakak agar tenang, kuasai diri dan berdoa. Selanjutnya kubilang padanya agar mengambil alih kemudi. Dia yang menyetir motor maksudku.  

"Jangan menangis. Kakak yang akan menyetir. Kakak harus konsentrasi," kataku pada Kakak. Anak perempuanku ini kelihatan segan dan ingin menolak karena dia juga lemas. Lemas mengalami kecelakaan tadi. Tapi tidak ada pilihan.

Rommy pucat sekali. Wajahnya yang kecoklatan berubah putih seperti habis dilaburi bedak tebal. Ia tak bersuara. Pemilik apotek berbaik hati dan dengan sukarela membalut lukanya sebagai tindakan P3K. Terima kasih kami haturkan.

Saat itu juga, dengan menumpang pete-pete (angkot dalam dialek Makassar), Bung dibawa ke R.S. Bhayangkara di Jalan Mappa Oudang. Jaraknya dari TKP dapat ditempuh dalam 10 menit. Bung ditemani istriku. Kakak dan aku kembali ke rumah untuk menurunkan belanjaan lalu menyusul ke rumah sakit.

Diam-diam benakku memprediksi: "Patah." Logikanya, karena sayap motor sobek dan penutup mesin hancur. Aku pasrah. Tak ada kata-kata yang terucap dari Kakak, kecuali terus menangis. Dan menangis sejadi-jadinya. Aku terus berusaha menenangkan dan tak putus-putus pula mohon pertolongan Tuhan.

Di UGD (unit gawat darurat R.S. Bhayangkara), aku melihat Rommy hanya meringis menahan rasa sakit. Sementara sepasang petugas kesehatan -- entah dokter, entah mantri -- terus menjahit menyatukan kulit luka yang menganga.

Istriku dan Kakak duduk di luar. Selain menunggu obat yang lagi dipesan, juga mereka ngeri dan ngilu untuk melihat. Aku bertanya apakah berbahaya? Bagaimana dengan tulangnya?

"Ndak apa-apa ji," jawab petugas laki-laki yang sedang menjahit. Ia seperti sedang memaksa menyatukan mulut karung dengan tali/benang rafia. Karung goni yang terisi penuh sesak melewati batas kapasitas yang semestinya. "Cuma lecet kecil di kulit," lanjutnya sambil terus sibuk menghalau darah dengan tisu beralkohol yang terus keluar.

"Puji Tuhan." Syukurku meluap dari dalam hati. Walaupun beberapa saat kemudian aku tak tahan pula melihat dan akhirnya berjongkok. Kepalaku pening tiba-tiba dan pandangan agak buram. Kata orang-orang, kunang-kunang. Aku berjongkok di samping bangsal tempat Bung berbaring dan direparasi.

"Engkau baik Tuhan. Sungguh amat baik. Terima kasih Yesus atas anugerah keselamatan yang Kauberi. Terpujilah Tuhan Yesus." Itulah ucapan syukur kami dalam mesbah keluarga setelah berada di rumah. Haleluyah!

Nah, teman-teman pembaca yang terhormat, pembelajaran apa yang ingin saya bagi? Pertama, kalau teman-teman melihat sesuatu dan kurang nyaman, tegorlah. Terutama untuk anggota keluarga kita. Apalagi kalau tidak ada damai sejahtera, jangan biarkan hal itu berlanjut.

Kedua, jangan biarkan orang-orang yang kita kasihi melanggar hukum dengan berkendara tanpa surat ijin. Tunggu sampai masanya agar secara moral ia bertanggung jawab atas segala tindakannya. 

Kiranya bermanfaat!

 Tilong-Kupang, NTT

 Rabu, 6 Januari 2021 (10.21 wita)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun