Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat dari Maut, Mari Belajar dari Hal Kecil!

6 Januari 2021   09:26 Diperbarui: 6 Januari 2021   09:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Jangan menangis. Kakak yang akan menyetir. Kakak harus konsentrasi," kataku pada Kakak. Anak perempuanku ini kelihatan segan dan ingin menolak karena dia juga lemas. Lemas mengalami kecelakaan tadi. Tapi tidak ada pilihan.

Rommy pucat sekali. Wajahnya yang kecoklatan berubah putih seperti habis dilaburi bedak tebal. Ia tak bersuara. Pemilik apotek berbaik hati dan dengan sukarela membalut lukanya sebagai tindakan P3K. Terima kasih kami haturkan.

Saat itu juga, dengan menumpang pete-pete (angkot dalam dialek Makassar), Bung dibawa ke R.S. Bhayangkara di Jalan Mappa Oudang. Jaraknya dari TKP dapat ditempuh dalam 10 menit. Bung ditemani istriku. Kakak dan aku kembali ke rumah untuk menurunkan belanjaan lalu menyusul ke rumah sakit.

Diam-diam benakku memprediksi: "Patah." Logikanya, karena sayap motor sobek dan penutup mesin hancur. Aku pasrah. Tak ada kata-kata yang terucap dari Kakak, kecuali terus menangis. Dan menangis sejadi-jadinya. Aku terus berusaha menenangkan dan tak putus-putus pula mohon pertolongan Tuhan.

Di UGD (unit gawat darurat R.S. Bhayangkara), aku melihat Rommy hanya meringis menahan rasa sakit. Sementara sepasang petugas kesehatan -- entah dokter, entah mantri -- terus menjahit menyatukan kulit luka yang menganga.

Istriku dan Kakak duduk di luar. Selain menunggu obat yang lagi dipesan, juga mereka ngeri dan ngilu untuk melihat. Aku bertanya apakah berbahaya? Bagaimana dengan tulangnya?

"Ndak apa-apa ji," jawab petugas laki-laki yang sedang menjahit. Ia seperti sedang memaksa menyatukan mulut karung dengan tali/benang rafia. Karung goni yang terisi penuh sesak melewati batas kapasitas yang semestinya. "Cuma lecet kecil di kulit," lanjutnya sambil terus sibuk menghalau darah dengan tisu beralkohol yang terus keluar.

"Puji Tuhan." Syukurku meluap dari dalam hati. Walaupun beberapa saat kemudian aku tak tahan pula melihat dan akhirnya berjongkok. Kepalaku pening tiba-tiba dan pandangan agak buram. Kata orang-orang, kunang-kunang. Aku berjongkok di samping bangsal tempat Bung berbaring dan direparasi.

"Engkau baik Tuhan. Sungguh amat baik. Terima kasih Yesus atas anugerah keselamatan yang Kauberi. Terpujilah Tuhan Yesus." Itulah ucapan syukur kami dalam mesbah keluarga setelah berada di rumah. Haleluyah!

Nah, teman-teman pembaca yang terhormat, pembelajaran apa yang ingin saya bagi? Pertama, kalau teman-teman melihat sesuatu dan kurang nyaman, tegorlah. Terutama untuk anggota keluarga kita. Apalagi kalau tidak ada damai sejahtera, jangan biarkan hal itu berlanjut.

Kedua, jangan biarkan orang-orang yang kita kasihi melanggar hukum dengan berkendara tanpa surat ijin. Tunggu sampai masanya agar secara moral ia bertanggung jawab atas segala tindakannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun