Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semua Kembali, Utuh!

11 Agustus 2020   05:06 Diperbarui: 11 Agustus 2020   05:05 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku terbiasa berangkat kerja pagi. Yaitu waktu yang bebas dari kemacetan dan keruwetan di perjalanan. Aku membiasakan diri begini agar sampai di tempat kerja, tetap fresh bukan stress.

Fresh karena jalanan masih cukup lengang. Masih sedikit kendaraan yang berseliweran. Udara pun masih sejuk. Tanpa polusi asap knalpot. Tanpa polusi suara dan juga polusi udara.

Dengan alasan-alasan tadi, maka aku tak perlu ngebut. Santai saja. Paling cepat empat puluh kilo meter per jam kupacu motor. Mungkin juga kurang dari itu. Ibaratnya sambil ngopi di motor pun tak terganggu. Aman!

Aku bekerja sebagai guru di SD Bambini. Lokasinya di jalan Mesjid Raya, kecamatan Bontoala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Tempat tinggalku di Komplek Perumahan Hartaco Indah Blok 4 G nomor 14, Kelurahan Parang Tambung, Makassar.

Jarak perjalanan yang harus kutempuh dari rumah ke sekolah hanya berkisar 7-8 kilometer. Cukup ditempuh dalam waktu 15-20 menit. Dan seperti kubilang tadi bahwa aku cukup menggelinding pelan-pelan saja.

Banyak akses yang bisa kuambil menuju sekolah dari rumah. Tapi aku lebih sering melalui rute ini: Jalan Daeng Tata -- Jalan Daeng Ngepe. Belok kanan ke Jalan Kumala. Aku sengaja mengambil jalan itu agar bisa sekalian mengantar Rommy, putra bungsuku.

Ia bersekolah di SMA Frater yang berjarak seratus meter dari belokan tadi. Kemudian terus masuk Jalan Veteran Selatan dan berakhir di ujung Jalan Veteran Utara. Lalu belok kanan ke Jalan Mesjid Raya.

Di sini ada lampu pengatur lalu lintas yang memisahkan Jalan Veteran dan ke Utara masuk Jalan Bandang. Pemisah kedua jalan tadi adalah Jalan Mesjid Raya ke arah Timur menuju Jalan Urip Sumohardjo. Sekolah tempatku mengajar berlokasi di sisi kanan Jalan Mesjid Raya. Sekitar tujuh puluh meter dari perempatan ini.

Hari itu adalah Senin tanggal 23 November 2009. Aku menyusuri rute itu sebagaimana biasanya. Dan seperti biasa pula, aku tiba di sekolah jam 07.10. Atau maksimal, 07.15 wita.

Aktivitas pertama yang biasa aku lakukan setibanya di sekolah adalah baca Alkitab. Itu selalu kulakukan setelah mengisi absensi dan sebelum bel upacara atau memulai pelajaran.

Tapi hari ini spesial sekali. Aku tak bisa lakukan semua itu. Aku baru tiba pukul 08. 45 atau lebih. Terlambat sekali. Keterlambatan itu karena aku sibuk mencari tas yang tercecer di jalan. Entah di mana?

Ceritanya begini!

Ketika aku tiba di perempatan jalan Landak ada lampu merah. Semua kendaraan berhenti. Begitu lampu hijau semua bergerak maju. Motor-motor berusaha menyerobot menyelip menyalip agar bisa mendahului yang lainnya.

Berjarak 200 meter dari lampu pengatur lalulintas itu, ada  U turn (tikungan untuk berbalik arah). Sebuah angkot -- orang Makassar menyebutnya pete-pete -- tiba-tiba menikung untuk kembali ke arah kami datang.

Ia memutar balik tanpa lampu tanda belok. Ia tidak menyalakan lampu isyarat belok. Maka terjadilah kegaduhan. Huru-hara. Banyak kendaraan mendadak rem menghindari tabrakan. Bunyi kernyit terdengar di mana-mana.

Sekonyong-konyong, sebuah motor di belakangku yang dikendarai seorang anak muda nyelonong menyeruduk kayak banteng. Dia kehilangan kendali karena ngebut. Dia tak menyangka kalau kendaraan-kendaraan yang di depannya mendadak menghentikan lajunya.

Dia menerabas sisi kiriku dan menyenggol stang/stir motor. Aku oleng. Maka kuturunkan kaki kiri sebagai penyeimbang. Bukannya berhenti, dia malah menabrak pengendara motor lainnya di depanku. Yang ditabrak seorang bapak berusia sekitar empat puluhan. Mereka bertengkar. Ribut.

Agar tidak semakin macet, aku meneruskan perjalanan. Toh, aku bukan sumber masalah. Aku juga tidak kenapa-kenapa. Lecet pun tidak. Tapi rasanya ada yang ganjil. Maka sekitar seratus meter dari tempat kejadian perkara, aku menunduk mengecek tas.

Tasku yang sejak dari rumah terapit di antara kedua lutut, stir dan jok yang kududuki. Nihil. Tidak ada. Aku panik. Keringat mengucur deras. Aku berbalik arah berusaha menemukannya. Tak ada. Raib. Entah ke mana dan di mana.

Sebagai tindakan awal, aku melapor ke kantor polisi terdekat. Yaitu di Polsek Mamajang di samping hotel Sahit, di belakang Mal Ratu Indah. Sesudahnya, aku menuju sekolah dengan lunglai dan kehilangan gairah. 

Tas itu murah. Tapi memiliki nilai historis bagiku. Karena tas hitam itu adalah pemberian istriku ketika aku akan bertugas ke Makassar. Isinya pun tidak ada yang mewah. Tapi mahal.

Bukan harganya yang mahal. Tapi nilainya. Mungkin juga langka. Tidak semua benda dalam tas itu langka. Ada beberapa yang langka. Karena ketika aku berusaha mencari penggantinya tak kutemui.

Isi tasku itu antara lain: Dompet, botol minum, pisang raja 3 buah bekal pencuci mulut setelah makan siang nanti. Ada juga dua buku bacaan yang baru kubeli dan baru beberapa halaman kubaca.

Dan, inilah yang paling mahal dan langka, Alkitabku. Alkitab bahasa Inggris: Holy Bible Easy -- to -- Read Version. Aku membelinya di toko buku BPK Penabur Kwitang, Senen Jakarta Pusat. Setelah hilang kucari keliling Makassar tapi tak ada. Tak ada toko yang menjualnya. Makanya kubilang mahal.  

Kenapa Alkitab bahasa Inggris Easy -- to -- Read Version? Karena bahasanya bagiku mudah dimengerti. Karena kemampuanku baru sampai pada level itu. Mudah-mudahan, kalau Tuhan sudah memberi kemampuan memahami yang lebih baik, aku akan belajar dari Alkitab bahasa Inggris yang standar. Semoga!  

Di dalam dompet baru yang belum lama kubeli di Pasar Senggol, Makassar itu berisi: Uang Rp. 54.000,- uang bensinku sebulan. Selain itu ada KTP, SIM, STNK motor, kartu ATM, kartu nama dari beberapa sahabat dan kenalan. Juga ada foto keluarga (Aku, istri dan kedua buah hati kami, Lorrinne & Rommy) -- yang pasti ukuran dompet.

Aku baru mulai membaca Alkitab berbahasa Inggris sejak Juni 2009. Aku baca itu untuk mendapat pemahaman yang baru. Ini aku lakukan karena terinspirasi oleh Dr. Magdalene Kawotjo. Seorang pendeta muda yang berwawasan luas. Itu terlihat dari tulisan-tulisannya. Ada beberapa bukunya kubeli dan koleksi.

Ia mengisahkannya dalam salah satu bukunya. Tulisnya bahwa Pendeta Dr. Romeo Sahertian memberikan saran kepadanya. Saran untuk membaca Alkitab versi bahasa Inggris. Supaya ia bisa memiliki pemahaman yang baru dan luas.

Membaca Alkitab versi bahasa lain bukan untuk kesombongan. Tetapi, lagi-lagi, supaya ada pemahaman baru. Dengan demikian kecintaan terhadap firman Tuhan semakin dalam. Aku  telah merasakannya kini. Walaupun baru pertama kali.

Setelah kejadian kehilangan itu, aku terus gumamkan ini. "Tuhan tolong aku. Aku percaya Engkau sanggup mengembalikan tasku beserta isinya." Aku selalu bawa dalam doa pribadi, maupun dalam mesbah keluarga setiap malam.

Dua hari berselang, Rabu tanggal 25 November 2009 pukul 18.30, aku menerima telepon dari seseorang.

"Halo, ini PakYolis?"

"Ya, betul. Saya sendiri! Ini siapa, ya?" Aku balik bertanya.

"Saya yang menemukan tas bapak."

"Puji Tuhan." Teriakku dalam hati.

"Bagaimana dan di mana bisa saya ambil?" Sambungku.

"Bapak tunggu saja di rumah. Saya antar sebentar. Saya sudah tahu alamat bapak." Ia menegaskan dengan logat Makassar yang sangat kental. Karenanya aku harus tempelkan HP di telinga dalam-dalam agar bisa menangkap maknanya.

Memang hari-hari sebelumnya setelah kehilangan tas, aku diberi hikmat untuk mendatangi alamat-alamatku yang lama. Kepada Satpam setempat, aku sampaikan ihwal kedatanganku.

Aku sampaikan padanya bahwa bila ada orang yang mencariku kapan saja, tolong hubungi aku. Agar mudah, aku tinggalkan Alamat rumah sekarang (terkini) dan nomor telepon (selular dan rumah).

Pada hari Senin tanggal 23 November 2009 aku ke Taman Masamba, Tanjung Bunga, Makassar. Itu adalah tempat tinggalku yang pertama sejak tiba di Makassar. Tidak ada respon. Tidak ada kabar yang menggembirakan sampai dengan hari Selasa, 24 November 2009.

Keesokan harinya adalah Rabu tanggal 25 November 2009. Sehabis pulang sekolah istriku mengajak menemaninya pergi membeli keperluan dapur. Sebelum kembali ke rumah, aku balik mengajak istriku untuk mampir ke Taman Asri Estate di jalan Talasapang.

Kami di sana kira-kira jam 17.30 wita. Kami berbicara dengan Petugas Keamanannya dan melakukan hal yang sama. Tiga puluh menit kemudian kami kembali ke Rumah. Baru saja aku duduk, telepon genggamku berdering.

Tuhan itu baik. Ia teramat baik. Dia mendengar doaku. Tepat jam 19.30 wita, bapak yang menelpon tadi datang. Ia bersama seorang anaknya yang berusia kira-kira antara 6-7 tahun datang mengantarkan tasku.

Sambil menyerahkan kembali tas itu, dia mempersilakanku untuk memeriksa. Maka aku membukanya dan melihat sekilas. Semuanya utuh seperti sedia kala. Kecuali pisang raja yang tiga buah itu yang tidak ada.

"Busuk," kata beliau.

Okelah kalau begitu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun