Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semua Kembali, Utuh!

11 Agustus 2020   05:06 Diperbarui: 11 Agustus 2020   05:05 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ceritanya begini!

Ketika aku tiba di perempatan jalan Landak ada lampu merah. Semua kendaraan berhenti. Begitu lampu hijau semua bergerak maju. Motor-motor berusaha menyerobot menyelip menyalip agar bisa mendahului yang lainnya.

Berjarak 200 meter dari lampu pengatur lalulintas itu, ada  U turn (tikungan untuk berbalik arah). Sebuah angkot -- orang Makassar menyebutnya pete-pete -- tiba-tiba menikung untuk kembali ke arah kami datang.

Ia memutar balik tanpa lampu tanda belok. Ia tidak menyalakan lampu isyarat belok. Maka terjadilah kegaduhan. Huru-hara. Banyak kendaraan mendadak rem menghindari tabrakan. Bunyi kernyit terdengar di mana-mana.

Sekonyong-konyong, sebuah motor di belakangku yang dikendarai seorang anak muda nyelonong menyeruduk kayak banteng. Dia kehilangan kendali karena ngebut. Dia tak menyangka kalau kendaraan-kendaraan yang di depannya mendadak menghentikan lajunya.

Dia menerabas sisi kiriku dan menyenggol stang/stir motor. Aku oleng. Maka kuturunkan kaki kiri sebagai penyeimbang. Bukannya berhenti, dia malah menabrak pengendara motor lainnya di depanku. Yang ditabrak seorang bapak berusia sekitar empat puluhan. Mereka bertengkar. Ribut.

Agar tidak semakin macet, aku meneruskan perjalanan. Toh, aku bukan sumber masalah. Aku juga tidak kenapa-kenapa. Lecet pun tidak. Tapi rasanya ada yang ganjil. Maka sekitar seratus meter dari tempat kejadian perkara, aku menunduk mengecek tas.

Tasku yang sejak dari rumah terapit di antara kedua lutut, stir dan jok yang kududuki. Nihil. Tidak ada. Aku panik. Keringat mengucur deras. Aku berbalik arah berusaha menemukannya. Tak ada. Raib. Entah ke mana dan di mana.

Sebagai tindakan awal, aku melapor ke kantor polisi terdekat. Yaitu di Polsek Mamajang di samping hotel Sahit, di belakang Mal Ratu Indah. Sesudahnya, aku menuju sekolah dengan lunglai dan kehilangan gairah. 

Tas itu murah. Tapi memiliki nilai historis bagiku. Karena tas hitam itu adalah pemberian istriku ketika aku akan bertugas ke Makassar. Isinya pun tidak ada yang mewah. Tapi mahal.

Bukan harganya yang mahal. Tapi nilainya. Mungkin juga langka. Tidak semua benda dalam tas itu langka. Ada beberapa yang langka. Karena ketika aku berusaha mencari penggantinya tak kutemui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun