Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tukang Kredit

28 Juli 2020   09:21 Diperbarui: 28 Juli 2020   09:22 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tugas kuliah mulai banyak dan berat. Jam kuliahnya tak beraturan. Artinya kuliah, interval satu sampai dua jam kemudian kuliah lagi. Kalau selama jeda waktu yang satu atau dua jam itu aku pulang rumah dulu, tidak mungkin.

Jarak antara rumah dan kampus cukup jauh. Pasti tidak keburu karena kondisi jalan yang selalu macet. Lagi pula aku pakai kendaraan umum. Waktu habis di perjalanan. Akhirnya bukan istirahat, malah capeknya dua kali lipat.

Mengingat dan mempertimbangkan hal ini, aku memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih dekat. Aku harus mencari rumah atau kamar di dekat-dekat kampus. Aku harus indekos untuk menghemat biaya atau dana, tenaga dan waktu.

Untuk itu aku harus mensurvei tempat-tempat strategis di sekitar kampus. Tempatnya haruslah yang mudah dicapai dengan berjalan kaki. Dalam radius tidak lebih dari satu kilometer. Antara dua ratus sampai lima ratus meter. Tujuh ratusan meter juga okelah.

Hari itu hanya ada kuliah teori. Tidak ada praktik. Aku tak perlu membawa perlengkapan yang banyak. Berarti aku tak perlu menyelempang tas besar di bahu. Cukup lenggang menenteng sebuah buku agenda tebal.

Gunanya selain sebagai pemantas juga berfungsi untuk mencatat materi kuliah. Materi dalam agenda baru akan kupindahkan ke catatan sesungguhnya setelah sampai di rumah. Aku berangkat kampus hanya dengan mengenakan jeans dan kaos.

Seusai kuliah aku menuju ke tempat yang kuanggap memenuhi kriteria yang kusyaratkan. Aku melacak ke segala arah kampusku. Aku berjalan kaki seturut naluriku menuntun. Door to door, dari pintu ke pintu kutanya setiap pemilik rumah.

Sambil menjinjing agenda satu-satunya itu, aku terus berjalan ke mana saja kakiku melangkah. Ke mana saja ia membawa tubuhku. Sesekali bila kulihat ada kamar kosong aku mampir dan bertanya. Aku tidak akan berhenti sebelum menemukannya.

Aku menanyai setiap pemilik rumah secara selektif sekiranya mereka menyewakan salah satu kamarnya. Selektif artinya, hanya yang memenuhi syarat saja. Memenuhi syarat dalam hal jarak dan segi kesehatan (sanitasi) serta harga.

Hari sudah cukup terang. Deraan sinar matahari mulai terasa menyengat. Perut pun tak mau kompromi. Ia mulai keroncongan. Keringat terus mengucur deras. Saputangan yang ada di saku celanaku sudah tak mampu lagi menyerap keringat. Karena peluh yang membasahi wajah, leher dan tangan. Biarpun sudah diperas berulang kali.

Aku mulai berpikir untuk berhenti mencari rumah kos. Sebaliknya aku menimbang-nimbang untuk mencari dan mampir ke warung tempat mengisi perut. Selagi kaki melangkah pikiranku terus mempertimbangkan demi memutuskan yang terbaik.

Sementara kegalauan semakin mengganggu, mataku tertumbuk pada sebuah kamar kosong. Kondisinya pas dan ideal sesuai yang kucari. Aku mengetuk pintu rumah yang berada di sebelah kamar kosong itu yang ternyata adalah pemiliknya.

"Selamat siang, Dik." Sapaku pada seorang anak perempuan yang kira-kira berusia enam tahunan setelah ia membukakan pintu.

"Ada mama?" Tanyaku selanjutnya. Ia tidak bertanya apa tujuanku datang. Tiba-tiba ia berbalik arah membelakangiku dan menghilang di balik tirai pembatas ruang. Ia berlari ke dalam sambil berteriak: "Ma, ada tukang kredit." Astaga!

Darahku mengalir kencang. Mukaku serasa terbakar. Ludah pun terasa kering di kerongkongan. Seketika itu luntur keinginanku untuk bertanya lebih lanjut perihal kamar kosong tadi.

"Apakah ada Carlos?" Tanyaku sekenanya setelah ibu pemilik rumah itu berada di hadapanku.

"Maaf, nggak ada yang bernama itu. Mungkin Anda salah alamat." Sebelum ia melanjutkan kata-katanya aku langsung menyampaikan permohonan maaf. Aku berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan langkah lunglai dan perasaan teriris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun