Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menanti Senyum Mentari

22 Juli 2020   05:54 Diperbarui: 22 Juli 2020   05:51 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Aku selalu berangkat sekolah setiap hari saat masih pagi. Yaitu saat cahaya surya masih belum menyengat. Sekalipun jarak sekolah dan rumahku hanya sepelempar batu jauhnya. Aku selalu membiasakan diri datang lebih awal. Karena dua alasan sederhana.

Pertama, aku tidak akan kepanasan sehingga tidak akan keringatan saat di dalam kelas. Kalaupun keringatan aku masih bisa mengaso berangin-anginan sebelum masuk kelas. Yang kedua, aku tidak akan terlambat. Aku tidak suka terlambat dalam hal apapun. Aku ingin mengikuti semua proses secara utuh runut sejak mulanya.

Bagiku lebih baik menunggu guru dan teman-teman daripada sebaliknya. Sebab kalau ditunggu artinya aku sudah terlambat. Kalau aku terlambat berarti ada momen tertentu yang mungkin sangat berharga yang telah berlalu. Momen yang terlewatkan tak akan kembali lagi.   

Suatu saat di kala hari itu masih sejuk. Butiran embun masih nampak mengkristal di dedaunan. Di rerumputan. Matahari masih malu-malu menampakkan wajah serinya. Aku telah mengayunkan langkah-langkah kecilku menuju sekolah menyongsong masa depan.

Aku menyusuri jalan-jalan setapak nan sepi. Jalan yang lebarnya hanya setapak kaki. Jalan kampung yang di kiri kanannya ditumbuhi rumput liar. Rerumputan yang dapat menggaret meninggalkan gatal bila tak awas saat melangkah. Jalan setapak yang membimbing menuntunku ke jalan besar beraspal.

Di ujung gang jalan setapak yang kulalui itu terbentang jalan raya utama. Jalan yang selalu dilalui kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Kendaraan bermotor ataupun tidak. Jalanan masih lengang. Baru satu dua kendaraan yang melintas ketika itu.

Aku mengayunkan kaki ringan dengan suasana hati yang riang. Aku malangkah sambil bersiul kecil melodikan nada-nada suka yang biasa kudendangkan. Nada-nada tembang nostalgia yang karib terdengar di telinga pendengar kala itu. 

Kira-kira lima meter di depanku ada seekor anjing putih keabuan. Perawakannya lumayan besar. Ia sedang meringkuk melingkarkan badan di atas aspal di tepi jalan. Nampaknya ia sedang menikmati mimpi indahnya. Barangkali ia sedang bermimpi tentang sang kekasih. Entah!

Ia meringkukkan badan sambil menanti senyum mentari yang akan membawa cahaya kehangatan. Ia sedang berjemur di serat-serat cahaya surya yang makin lama makin terang. Semua tenang. Semua nyaman. Nyaman baginya. Nyaman bagiku.

Aku terus melangkah ringan nan riang dengan siul melodi merdu. Tanpa ada pikiran dan firasat yang mengganggu. Terus bersiul mengembuskan nada sukacita. Makin lama langkahku kian mendekati si putih keabuan. Ia masih terus menikmati udara segar dan hangat sinar mentari.

Masing-masing kami, aku dan dia melakukan apa yang menjadi kesukaan kami. Ia tidur meringkuk meletakkan kepala di kaki belakang yang membuat badannya bulat. Sedangkan aku terus melangkah lurus menuju sekolah menatap masa depan.

Karena ia sedang nyenyak aku membiarkannya. Tak mengusik. Tak menjaili. Tak mengusili. Aku melangkah melewatinya dari sisi yang lebih lebar aspalnya. Sebab kalau di sisi sebaliknya ada got menganga. Aku takut kepeleset. Takut  kecebur.

Aku melangkah memindahkan kaki kananku di samping atas kepalanya. Tiba-tiba ia menahan laju langkahku. Ia menangkap menancapkan gigi kokohnya di pergelangan kakiku. Kaki kananku. Aduh, semoga tak seburuk yang kupikir. Benar!

Setelah memberi kejutan dengan perbuatan tercela itu ia lepaskan gigitan. Ia balik meletakkan kepalanya rileks di aspal. Ia tidur kembali tanpa menghiraukanku yang sedang kaget kesakitan. Rasanya perih. Ia kembali bermimpi. Aku teruskan langkah dengan tertatih.

Kejam kali anjing ini. Seandainya ia ada di pihakku ia akan menyumpahi perbuatan tadi. Tapi sudahlah. Dia hanyalah anjing. Anjing tak pernah merasa bersalah walau dia sering membuat masalah. Makanya dia tak minta maaf. Biarlah aku yang memaafkan.

Aku hanya mengurut dada sambil menyalahkan diri sendiri. Kenapa aku harus berjalan di dekatnya? Seketika itupun aku bersumpah berikrar dalam hati. Aku berjanji untuk tidak mendekati binatang tak berperasaan itu di manapun kapanpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun