Masing-masing kami, aku dan dia melakukan apa yang menjadi kesukaan kami. Ia tidur meringkuk meletakkan kepala di kaki belakang yang membuat badannya bulat. Sedangkan aku terus melangkah lurus menuju sekolah menatap masa depan.
Karena ia sedang nyenyak aku membiarkannya. Tak mengusik. Tak menjaili. Tak mengusili. Aku melangkah melewatinya dari sisi yang lebih lebar aspalnya. Sebab kalau di sisi sebaliknya ada got menganga. Aku takut kepeleset. Takut  kecebur.
Aku melangkah memindahkan kaki kananku di samping atas kepalanya. Tiba-tiba ia menahan laju langkahku. Ia menangkap menancapkan gigi kokohnya di pergelangan kakiku. Kaki kananku. Aduh, semoga tak seburuk yang kupikir. Benar!
Setelah memberi kejutan dengan perbuatan tercela itu ia lepaskan gigitan. Ia balik meletakkan kepalanya rileks di aspal. Ia tidur kembali tanpa menghiraukanku yang sedang kaget kesakitan. Rasanya perih. Ia kembali bermimpi. Aku teruskan langkah dengan tertatih.
Kejam kali anjing ini. Seandainya ia ada di pihakku ia akan menyumpahi perbuatan tadi. Tapi sudahlah. Dia hanyalah anjing. Anjing tak pernah merasa bersalah walau dia sering membuat masalah. Makanya dia tak minta maaf. Biarlah aku yang memaafkan.
Aku hanya mengurut dada sambil menyalahkan diri sendiri. Kenapa aku harus berjalan di dekatnya? Seketika itupun aku bersumpah berikrar dalam hati. Aku berjanji untuk tidak mendekati binatang tak berperasaan itu di manapun kapanpun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H