Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Berburu Bersama Opa

16 Juli 2020   08:29 Diperbarui: 17 Juli 2020   08:00 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pada suatu hari libur Opa kedatangan seorang tamu. Tamu istimewa ini datang dengan mengendarai jip yang dikemudikan oleh sopirnya. Ia santai di kursi sebelah sang sopir. Waktu itu kira-kira pukul Sembilan pagi.

Opa adalah papanya Mamaku yang bernama lengkap Paulus Loemnanau. Kami biasa memanggil Opa dengan Papa Bo'i. Itu panggilan akrabnya. Ia adalah orang yang cukup terpandang di kampung.

Bo'i sama artinya dengan honey dalam bahasa Inggris. Di kampungku ini adalah panggilan manja dan sayang bagi orang-orang tertentu yang sangat dekat di hati. Papa Bo'i meninggal pada tahun 1981 pada usia 81 karena tekanan darah tinggi.

Karena Opa orang terpandang maka semua orang wajib lapor padanya. Terutama setiap orang yang datang ke sana dengan keinginan untuk melakukan sesuatu (dengan maksud tertentu) harus pamitan.

Mereka harus mohon ijin dan restu terlebih dahulu pada Opa. Orang-orang menyebutnya atau memanggilnya dengan sebutan "Fetor." Fetor adalah gelar raja di sana di daratan Timor pada waktu itu. Bahkan hingga kini masih ada gelar itu.

Yang menggantikan Opa sebagai Fetor sekarang adalah Hebron Loemnanu. Dia adalah putra bungsu Opa Camplong. Tradisi kefetoran diaktifkan kembali oleh Mantan Bupati Kupang, Drs. Ayub Titu Eki, M.S., Ph.D. Kefetoran telah vakum sejak tahun tujuh puluh. Mungkin sebelumnya.

Setelah tamunya diterima mereka bercakap-cakap selama kurang lebih setengah jam. Sambil bercakap mereka menikmati kopi dan makanan ringan seadanya khas di kampung. Antara singkong atau pisang rebus.

Mereka pun siap berangkat. Opa membawa senjata berlaras panjang. Opa mempunyai lebih dari sepuluh pucuk senjata. Pada sekitar tahun 1971 senjata-senjata itu telah diserahkan kembali kepada pihak berwajib.

Senjata-senjatanya ada yang berlaras pendek, sedang dan panjang. Ada juga yang berlaras ganda. Tapi dari sekian banyak dan jenisnya Opa memilih yang berlaras satu, berlaras panjang. "Ini lebih oke," katanya.

Aku diajaknya. Juga Bruno. Bruno adalah anjing kesayangan Opa yang berperawakan "atletis" berwarna hitam sempurna. Matanya tajam. Ia sangat cekatan dan pemberani dalam berburu.

Opa tidak memakai alas kaki. Ia pun hanya mengenakan kaos oblong putih dan selimut buatan tangan/tenunan Oma. Selimut itu dililitkan di pinggang sebagai pengganti celana (celana panjang maksudnya).

Selimut adalah kain tenun Timor yang dibuat dengan peralatan tradisional. Kain tenun Timor, khususnya di kampungku dan sekitarnya, biasanya memiliki corak yang cerah. Terdiri dari tiga lembar yang dijahit menjadi satu. Lembaran yang di kiri-kanannya bercorak dominan merah. Sedangkan lembaran yang di tengah berwarna putih polos. Dalam bahasa Timor disebut tais.

Selain tais ada satu lagi yang tak pernah ketinggalan. Ini selalu dikenakannya juga bila bepergian yaitu destar. Destar dikenakan di kepala. Caranya dengan melilitkan sebuah kain kecil atau selendang di kepala sehingga tampaknya seperti blankon bagi orang Jawa.

Pak Domi, tamu Opa ini, yang memegang kemudi. Opa duduk di sampingnya. Bruno berjongkok di kaki Opa. Aku dan sopir Pak Domi menempati jok di belakang. Sopirnya tidak diperkenankan mengemudi karena untuk menghormati Opa.

Kami menempuh jarak sekitar tujuh kilometer dari rumah ke arah matahari terbit. Kondisi jalannya berbatu-batu dan menanjak. Melintasi kali Noekele yang lebar dan tak ada jembatannya. Juga melewati kampung Kuanusapi dan Besle'u. Akhirnya kami berhenti di Kuanheum.

Mobil diparkir. Kami semua turun. Opa dan Pak Domi yang anggota polisi itu masuk hutan dengan memanggul senjata masing-masing. "Kalian tunggu di sini," seru Opa sebelum berlalu.

"Kus, jaga mobil." Perintah Pak Domi pada Om Markus, sopirnya. Dengan naluri 'militer' dan 'radar' pelacak yang ia miliki Bruno menyusuri jalan setapak di antara pohon-pohon kotok ayam dan perdu lainnya yang tumbuh subur. Bagai seorang pemandu ia memimpin iring-iringan itu menuju hutan, lokasi sarang rusa.

Untuk mengusir kejenuhan, Om Markus mengajariku cara bertahan hidup di hutan. Kebetulan di tepi jalan banyak tumbuh labu kuning. Buahnya yang banyak pula. Om Kus mencari-cari melacak mana yang layak dipetik.

Ia memetik satu buah yang lumayan besar. Ia membelah dan mengeluarkan isinya. Kemudian ia mengajakku mencari dan mengumpulkan kayu kering sebesar lengan. Kayu-kayu yang sudah kami kumpul itu dibakar sampai menjadi bara.

Lalu bara yang memerah dimasukkan ke dalam buah labu yang sudah dibersihkan itu kemudian ditutup kembali. Bagian luarnya juga dipanggang hingga matang. "Kalau kulitnya sudah layu dan berwarna coklat berarti sudah matang. Siap disantap." Katanya menjelaskan secara rinci.

Maka kamipun makan siang dengan menu utamanya labu guling/panggang. Sesudahnya kami minum tuak (nira). Kami memperoleh tuak secara cuma-cuma dari masyarakat setempat. 

Biar aku uraikan sedikit mengenai tuak agar pembaca ada gambaran.

Tuak atau nira tidak hanya dari ponon lontar. Ada juga yang diambil dari gewang dan enau atau aren. Nira dari gewang, lontar dan enau atau aren rasanya manis sekali. Dan harum.

Selain untuk diminum juga untuk dimasak menjadi gula. Gula cair yang kental maupun yang berbentuk padat atau lempengan. Kami menyebut yang cair itu gula air, sedangkan yang lempengan gula batu.

Nira itupun bisa dijadikan minuman beralkohol yang memabukkan. Caranya dengan merendam akar atau potongan batang pohon tertentu selama beberapa hari. Minuman ini mereka, orang-orang di kampungku menyebutnya laru.

Tuak juga dapat dibuat cuka. Caranya: tuak dibiarkan tertutup terperangkap dalam wadah tertentu selama kurang lebih satu minggu. Dengan terkungkung begitu tuak akan menimbulkan rasa asam yang teramat sangat. Cuka pun siap dikonsumsi.

Balik lagi ke cerita! Kira-kira pukul dua siang aku melihat satu demi satu rusa hasil buruan Opa dan Pak Domi digelimpangkan di pinggir jalan. Hasil buruan itu bertumpukan di bawah pohon beringin besar. Pohon yang tinggi dan rindang.

Ada beberapa anak muda yang membantu 'mengevakuasi para korban' dari hutan. Anak-anak muda ini berasal dari kampung Kuanheum ini. Mereka meletakkan rusa-rusa itu bergelimpang bertumpukan yang semuanya berjumlah duabelas ekor.

Semua rusa yang tertembak rata-rata mempunyai luka bekas peluru yang menyebabkan darah berceceran. Kecuali rusa terakhir yaitu seekor jantan yang memiliki tanduk bercabang tiga. Tidak ada darah ataupun bekas luka di badan. Aku penasaran lalu bertanya.

"Kok, yang ini tidak ada lukanya?"

"Ini dia," jawab Om Kris, pemuda setempat yang sangat antusias dan aktif membantu membereskan rusa-rusa itu.

"Lihat. Peluru cuma menggores tanduknya." Semua pasang mata memandang mengarah mengikuti telunjuk Om Kris.

"Tuan Fetor yang tembak. Ini rusa terakhir. Hanya satu kali tembak," lanjutnya.

"Cek, cek, cek." Semua yang menyaksikan pada bedecak kagum dan heran.

Sebagai ucapan terima kasih pada masyarakat sekitar Opa menyuruh membelek beberapa ekor untuk dibagikan. Lagi-lagi Om Kris, si pemuda enerjik itu yang mengomandoi. Dengan mata kasat aku mengikuti seluruh proses bagaimana ia memperlakukan rusa-rusa yang tak bernyawa itu. Liar dan kasar. Layaknya harimau yang sedang mencabik-menyantap mangsanya.

Ketika seluruh bagian dalam tubuh rusa itu telah disingkirkan ia membuat suatu atraksi. Ia meraup semua darah yang tertinggal dalam rongga badan rusa dengan kedua tangan. Ia tanpa ragu membawa ke mulut lalu meminumnya ludes tuntas tanpa sisa. Ia lakukan demikian berkali-kali hingga habis tandas darah binatang itu.

Wajahnya bersimbah darah. Semua terkesima. Kagum. Geli. Mual. Dan jijik. Semuanya bercampur aduk dalam dadaku. Mungkin orang lain juga demikian. "Biar apa, Om?" Kuberanikan diri bertanya walau bergidik.

"Biar sehat. Kuat. Napas panjang dan larinya cepat," jawabnya terbata di antara sengal napas.

"Oooo." Tanggap kami semua yang menyaksikannya hampir bersamaan.

Buruan yang tersisa setelah dibagi ada delapan ekor. Semuanya dilemparkan ke dalam bak jip. Kembali aku dan Om Kus yang mengawal mengawasi muatan itu. Kami menyusuri jalan yang sama kembali ke rumah, Sonaf.

Sonaf adalah tempat tinggal raja atau istana para raja di Timor. Ia merupakan pusat pemerintahan raja atau Fetor. Semacam keraton bagi raja-raja di Jawa. Sonaf tempat tinggal Opa tidak mewah tapi ada aura wibawa yang terpancar darinya.

Sebenarnya Pak Domi hanya mendapat satu ekor. Tapi Opa memberinya dua lagi sebagai hadiah. Kami pun berpisah setelah saling memberi salam dan ucapan terima kasih. Opa memang hebat. Kami berpesta!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun