Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebelet

24 Mei 2020   15:31 Diperbarui: 24 Mei 2020   15:32 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkenalkan namaku Shanty. Sushanty Blavadzkha Orthy, lengkapnya. Aku punya saudara kembar yang bernama Santo. Nama lengkapnya, Susanto Blavadzkho Orthy. Kami masih duduk di sekolah menengah atas kelas sebelas. \

Hari ini aku mau menceritakan bagaimana kebiasaan Santo bila kebelet. Aku merasa teman-teman penasaran dengan namaku. Dan kayaknya kepengen tahu asalku bukan? Baiklah nanti kalau ada kesempatan akan kuceritakan. Biar hari ini kuselesaikan dahulu cerita ini.

Maaf, aku bercerita tentang kakak tidak bermaksud menjelek-jelekkannya. Aku hanya merasa ada yang unik dalam kebiasaannya itu. Tak mungkin aku berbuat senaif itu karena bagaimanapun dia kakakku. 

Kami memang kembar, tapi dia selalu kupanggil kakak. Itu yang diajarkan Papa Mama sejak kami masih kecil. Ya, aku mau ceritakan karena menurutku ada hal baik dari kebiasaan jeleknya itu.

Tapi sebelum aku membeberkan tabiat saudara kembarku ini, perkenankan kuulas sedikit hal-hal yang berhubungan dengan kebelet. Ini sebenarnya adalah karya tulisku yang kubuat untuk memenuhi tugas daring dari sekolah. Karya tulis yang kuubah menjadi cerpen. Semoga pembaca tidak tersendat melahapnya. Sebaliknya, dengan sukacita menikmatinya hingga tuntas.

Begini!

Kebiasaan kakakku ini tak pernah dibuangnya. Kebiasaan yang merusak suasana. Kebiasaan yang membuat heboh orang sekitarnya. Kebiasaan yang menyebabkan orang lain kehilangan mood. 

Kebiasaan yang mengakibatkan orang-orang mengeluarkan omongan tak senonoh. Kebiasaan yang mencelakai dan merusak tatanan orang banyak. Kebiasaan yang harusnya bisa dibuang, malah langgeng dipelihara.

Kebiasaan adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan sadar dan bertanggung jawab. Kebiasaan yang terus-menerus diulang-ulang akan menjadi karakter. 

Jika karakter itu tetap dipertahankan maka akan menjadi sebuah gaya hidup. Kalau sesuatu itu sudah menjadi gaya hidup berarti dia telah melekat abadi dalam kepribadian orang yang memilikinya.

Kebiasaan itu ada dua saja. Positif atau negatif. Positif artinya dapat diterima oleh orang banyak. Malah menjadi barometer kehidupan masyarakat tertentu. 

Sedangkan negatif berarti tidak dapat diterima oleh khalayak yang luas. Maka positif dan negatif yang dimaksud adalah yang sesuai dengan standar umum. Bukan berlandas pada standar atau penilaian keputusan pribadi atau sekelompok orang.

Salah satu kebiasaan yang mungkin tidak berterima adalah kebelet. Dalam KBBI versi daring memberi makna pada kata kebelet dengan: "Ingin sekali; tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginan." Sederhananya kebelet itu sesuatu yang segera harus diwujudnyatakan. Diejawantahkan. Sesuatu yang tak bisa ditahan-tahan lebih lama lagi. Bila kebelet semakin ditahan akan berisiko.

Berisiko seperti contoh-contoh ini. Pertama, Moammar Emka berkata: "Kangen itu mirip kebelet buang air besar. Makin ditahan, makin blingsatan." Dia mau mengatakan bahwa kangen itu jangan ditahan. Langsung nyatakan saja. 

Yang kedua: "Cinta itu bagaikan kentut bila ditahan sakit perut, kalau dilepas jadi ribut!" Kedua contoh ini memiliki substansi yang sama yaitu jangan ditahan. Tapi juga jangan sembarangan dinyatakan. Jangan asal dilepas. Berisiko. Berbahaya.

Memang sesuatu yang ditahan-tahan akan membuat blingsatan atau ribut. Blingsatan itu keadaan seseorang yang tidak bisa diam. Selalu bergerak demi meredam sesuatu yang sedang dirasakan. 

Blingsatan itu seperti situasi seekor cacing yang sedang berada di atas permukaan aspal yang panas. Dia akan terus bergerak berpindah agar bisa selamat dari jerat panas yang ganas itu. Kira-kira begitulah blingsatan itu.

Nah, pembaca yang budimana! Seperti yang kubilang di atas bahwa kakaku ini suka sekali menahan-nahan buang air besar. Entah kenapa? Dia sangat menikmati permainannya dalam situasi blingsatan seperti itu. 

Dia tidak akan bisa diam. Selalu bergerak ke sana ke mari. Geser kiri geser kanan. Maju mundur tak karuan. Kita yang melihatnya bisa lucu. Bisa juga kesal. Tapi dia, sebaliknya. Enjoy. Sangat menikmati.

Kalau misalnya dia dalam posisi duduk bersila di lantai maka dia akan menggerakkan badannya memutar seolah bergetar. Atau menunduk ke depan seperti mau mencium lutut sambil mengoyangkan kedua paha membentur lantai. Benturan paha di lantai ini akan menghasilkan bunyi melodi tersendiri. Dan hanya dia yang tahu not dan nadanya.

Atau dia akan mencondongkan badannya ke kiri dan ke kanan sambil mendorong mengangkat pantatnya dengan menopangkan kedua tangan di lantai. 

Gerakan-gerakan itu dia lakukan biar ada sela, cela atau ruang antara lantai dan pantatnya sehingga bila ada angin yang keluar tak menyebabkan bunyi yang mengagetkan. Hanya udara di sekitar yang terkontaminasi berpolusi.

Bila dalam keadaan berdiri maka dia akan menyilangkan kakinya supaya lorong pelepasannya bisa terkunci rapat. Dia akan mengunci rapat agar tak ada ekses. Selain itu, badannya seperti bergetar mengikuti irama dengan ketukan tertentu yang tidak ajeg. 

Kadang lambat, sedang, cepat atau cepat sekali tergantung situasi yang dirasa. Tangannya juga ikut repot. Kadang berkacak pinggang. Kadang memegang menopang tembok, kusen pintu, lemari, kursi atau apa saja yang ada di sekelilingnya yang dekat dengan dirinya.

Kalau akan berjalan berpindah tempat maka dia hanya mampu menarik menggeser kakinya. Tak sanggup dan tak berani dia mengangkat kaki untuk melangkah. Takut pertahanannya bocor. 

Lalu kedua tangannya akan membantu meremas bokongnya agar, lagi-lagi, pintu belakangnya tertutup rapat yang dipaksa tergembok dari luar. Aku sering terpingkal melihatnya begitu. Karena pikirku sengsara amat. Coba dia langsung ke toilet maka persoalannya selesai.

Nanti kalau sudah pembukaan tujuh baru dia ngibrit. Yang tak jarang dia ngecrit di celana. Dia akan terburu-buru kabur dengan meninggalkan jejak aroma tak sedap menyebalkan di setiap tempat yang dilewatinya hingga di dalam ruangan di mana seharusnya dia ada. Dengan demikian semua orang akan refleks menutup hidung biar tidak terserang gas yang membunuh selera dan kebebasan bernapas itu.

Suatu ketika begitu dia menghilang dari ruang tempat kami sedang berkumpul beramai-ramai dan meninggalkan jejak tak sedap, Mama menghardik.

"San!"

"Iya. Tunggu. Lagi kebelet." Balasnya dari balik pintu wese dengan suara tak leluasa yang tertekan di antara ngeden.

"Kebiasaan jelek dipiara. Kalau kebelet jangan bikin susah orang baru ke wese." Mama tersulut.

Dia kembali dengan perasaan lega setelah keluar dari wese. Mama belum lega. Mama masih panjang ngomongnya tentang kebiasaan kakak yang jelek soal kebelet. Ya, seperti mama-mama pada umumnya kalau ada yang tidak pas dan harus dibenarin. Setelah Mama berhenti bicara. Kak Santo yang gantian bicara.

"Yailah. Kebelet gitu doang dibahas panjang lebar. Ya udah. Maafin, Ma. Tapi coba tu liat di luar sono. Banyak orang kebelet yang merusak orang banyak dibiarin aja."

"Maksudnya? Kan mereka bukan anak Mama!"

"Gini, Mama sayang! Tiap hari kita lihat di tivi. Baca banyak berita. Di media cetak. Media daring. Bagaimana gaya tu orang-orang yang pada kebelet. Nih, San bilangin. Yang kebelet kawin, bikin masalah dengan anak perawan orang. Hamili duluan biar kawin. Yang kebelet terkenal bikin sensasi yang kagak-kagak biar populer. Yang kebelet kaya, korupsi, nyuri uang rakyat gak kira-kira. Yang kebelet punya gelar, gak pake kuliah hanya minta-minta nilai atau beli ijazah sekalian. Ijazahnya sampai es dua es tiga tapi gak bisa apa-apa. Ngomong aja kek orang gagu. Apalagi disuruh nulis, dunia runtuh. Yang kebelet berkuasa, cari muka dan nyogok kalau perlu biar jadi bos padahal kemampuan nol. Kagak punya konsep. Gak mampu memimpin."

Setelah dia ngomong segitu banyak, dia datang ke Mama cium tangan dan sekali lagi minta maaf lalu pergi. Mama juga diam saja. Tidak berkomentar apa-apa soal semua yang kakak bilang tadi tentang kebelet orang-orang di luaran sana. Aku pun hanya menelaah dalam batin tanpa bunyi. Tanpa suara. Kubiarkan semua yang kudengar itu meresap di dinding penalaranku. Dan menetap di bilik logikaku.

Di dalam diam kucoba menelusur menyusur jalan pikiran kakak. Aku pejamkan mata sambil bersandar. Di satu sisi, aku kurang suka dengan sikap kebeletnya. Tapi di sisi lain, aku bangga pada ketelitian pengamatannya meneropong orang-orang yang diliputi rasa kebelet dan tak mampu menguasainya.

Biar sudahlah. Aku juga tak tahu mau ngomong apa lagi. Jadi sebaiknya aku juga pamit. Nanti kapan-kapan kalau aku dapat bahan argumentasi yang baik dan berbobot akan aku sampaikan ke teman-teman semua yang telah mengikuti ceritaku ini dari awal. Untuk itu, aku berterima kasih yang sedalam-dalamnya dan sebesar-besarnya. Aku juga sekalian mau mengucapkan selamat lebaran bagi teman-teman sekalian yang merayakannya. Semoga kita bisa bertemu lagi di idul fitri, hari yang fitri tahun depan!

Cerpen ini kudedikasikan untuk mengenang almarhum Santoso Taryono (Adik iparku)!

Tilong-Kupang, NTT
Minggu, 24 Mei 2020 (15.25 wita)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun