Mohon tunggu...
Yola Widya
Yola Widya Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penyuka kuliner dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Hari Penuh Kenangan

14 November 2024   16:50 Diperbarui: 14 November 2024   16:56 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dingin pagi mencericit di telinga. Membuat berdengung seumpama bunyi pesawat terbang yang menganggu pendengaran. Tapi terus saja kukayuh pedal sepeda jahanam ini. Rem rusaknya membuat sepatuku bolong.  Lama-lama hancur sudah alas kaki satu-satunya ini, batinku miris. Teringat wadah beras yang tinggal seperempat isinya di dapur. Mana tega aku merengek minta dibelikan sepatu baru pada bapak, keluhku lagi sambil terus membelah kabut yang dingin. Berkelok dan berkelok, menyalip, meluncur di turunan, terengah di tanjakan. Terus saja kukayuh sepeda tua yang tak kunjung diganti Bapak. Entah sampai kapan sanggup mengayuh hingga puluhan kilometer menggunakan besi karatan ini. Tekadku hanya satu, harus menimba banyak ilmu. Aku tak mau hidup miskin karena tak punya pekerjaan yang layak. Tidak seperti Bapak yang jadi kuli di ladang tebu. Pekerjaan mulia penuh tenaga dan keringat yang takkan pernah jadi cita-citaku. Aku harus menjadi diriku yang penuh mimpi.

***

"Tunggu, Pak! Jangan ditutup dulu!"

Teriakanku berhasil mencegah satpam sekolah menutup gerbang sekolah. Tetap saja mepet waktunya padahal sudah kukayuh sekencang mungkin sepedanya.

"Telat satu menit saja harus balik lagi kamu, Pian!"

Suara satpam memekak di telinga. Aku hanya sempat mengacungkan jempol pada pria setengah baya itu. Gara-gara diriku ini satpam tua itu selalu gagal menutup gerbang sekolah tepat pada waktunya. Apa cuma aku yang selalu membuatnya mengomel?

Tak ada waktu memikirkan kesulitan orang lain saat ini. Tadi bangunku sangat kesiangan. Sampai Emak memaksa untuk membawa bekal makan siang, karena melihat sarapanku sangat sedikit. Tentu saja aku menolak tegas. Gengsi sekali harus membawa bekal ke sekolah. Lebih baik sibuk membaca buku sambil menahan lapar daripada ditonton anak-anak makan bekal.

"Telat lagi Pian?" Suara menggelegar dari belakang kelas membuatku berhenti berlari.

Sialan! Pak Supri sedang mengabsen satu kelas rupanya. Guru yang satu ini memang rajinnya kebangetan. Selalu saja ingin mengabsen sambil berinteraksi dengan murid-muridnya. Maksudnya baik, tapi aku dan teman lainnya malah jadi merasa dimata-matai. Kami sekelas jadi harus terlihat siap siaga menghadapi pelajaran. Semuanya harus lengkap, termasuk seragam bengkel. Tiba-tiba aku terhenyak. Astaga, seragam bengkel!

"Mana seragam bengkelmu, Pian?"

Suara berat Pak Supri membuatku menegang di kursi. Celaka ini! Batinku. Mata Pak Supri yang teliti langsung menanggapi ketegangan yang terpancar dari seluruh tubuhku.

"Hmm. Lupa lagi yah? Begitu yah?"

Dan satu helai rambutku yang berada di atas telinga tercabut paksa. Tentu saja diiringi suara mengaduh tertahan yang keluar dari mulutku. Lagi-lagi guru super disiplin ini menarik beberapa helai rambut di atas telingaku. Mending juga dijewer sekalian daripada ditarik rambut seperti ini.

"Tadi bangun kesiangan, Pak. Seragamnya masih di jemuran, jadi kelupaan." Aku berusaha membela diri sambil meringis menahan sakit. Tapi tentu saja hanya didengarkan sambil lalu oleh Pak Supri.

Sekilas terdengar suara cekikikan pelan dari belakangku. Spontan aku mencari sumber suaranya. Beberapa kepala langsung menunduk begitu aku menoleh ke belakang. Huh! Pasti deh ngetawain, omelku dalam hati.

"Perhatian semuanya!"

Suara Pak Supri membuat seisi kelas berkonsentrasi lagi pada pelajaran. Aku menegakkan punggung di kursi sambil berdoa. Semoga tidak ulangan ....

***

Tapi doaku terpental. Hari ini Pak Supri berniat menguji daya ingat serta pemahaman kami sekelas.

"Keluarkan kertas!"

Seruan Pak Supri membuat seisi kelas guncang. Ulangan dadakan itu bak gelombang tsunami yang menghancurkan. Tanpa persiapan, pasti semua nilai berantakan.

Setengah jam bergulat dengan soal-soal yang tertera di papan tulis lumayan terasa menyiksa Terutama buat aku yang tidak siap sama sekali.

"Selesai!" seru Pak Supri. "Angkat kertasnya!"

Spontan semua anak mengikuti perintahnya mengangkat kertas. Perintah selanjutnya sangat membuat heboh.

"Geser kertas kalian ke samping!"

Kertas ulangan di tanganku berpindah ke tangan teman di sebelahku.

"Geser lagi!" perintah Pak Supri. Terus seperti itu hingga tiga kali perintah. Sekarang aku benar-benar tidak tahu di mana kertas ulanganku. Dan siapa yang memeriksa. Sangat kehilangan jejak.

Lima belas menit kemudian semua kertas dikumpulkan. Seperti yang telah diduga, semua nilai jeblok. Punyaku saja mendapat nilai dua.

"Ini adalah bukti kalau kalian tidak memahami pelajaran!" Pak Supri mengangkat tumpukan kertas ulangan yang tadi.

Kejadian berikutnya sudah diduga. Seisi kelas diberi soal-soal latihan oleh Pak Supri. Padahal sebentar lagi waktu istirahat. Perutku keroncongan. Dan soalnya sangat sulit. Sialnya, lapar membuat aku sulit berpikir dan malah mengantuk. Jadinya teringat nasi goreng buatan Emak. Wanginya harum sekali. Walaupun tanpa kecap, tapi rasanya gurih. Bumbunya juga tidak macam-macam. Emak cuma memakai bawang putih dan lombok yang dihaluskan. Sangat enak. Mulutku mulai menganga, siap memakan suapan nasi goreng yang disodorkan Emak. Hmm, enak sekali ....

Dug!

Tiba-tiba keningku terasa sakit. Sontak aku mengangkat kepala. Dan mulutku masih menganga ....

"Bangun, Pian! Keluar sana cuci muka terus lari keliling lapangan biar hilang kantukmu."

Ehh? Setengah ngelindur aku berdiri. Sekilas kulihat penghapus karet tergeletak di mejaku. Rupanya benda ini yang tadi membuat keningku sakit. Aku pun keluar sambil diiringi tawa seisi kelas. Ah, sungguh super sialan.

***

Sekarang aku benar-benar lapar. Tapi mending juga lapar seperti ini darpada harus makan bekal. Sadar diri tak punya uang saku untuk jajan, aku pun balik lagi ke dalam kelas. Memutuskan untuk melanjutkan mimpi nasi goreng yang tadi.

Lima belas menit kemudian kelas mulai gaduh. Anak-anak ribut tentang guru pengganti. Berdasarkan cerita yang kudengar, katanya gurunya baru lulus kuliah. Entah apa bedanya guru baru dengan guru lama. Kok, seisi kelas jadi ribut seperti ini.

"Selamat siang, anak-anak."

Sebuah suara halus seperti menghipnotis seisi kelas untuk diam. Serentak kami menjawab sambil menoleh ke pintu masuk kelas. Dan di sana, telah berdiri sebuah keajaiban. Hasil ciptaan Tuhan yang membuat panas dan lapar di siang hari jadi menguap.

Guru cantik itu tersenyum sambil mengedarkan pandangan ke seluruh isi kelas. Wangi parfumnya yang lembut kentara sekali di tengah bau keringat dan kaus kaki basah.

"Saya guru pengganti untuk hari ini." Demikian ibu guru cantik itu memperkenalkan diri.

Menjadi guru pengganti untuk satu tahun juga aku tidak keberatan sama sekali. Bagi kami, para jomlo di SMK kelas X ini, kehadiran sang guru pengganti bagai oase di tengah panasnya kelas bengkel. Sangat menyejukkan. Dan tentu saja membuat semangat belajar naik drastis, melebihi tingginya bangunan Monas.

***

Kali ini aku pulang dengan hati sumringah. Kehadiran Bu Sriti terbukti berhasil meningkatkan minat belajar seisi kelas. Hal ini makin mempertegas jika siswa akan menyerap pelajaran dengan cepat apabila hatinya senang dan yang mengajarnya juga menyenangkan.

Sepeda ontel tua yang kukayuh berderik keras sesuai irama putaran pedal. Sore ini tak terlalu ramai. Aku pun memutuskan lewat jalan jembatan saja. Setelah yakin aman untuk menyeberang, kukayuh sepeda sekuat mungkin. Ketika hampir menaiki jembatan tiba-tiba saja aku terjatuh dengan keras ke aspal. Dan mendadak semua jadi gelap ....

Kemudian aku merasakan pusing di kepala. Aku yakin pasti ini pengaruh dari lapar. Samar-samar terdengar suara orang mengobrol. Kupaksa mata ini terbuka. Di sekelilingku berwarna putih semua. Lalu kudengar suara yang tak asing itu ....

"Bapaknya sudah saya hubungi. Sebentar lagi pasti datang, Pak ...."

Suara-suara itu kemudian menghilang seiring kesadaranku yang pulih. Aku berada di bangsal rumah sakit. Astaga, apa yang terjadi?

"Pian, Pian, Kamu tidak apa-apa kan, Nak?" Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tinggi kurus menerobos masuk. Wajahnya begitu khawatir.

"Bapak ..." Panggilku lirih. Setelah itu aku jatuh pingsan lagi.

***

Dua hari kemudian, setelah pulang ke rumah baru aku mendapat cerita versi lengkapnya. Rupanya si besi tua terbelah dua karena usia di saat aku menyeberang. Dahi dan tubuhku membentur aspal dengan keras hingga pingsan. Beruntung jalanan sepi. Aku ditolong Pak Supri yang juga pulang melewati jalan yang sama.

Pak Supri membawaku ke rumah sakit terdekat. Semua biaya berobat ditanggungnya. Pegawai rumah sakit tak bisa menyembunyikan cerita indah seperti ini. Itu alasannya membocorkan semua rahasia Pak Supri yang sudah wanti-wanti padanya. Sepeda ontel tuaku yang terbelah langsung diboyong ke bengkel sepeda. Anehnya, bengkelnya berada tepat di seberang jalan tempatku terjatuh. Katanya lagi Pak Supri memberi perintah agar sepedanya diperbaiki.

"Kamu beruntung, Pian, punya guru sebaik Pak Supri."

Itu kata Emak berulang kali sambil membersihkan luka di bawah kelopak mataku. Luka-luka bekas jatuhnya masih membekas hingga kini. Dan jadi kenang-kenangan tentang kebaikan hati seorang guru.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun