Sontak kudorong bahu Badra, menatap matanya. Badra tidak berbohong. Aku tahu benar kalau ia berbohong. "Haruskah kutemui dia ....?"
Badra mengangguk. Menguatkan. "Kalian harus bertemu. Seringkali cinta menjawab semua pertanyaan ketika terjeda perpisahan." Badra menarik napas. "Aswin sudah mendapat jawabannya ...."
***
Ini adalah perjalanan yang sangat panjang. Sebegitu setianya Badra pada persahabatan hingga rela menempuh jarak jauh keluar kota demi menyusulku. Badra tak henti bercerita banyak hal tentang Aswin sepanjang perjalanan. Airmataku pun tak henti mengalir mendengar ceritanya. Badra benar ... aku dan Aswin memang saling merindukan.
Jantungku melemah begitu roda mobil memasuki halaman rumah Aswin. Tangisku pecah bersamaan seruan kaget keluarga Aswin. Mereka lari menyambut kedatanganku, sebagian yang lain memberi kabar pada Aswin. Badra menggandengku. Ia terus menemani hingga di depan pintu masuk kamar Aswin. Dan aku terpana dengan kenyataan yang terpampang di depan mata ....
Aswin membuka matanya perlahan. Senyum lebar terkuak di wajah pucatnya. "Alin ...," panggilnya sengau.
Tangisku pecah begitu Badra membuka selimut Aswin. Tidak seperti ini! jeritku dalam hati. Aku langsung menghambur ke pelukan Aswin yang membuka lengannya lebar-lebar.
"Aku mencarimu kemana-mana," bisiknya, "Aku membawa cincin kemana-mana ...."
Airmata makin tak terbendung begitu Badra menyodorkan sebuah kotak beludru padaku. "Maafkan Aswin, Lin ...."
"Maafkan aku, Lin," isak Aswin, "Aku tahu sudah terlambat untuk ini semua ...."
Aku menggeleng keras. Kuraih kotak beludru dari tangan Badra, sejenak tertegun menatap isinya. Kilau mungil dari jari manisku terpantul cahaya dari jendela di belakang Aswin. Sebuah sensasi baru merayapi hati dan pikiranku. Apakah ini? Terasa menyejukkan semua derita?