"Kayaknya malam ini ngerjain kerjaan sedikit aja."Â
Celetukan Bara membuat Maya berhenti mengunyah. "Apa maksud Bara?" tanyanya dalam hati setelah tertegun sesaat, lalu melanjutkan menyuapkan nasi goreng. Rasa pedas dari sambal mengalihkan rasa penasarannya.
"Banyak banget chat yang masuk. Semua berkas-berkas dikirim mendadak," lanjut Bara tanpa ekspresi sambil mencocol sambal.
"Oooh ...." Maya mendengarkan tanpa paham arah pembicaraan Bara. Setelah piringnya bersih dan menghabiskan es jeruk ia mulai menanyakan tujuan selanjutnya dari acara malam mingguan mereka.Â
"Pulang ...." Bara menjawab tandas seraya menyingkirkan piring.
Sontak Maya memutar badan menghadap Bara yang duduk di sebelahnya. "Pulang?" Suaranya bergetar menahan segala rasa yang dipendam selama sebulan ini. Mendengar jawaban Bara yang begitu ringan membuatnya semakin yakin kalau Bara tak ingin menghabiskan beberapa jam bersamanya malam ini.
"Banyak kerjaan soalnya, terus ini aku kan minjem helm teman aku." Bara buru-buru meluruskan begitu menyadari tatapan elang Maya.
Perih mengiris hati Maya pelan-pelan. Setumpuk kecewa ditahannya agar tak terlontar. Maya tak habis pikir Bara bisa setega ini. Semakin yakin saja dirinya kalau Bara punya cewek lain.
Dilihat dari gelagatnya, Bara benar-benar akan mengantar Maya pulang. Mereka berdua bungkam begitu berada di atas motor. Sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Padahal Maya masih ingin berduaan dengan Bara. Begitu banyak yang ingin dibicarakannya malam ini. Bara seperti dicuci otak, tak mau lagi mengobrol atau terbuka padanya. Maya merasa semakin jauh darinya. Tiba-tiba saja amarah itu meluap. Maya tak bisa menahan mulutnya agar tidak berteriak.
"Kamu sengaja ngehindarin aku karena cewe itu kan?" Teriakan marah keluar begitu saja dari mulut Maya.
Bara langsung mengerem motornya. "Turun kamu! Pulang sana sendiri!" teriaknya.
Hati Maya sakit bukan main. "Kamu emang selingkuh!" jeritnya begitu menginjak jalan aspal.
Brakk!! Tiba-tiba Bara memukul helm sampai melorot menutupi wajah Maya. "Udah berkali-kali aku bilang cuma fokus sama kamu!" teriaknya.
Maya menunduk. Hatinya makin sakit. Tak disangka Bara bisa sekasar ini. Hatinya menjerit, sangat lelah. Dikhianati, diabaikan dengan sengaja, sepertinya Bara sengaja menunjukkan kalau dirinya memang tak berharga. Sungguh ia tak tahan dengan semua penderitaan hati ini. Kejadian selanjutnya semakin membulatkan hati Maya untuk meninggalkan Bara.Â
Entah apa yang merasuki cowoknya itu. Bara memerintahnya naik kembali ke motor. Sepanjang jalan mengantar Maya pulang ia tak berhenti berteriak. Motor digas penuh. Bahkan meloncati polisi tidur dengan brutal. Maya terlonjak-lonjak di jok belakang. Hatinya beku mendengarkan Bara yang terus memaki dan mengendarai motor bagai setan.
***
Dua hari berlalu. Sejak kejadian itu Maya terus menolak permintaan Bara untuk bertemu. Ia kecewa, semakin hari kelakuan Bara makin menjadi. Cowoknya itu tak bisa mengontrol emosi. Maya tak mau hidup dengan pria yang kasar dan emosian. Setelah berpikir matang berulang kali, ia akhirnya memutuskan untuk pergi.
Bara sangat menyesal. Entah apa yang membuatnya bisa jadi begitu kasar pada Maya. Berulang kali ia berusaha menghubungi Maya, tapi teleponnya selalu ditolak. Bahkan Maya sering mematikan hape. Bara sangat gelisah, ia tak bisa membayangkan hidup tanpa Maya.
***
Hari ke-4 Maya memutuskan membeli tiket. Ia berpikir untuk menyerah saja. Bara seperti dicuci otak. Perlakuan Bara padanya semakin tidak masuk diakal. Â "Aku cerdas dan berharga, tak seharusnya bersabar menerima perlakuan seperti itu". Maya meyakinkan dirinya untuk mengakhiri semua.
Pukul 14.30 adalah jam keberangkatan kereta. Maya beranjak dari kursi begitu melihat penumpang yang satu kereta dengannya mulai berbaris, antre masuk peron. Tiba-tiba telinganya terusik sebuah suara. Maya menajamkan pendengaran. Ia yakin mendengar namanya dipanggil. Dan benar saja, Bara tengah berlari ke arahnya.
"Maya!" serunya sambil berlari. "Aku tadi ke kosanmu." Suara Bara tak jelas, tertutup napasnya yang tersengal. "Kenapa pergi, May? Tega ninggalin aku di sini?"
Maya memalingkan muka. "Pergi," usirnya dengan suara tertahan.
Bara meraih Maya ke pelukannya. "Dengarkan aku dulu, May. Maafkan aku, tak seharusnya emosiku seperti kemarin."
"Kamu sering marah semenjak ada cewek itu!" tuduh Maya sengit.
Bara tertegun. Tak bisa menyangkal tuduhan Maya. "Maafkan aku," bisiknya, tertunduk lesu.
"Aku juga punya hati," isak Maya. "Jangan karena sering memaafkan jadi diperlakukan seenaknya."
Bara makin menyesal. "Jangan pergi, May. Aku memang pernah bersalah, tapi sekarang tidak lagi. Aku fokus sama kamu ...."
"Perlakuanmu itu seolah tak ingin aku ada di hidupmu ...."
Bara menatap Maya lekat-lekat. "Sama sekali tidak begitu. Jujur aku tidak disukai dicurigai terus, padahal aku sudah lurus."
"Jangan marah padaku," isak Maya. Dipukulnya bahu Bara.
Bara memeluk Maya. "Maafkan aku, May. Bisakah kita kembali ke waktu itu? Di saat kita bertemu di terminal tua di kotamu?"
Sekarang giliran Maya yang tertegun. Ia memandang Bara dengan tatapan sendu. "Maksudmu?"
"Kita kembali ke titik nol. Jangan ada curiga lagi. Saling mendengarkan dan memahami seperti dulu lagi."
Maya menunduk, hatinya masih pedih. "Jangan marah padaku," ucapnya lagi.
Bara mempererat pelukannya. "Aku yang bersalah menyakiti cintamu. Maafkan, seharusnya aku tak berhak marah padamu. Maukah kamu memberi kesempatan untuk mendengarkan aku? Kita saling mendengar dan memahami lagi seperti dulu."
Maya ragu apa ia bisa. Sedangkan lukanya begitu menganga. Tapi tatapan mata Bara meluluhkan hatinya. Ah, ia memang sangat mencintai pria di hadapannya ini. Cinta itulah yang selalu membuatnya lemah. Memaafkan berkali-kali. Seperti kali ini, ia pun ingin mencoba kembali ke masa itu. Ketika tak ada luka di antara mereka.
Samar-samar terdengar suara roda melindas rel. Maya ketinggalan kereta ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H