"Baksonya semangkuk ya bang." Aku mendaratkan bokongku ke sebuah bangku plastik. Cuaca sangat panas, ku buka jaket dan meletakkannya di bahu. "Minumnya apa, Mas?" susul penjual bakso. "Teh manis dingin aja deh bang." Maksud hati ingin membuat video baru, siang ini sangat panas maka kumpulan beberapa pedagang gerobakan malah jadi tujuanku. Kalau dipikir-pikir, mungkin lebih enak buat video sambil ngisi perut. Santai sekalian bisa cerita-cerita tentang kesibukan 2 minggu lalu.
Aku mengambil tripod mini dari tas dan meletakan HP-ku di atasnya. "Lagi ngapain toh, mas?" Tukang Bakso mengalihkan fokusku. Diletakannya pesanan bakso tadi di meja, "Nge-vlog, ya?" Aku menahan senyum, "Biasalah. Mahasiswa akhir bulan juga butuh uang jajan kan, Bang." Si Tukang Bakso itu manggut-manggut setelah mendudukkan dirinya di sebelahku. "Makin edan aja emang jaman sekarang ya. Ngomong sama hape aja bisa ngantongin duit. Gak kayak jaman saya dulu yang mesti angkut-angkut barang dulu demi sesuap nasi," kata Tukang Bakso. "Yah, kan jaman mah udah beda, Bang."
Keringat jatuh di pelipisnya, si Tukang Bakso mengelap dengan handuk kecil di leher. "Ini hape mas udah on, masnya gak mau mulai?"
"Iya, Bang."
"Masnya emang mau bahas apa?" tanya sambil sekilas mengangkat alis.
"Ya ... gini-gini aja sih. Share kesibukan saya kemarin-kemarin."
"Yaaeelaaahh." Wajahnya terlihat terkejut. Matanya pun membulat, seolah-olah yang kukatakan barusan sangat aneh di matanya, "Jadi Youtuber tuh harus bisa bikin konten bermanfaat dong. Misalnya memamerkan tradisi yang ada di daerah Pasar Senen ini. Kan banyak tuh tradisi-tradisi yang bisa kamu pamerkan, kayak Ondel-Ondel dan semacamnya. Heee, gimana sih mahasiswa." Aku meringis. Sepertinya ... satu kosong. "Jangan cuma pamer semangkuk bakso sama teh manis dingin doang." Ujarnya lagi. Aku menggaruk tengkuk seraya memandang makan siangku. Kata 'pamer' yang digunakan rasanya terdengar berlebihan. "Ya gimana ya, Bang."
"Kok 'gimana', jawabannya?" Tukang Bakso itu lalu menegakkan punggung, "Sini-sini, biar saya ajarin. Yang kayak gini mah upil cuma upil, kalo buat saya." Dia menekan bulatan merah di layar HP-ku. Tanpa disangka-sangka, dia pun berbicara "Siang, Guys. Selamat datang kembali di channel youtube ... Eh, tunggu. Nama masnya siapa?"---layaknya ahli.
Aku berkedip. "Serdadu Langit."
"Nah!" Tukang Bakso itu bertepuk tangan sekali dengan nyaring, hal itu cukup membuatku terkesiap, "Channel Youtube Mas Serdadu Langit. Ngomong-ngomong nama saya Suparman, kembarannya Supermen. Hehe. Mungkin kalian asing dengan saya. Karena saya memang baru disini. Yaaah, bisa dibilang teman barunya Mas Langit inilah. Ya gak, Mas?"
Aku meringis. Satu kosong. Tidak menyangka Channel Youtube-ku akan disabotase oleh seorang Tukang Bakso.
"Di kota yang panasnya minta ampun ini, kami akan mengangkat topik tentang pengaruh negatif teknologi dan sosial media dewasa ini. Penasaran, 'kan? Yaudah, gak usah lama-lama. Lets get started!"
Seketika, rahangku jatuh. Ya ampun, mimpi apa aku semalam?
"Saya dulu pernah berpikir kalau perkembangan teknologi jaman sekarang nih sebagian besar malah bawa mudarat. Ternyata benar saja kan."
"Ya gak semuanya sih, Bang."
"Nah kan makanya saya bilang," jawabnya, "sebagian besar. Gak semuanya."
"Tergantung si pemakai." Aku menambahkan.
Bang Suparman mengangguk setuju. Jarinya menunjuk ke arah wajahku. "Karena mau sebagus apa pun aplikasinya, kalau mereka gak bisa menggunakannya dengan baik dan tepat, apa jatuhnya kalo bukan jadi mudarat?"
"Yah kayak siswa SMP yang Abang  bilang itu."
"Betul. Yang saya dengar dari teman saya ya, bocah itu mau nyebrang sendirian---ke arah stasiun. Eh tuh bocah kagak liat-liat, asal nyelonong. Udah tau jalanan rame kalo siang. Mana katanya tuh dia joget-joget sambil tangannya gini-gini," ujarnya lalu menggerakkan kedua tangannya.
Aku menahan senyum, lalu ikut menggerak-gerakan dua jariku. "Oh itu mah pasti ntahh aaapaa yang merasukimuu hingg---"
"Edan! Kaga usah dinyanyiin juga. Gelinya ampe ke bulu kaki!"
Aku tergelak bukan main. Lima menit yang lalu, mungkin aku berniat untuk menghapus video ini jika sudah sampai rumah. Tapi, niat itu segera kuurungkan ketika pikiranku terhanyut oleh semua perkataan yang dilontarkan Bang Supraman---si Tukang Bakso.
Dia benar-benar edan. Sesuai kata yang sering diucapkannya. Aku tak menyangka saja di tempat yang asing ini, aku menemukan teman ngobrol yang tidak hanya asyik, tapi juga bisa diajak bertukar pendapat.
"Ya, kalau mau disamakan, gadget itu semacam pisau sajalah. Pisau itu kan muka dua. Dia bisa jadi baik, bisa pula jahat. Tergantung di tangan siapa dia digenggam dan untuk apa dia dipakai," tambahnya, "kalau menurut Mas Langit sendiri gimana?"
Aku mengusap daguku. "Aku sih setuju dengan pendapat Bang Suparman. Apalagi, bagi anak jaman sekarang itu, beberapa dari mereka salah mengartikan kesuksesan. Yang menurut mereka 'sukses' itu... ya mereka dapat followers banyak, like-nya banyak, vote-nya banyak".
"Popularitas," tambahnya. Aku menjentikkan jari.
"Padahal, jadi terkenal itu gak seenak yang mereka bayangkan. Hampir semua artis papan atas punya haters. Tiap hari mereka diberondong kata-kata kebencian," Aku menyeruput minumanku, "tapi, lucu aja, mereka malah terobsesi untuk jadi seleb---yang padahal, itu bukan jawaban yang tepat untuk dijawab anak SMP/SMA kalau ditanya tentang cita-cita."
"Dan yang lebih lucu lagi," timpal Bang Suparman, aku menoleh padanya---menunggu jawaban, "mereka rela melakukan apa saja demi itu semua. Ya bagus deh kalau mereka mau nyari popularitas dengan cara yang kayak gini---buat konten bermanfaat. Tapi kalau sampai buang-buang duit demi real liker/followers, gimana?"
"Ah aku juga mau nambahin nih. Adekku saja sampai uninstall instragram. Aku sempet nanya ke dia, karena udah lama banget gak keliatan instagram story-nya. Tau gak apa jawabannya?! Dia jawab: hawa-hawa di sana itu panas," Aku terkekeh, "Saat itu aku mikir: Ya Tuhan, macam neraka saja."
"Adekmu gak tahan dengan baju, tas, sepatu branded  selebgram, eh?"
Kekehanku berubah menjadi tawa, "Kayanya sih, Bang. Lemah iman dia."
Bang Supraman manggut-manggut. "Itu kalau dilihat dari sisi lucunya. Tapi kalau kita lihat dari sisi sedihnya, sak kalah banyak. Saya, yang sudah belasan tahun jadi Tukang Bakso di sini, sering didatangi sebuah keluarga. Mereka makan disini---berempat, bertiga, berlima. Tapi? Sepinya bukan main. Mereka sibuk masing-masing. Padahal, mereka bisa bercakap-cakap tentang kerjaan Ayahnya, kesibukan Ibunya, pelajaran anak-anaknya di sekolah. Tapi nyatanya? Mereka lebih milih berinteraksi dengan benda mati dari pada makhluk sosial yang ada di depan mereka."
"Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat," gumamku.
"Begitulah, miris memang," tanggap Bang Supratman pendek, "lalu apalagi?"
"Ah ya beberapa tahun lalu, aku dengar di kota ini, ada siswa SMA yang dihamili oleh teman sebayanya. Mereka kenal lewat Facebook. Tapi, entah kemana laki-lakinya tidak mau tanggung jawab atau apa, dia memutilasi siswi SMA itu---dalam keadaan mengandung." Aku bergidik ngeri.
"Dari kasus ini aja, kita bisa paham kalau peran orangtua itu sangat penting dalam mengawasi anak-anaknya di dunia maya. Karena kalau dilepas, ya... bisa bahaya."
Bang Supraman tersenyum kecil. Tiba-tiba saja baik atau pun dia tidak ada yang bersuara. Suasana pun berubah. Melirik Tukang Bakso di sebelahku itu. "Ada apa, Bang?"
"Saya gak tau mau ngomong apa," balasnya masih dengan senyum kecil, dia terkekeh. Aku sendiri jadi heran, maka aku milih diam, "Peranan orang tua memang penting. Tapi saya rasa, saya gak pantas memberi pendapat tentang ini."
"Lho? Kenapa?"
"Saya gak berpengalaman mendidik anak dengan baik. Karena, saya sendiri saja... gagal menjadi Ayah."
"Tapi, apa Bang Supraman gak masalah kalau penonton tau tentang ini?"
Dia menyengir, cukup lebar. "Sebagian orang mungkin menganggapnya aib. Tapi, saya gak pengin nantinya ada Misha-Misha lain lagi di luar sana makanya saya mau berbagi kisah."
"Kalau dilihat lagi, menurut aku, Abang bukan salah didik kok. Memang sudah takdir Tuhan saja."
"Ya, benar. Seenggaknya, dari tragedi itu, saya jadi merasa kalau orangtua manapun gak boleh gagap teknologi---termasuk saya. Kami harus lebih awas terhadap anak-anak."
Aku manggut-manggut. Setengah obrolan kami didominasi oleh pengalaman pribadi Bang Supraman. Aku sendiri jadi dirundung sesal yang teramat dalam karena asal bicara. Aku sangat benci dengan momen seperti ini, dimana akulah yang membuat suasana menjadi runyam. Tapi, yang tak kusangka dari Bang Supraman adalah tidak ada raut kesal diwajahnya atas perkataanku tadi.
Ya. Siswi SMA yang beberapa menit lalu kusebutkan sepotong kisah pilunya itu bernama Misha. Gadis ini memang dikenal anti sosial, sehingga tak ada yang sadar keberadaannya sesaat sebelum tragedi nahas itu terjadi. Awalnya, aku biasa saja dengan fakta ini. Tapi ketika lelaki paruh baya disampingku menyebutkan bahwa dirinya adalah Ayahnya Misha, rasa-rasanya aku ingin pingsan.
Maka aku pun berkali-kali meminta maaf, tapi Tukang Bakso itu juga berkali-kali menjawab, "Gak apa-apa, Mas Langit. Peristiwa itu emang edan banget sampai pernah menjadi buah bibir di berbagai kota. Wajar saja kalau kamu tau."
Setelah beberapa lama berdiam diri, segerombolan anak-anak yang sedang mengiringi Ondel-Ondel.
"Nah tuh, ada Ondel-Ondel." Kata Bang Supraman yang tampak nya ingin mengalihkan pembicaraan.
Aku yang tak ingin melewatkan kesempatan ini pun langsung bersiap. Sebelum pergi ku ajak Bang Supraman agar ikut bersamaku, tidak disangka dia pun mau.
"Mumpung lagi sepi pembeli." Ucap Bang Supraman. Mereka pun berlari menuju kearah kerumunan tersebut. Â Dan waktu pun berlalu.
"Ya sudah, Guys," kata Bang Supraman seraya satu kali menepuk tangannya---aku lagi-lagi dibuat kaget dengan tingkahnya yang selalu tiba-tiba, "Mungkin segitu dulu video kali ini. Durasinya juga udah 30 menit lebih. Edaaaaan! Lelah juga ya lari-lari. jangan lupa untuk like, comment, subscribe dan nyalakan notifikasi biar kalian gak ketinggalan video baru di Channel Mas Serdadu Langit. Oke, sampai jumpa di video selanjutnyaaaa! Have a nice day!"
Aku hanya menggeleng-geleng seraya menahan senyum. Setelah berterima kasih telah menyelamatkan rencana video absurd-ku, aku membayar semangkuk bakso dan teh manis dingin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H