Lembutnya sinar mentari pagi menembus masuk ke celah jendela kamar. Gadis itu masih menggulung dirinya di dalam selimut, netranya terpejam, namun tidak terlelap. Semalam suntuk ia habiskan untuk berkelahi dengan pikirannya. Tumpukan amplop coklat mengalihkan pandangannya, berapa banyak lagi tempat yang akan ia datangi?Â
"Nadifa, bangun sayang. Nanti telat loh kerjanya." Suara lembut itu terdengar dari balik pintu. Wanita paruh baya yang rela menghabiskan waktunya untuk merawat dan mendidik anak-anaknya hingga tumbuh menjadi orang-orang hebat.Â
"Maaf, Bunda. Nadifa sudah berbohong." lirihnya pelan, tanpa terdengar oleh wanita paruh baya yang disebutnya sebagai Bunda. Sapaan hangat dari anak-anaknya. Usianya hampir 60 tahun, kerutan di wajahnya tampak jelas, tapi tidak menggambarkan rasa lelah sedikitpun. Ia akan selalu menyiapkan sarapan untuk puluhan anaknya.Â
Asrama Bunda Hana, menjadi tempat berteduhnya selama belasan tahun. Nadifa dibesarkan oleh sosok manusia berhati malaikat, penolong hidupnya. Sungguh, Nadifa merasa sangat beruntung bertemu dengan Bunda Hana.Â
Diliriknya arloji yang ia kenakan, jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Cuaca hari ini kurang bersahabat, gumpalan awan hitam berada tepat di atasnya, menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Sudah beberapa perusahaan yang ia kunjungi, namun belum ada satu pun yang mengirimkan email pemberitahuan.
Benar saja dugaannya, rintikan hujan perlahan mulai turun. Segera ia menepi mencari tempat untuk berteduh.Â
"Mas, izin duduk di sini ya." ucapnya ke arah lelaki berpakaian formal, lelaki itu hanya mengangguk lalu membenarkan kacamatanya.
"Mau kemana Mba?" Suara bariton itu berasal dari lelaki sebelahnya, Nadifa masih menatap ke arah kanan dan kiri, berusaha mencari siapa lawan bicara lelaki di sebelahnya kini.
"Kenapa? Saya tanya kamu." Suara itu lagi-lagi mengejutkan Nadifa. Suara yang kerap ia dengan setiap pagi dan malamnya, dulu. Lelaki itu menatapnya sebentar, lalu menurunkan masker yang menutupi sebagian wajahnya.
"Bunda, maafin Nadifa. Nadifa sudah bohong sama Bunda." Dipeluknya erat tubuh gadis itu, tidak peduli dengan keadaan bajunya yang basah, Bunda Hana membalas pelukannya erat, diusapnya pelan punggung anaknya.
"Kenapa sayang? Kamu bohong apa sama Bunda?" suara itu terdengar gemetar, seolah menyiratkan suatu ketakutan yang sangat besar.