Mohon tunggu...
Yolanda Tania
Yolanda Tania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki hobi menulis, baik itu karya fiksi maupun non fiksi. Beberapa karya saya telah dijadikan buku antologi, serta terdapat di blog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Brobosan, Mas Aksa

27 Januari 2023   08:55 Diperbarui: 27 Januari 2023   09:03 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu kota Yogyakarta kembali diguyur hujan. Tidak begitu deras. Sesekali diselingi bunyi cipratan air akibat hentakan kaki orang berlalu-lalang. Hujan seakan-akan mempunyai kekuatan untuk mengendalikan manusia, hanya karena hujan aktivitas manusia jadi tertunda.

Sejujurnya aku tidak begitu menyukai hujan. Suara guntur mulai terdengar, dan derasnya air semakin deras membuat keadaan semakin mencekam. Aku berdiri disebuah halte bus untuk menunggu seseorang menjemput ku. Seraya menunggu, aku merasakan sesuatu yang bergetar dari saku celanaku, yang bersumber dari getaran ponsel. Tertera nama "Mas Aksa" memanggilku.

"De, Mas Aksa sepertinya tidak bisa menjemput kamu malam ini. Tadi Pak Hasan meminta Mas untuk datang ke rumahnya." Terdengar suara khas Mas Aksa dari seberang telepon sana.

"Iya Mas, nanti Malya pulang naik angkutan umum." jawabku lesu, padahal sudah setengah jam aku menunggu Mas Aksa di sini. Telepon terputus sebelah pihak, tadinya aku akan mengeluarkan jurusku untuk merengek ke Mas Aksa agar dia berubah pikiran dan mau menjemput ku. Aku menghentakkan kaki merasa kesal, sudah pukul delapan malam, mana mungkin ada angkutan umum. 

Aku masih menunggu keajaiban datang dari dewi fortuna, tetapi sudah hampir satu jam aku menunggu, belum ada tanda-tanda angkutan umum akan lewat. Tiba-tiba ponselku berdering kembali, aku berharap Mas Aksa berubah pikiran dan akan menjemputku kemari. Tetapi kali ini panggilan dari seorang wanita yang telah meninggalkan keluarganya demi duda brengsek itu.

"Ada apa Bu? Ngga dimarahin sama suami baru mu kalau nelpon ke sini? Atau Ibu mau minta maaf dan berharap bisa balik lagi sama Bapak? tanyaku bertubi-tubi, belum ada jawaban dari telepon seberang sana, sesenggukan tangis mulai terdengar. Kenapa lagi sih? Mau buat drama baru apalagi wanita ini, ucap batinku. 

Aku sudah terlalu muak dengan ribuan drama yang telah ibuku buat. Namun, bapak selalu mengajarkan kepadaku untuk tidak sedikitpun membenci ibu, karena dia makhluk yang mulia. 

Suara tangis makin terdengar jelas, bahkan kali ini suara tangis seorang laki-laki, dan aku mengetahui betul siapa pemilik suara itu. 

Bapakku, iya betul itu suara laki-laki yang telah mengorbankan segalanya demi mempertahankan rumah tangganya, namun hasilnya nihil, ibuku lebih memilih memulai hidup barunya bersama lelaki pilihannya itu.

"Bapak? Kenapa menangis, apa Ibu menyakiti mu lagi?" Aku memberanikan diri menanyakan hal itu.

"Ke rumah sakit sekarang Nak, nanti Bapak kirim lokasinya." jawabnya singkat, jawaban itu berhasil membuat detak jantungku berdetak kencang, kaki ku gemetar, banyak pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikiranku. Aku segera mematikan ponsel lalu membuka pesan Whatsapp yang berisi lokasi rumah sakit, ternyata tidak begitu jauh dari tempatku menunggu angkutan umum. Aku segera berlari, tanpa memedulikan rintikan air hujan yang masih mengguyur kota Yogyakarta.

Jarum jam sudah mendekati pukul dua belas malam, cericit burung malam terdengar dari pepohonan di luar jendela. Ku singkirkan gorden untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. 

Semuanya sepi, seperti malam yang tenang tanpa desiran angin. Aku kembali duduk di kursi sebelah ranjang pasien, pasien dengan wajah pucatnya masih menutup rapat-rapat netranya. 

Sudah lima hari berlalu, lelaki yang dulu badannya kekar, sekarang harus berjuang untuk hidupnya dengan selang-selang yang menempel dibeberapa bagian tubuhnya. Malya memejamkan matanya saat melihat suntikan menancap di lengan Mas Aksa.

Sudah malam ke delapan, Mas Aksa belum juga bangun dari koma nya. Tidak ada perkembangan sama sekali, itulah yang dokter katakan tadi sore. 

Malam ini aku tidak menunggu Mas Aksa di rumah sakit, karena besok aku akan menghadapi Ujian Akhir Semester, jadi Bapak yang menggantikan untuk menjaga Mas Aksa. 

Malam ini aku duduk sendiri di balkon kamar, sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajahku. Aku sengaja menggeraikan rambutku. Sudah berulang kali aku mengecek ponsel, namun tak kunjung mendapatkan kabar baik dari Bapak. 

Sejak pulang sekolah, aku terus menghubungi bapak. Namun, bapak masih memberikan jawaban yang sama atas pertanyaanku. Aku menghela nafas panjang, entahlah apa yang harus aku lakukan. Jangankan untuk belajar, meluangkan waktu untuk makan saja sangat sulit. 

Aku selalu memikirkan Mas Aksa yang terbaring yang berdaya. Aku memikirkan kondisi, sungguh belum suatu saat Mas Aksa akan pergi meninggalkan ku.

26 Mei, pukul tujuh malam.

Saat itu,aku sedang duduk di balkon kamar, rutinas malam yang menemani beberapa malam belakangan ini. Ponselku berdering, segera aku mengangkatnya lalu mendekatkan ke arah telinga. "Bagaimana keadaan Mas Aksa Pak? Aku sangat khawatir dengan, apakah aku boleh menemuinya malam ini? 

Besok ujian ku tidak begitu sulit, dan aku sudah belajar." tanyaku panjang, aku sangat ingin bertemu dengan Mas Aksa. Rasanya seperti menahan rindu bertahun-tahun, padahal baru dua minggu Mas Aksa membaringkannya tubuhnya di rumah sakit. Apa Mas Aksa tidak merindukan rumah? Sehingga ia betah untuk tiduran di rumah sakit.

"Ke rumah sakit Nak, Ibu mu sudah ada di sini. Ayo kemari." Mendengar jawaban dari Bapak, aku mempunyai dua pemikiran, aku takut hal yang sama akan terulang lagi, mengenai kabar buruk Mas Aksa. Ataukah Mas Aksa sudah sembuh dari komanya?

Aku tidak membalas ajakan Bapak, langkahku tergesa-gesa saat menuruni anak tangga. Hanya piyama dan balutan cardigan yang aku kenakan. Sungguh aku sangat merindukan Mas Aksa. Aku ingin memeluknya, bercerita banyak hal, dan akan menceritakan semua soal ulangan yang menyebalkan. Aku tidak sabar untuk semua hal itu.

Sampai di rumah sakit, aku melihat Bapak, Ibu dan suami barunya sedang menunggu di luar ruangan. Aku masih mencoba berpikir positif bahwa Mas Aksa baik-baik saja. Setelah menunggu beberapa menit, dokter membuka knop pintu. Aku langsung berlari menghampiri dokter. "Bagaimana keadaan Mas Aksa, Dok? Baik-baik saja kan?" tanpa menunggu jawaban dari dokter, aku sudah mengetahui jawabannya, dokter menggelengkan kepala. Aku langsung berlari menuju kamar Mas Aksa.

Langkahku gontai saat melihat kain putih menutupi sekujur tubuhnya. Aku menghampirinya, lalu mencoba membuka kain putih itu. Wajahnya terlihatnya sangat pucat, lekungan bibirnya tergambar jelas, dia tersenyum. Apakah Mas Aksa bahagia dengan keputusannya ini? Apakah Mas Aksa sudah bertemu dengan seseorang yang mengajaknya ke surga? Atau Mas Aksa sudah terlalu lelah dengan kehidupan dunia yang munafik ini? 

Lalu, bagaimana denganku. Aku masih menginginkan Mas Aksa menemani hari-hari gelapku, aku ingin Mas Aksa yang menjadi sosok rembulan dikala malam ku, dan aku ingin Mas Aksa yang menjadi payung jika aku kehujanan. Tuhan, aku tidak mau kehilangan Mas Aksa, tolong kembalikan Mas Aksa ke hadapanku, buat dia tersenyum sediakala. 

Pandangan ku mulai gelap, kepalaku pening, kakiku terasa lemas. Entah berapa lama aku pingsan, tiba-tiba Bapak duduk di sampingku, mengajakku pulang untuk mengurus pemakaman Mas Aksa. Gelap sudah berganti terang, sinar matahari mulai menyusup jendela kamarku, di depan sana sudah banyak orang berkerumunan, terutama sahabat dekat Mas Aksa. Aku tidak berani keluar, atau bahkan hanya sekedar melihat jasad Mas Aksa yang terbujur kaku. 

Aku tidak sangguh, sungguh! Mataku sebam, bahkan terlihat sipit. Aku menangis semalaman, tidak peduli apa yang mereka katakan, bahwasanya aku harus mengikhlaskan Mas Aksa. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, Ibu membuka knop pintu, 

"Nok ayu, ayo keluar. Mau ada brobosan." Aku bergegas mengenakan pakaian serba hitam, tradisi brobosan merupakan salah satu upacara tradisi kematian yang masih dilangsungkan masyarakat Jawa, brobosan alias berjalan di bawah keranda jenazah. Brobosan dilakukan setelah keranda jenazah dikeluarkan dari dalam rumah menuju halaman depan. 

Aku tidak akan melewatkan moment ini, sungguh seperti mimpi Mas Aksa pergi untuk selama-lamanya. Aku kehilangan sosok bulan yang selama ini menemani malam ku. Tradisi brobosan bermaksud untuk menghormati sosok yang telah meninggal, brobosan juga diyakini bisa menghadirkan berkah bagi yang melakukannya. Terlebih jika yang meninggal merupakan orang yang usianya panjang, maka yang melakukan brobosan diyakini akan mewarisi berkah usia panjangnya.

Usai pemakaman, aku tidak langsung pergi meninggalkan Mas Aksa sendirian. Aku benar-benar terpukul, serasa duniaku hancur. Ibu yang bahagia dengan keluarga barunya, Mas Aksa yang pergi tanpa pamit, dan sekarang aku hanya punya Bapak. Mungkin ini takdir kehidupan yang telah tertulis, aku hanya bisa menjalaninya dengan ikhlas. Tidak ada yang kekal di dunia ini, semuanya akan kembali lagi ke tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun