Mohon tunggu...
yolaagne
yolaagne Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Jurnalistik

sorak-sorai isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Amsterdam, Saksi Bisu 508 Tahun Keserakahan, Pengabdian, dan Kehancuran

6 Juni 2020   19:28 Diperbarui: 6 Juni 2020   19:25 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
salah satu bagian selekoh dari benteng | Foto: Yola

Jejak bangsa Asing

Semilir angin terasa menyentuh kulit, ketika saya berdiri di antara bangunan berumur 508 tahun ini. Suasana sepi menyelimuti benteng dari pagi hingga sore hari. Di samping pesisir laut, benteng Amsterdam setia berdiri dengan kisah kelamnya. Benteng amsterdam menjadi saksi bisu, mencatat banyak sejarah tentang tsunami dan si tuna netra dari Portugis yang mengabdikan hidupnya untuk mempelajari flora dan fauna.

Pada awalnya bangunan yang berdiri pada Juli 1512 diberi nama Castel Vanveree oleh bangsa Portugis. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan hasil pala dan cengkih yang banyak dihasilkan oleh tanah Maluku. Lambat laun, masyarakat Maluku merasa dirugikan dan membuat perlawanan terhadap keberadaan Portugis.

Hal ini dimanfaatkan bangsa Belanda untuk mengambil alih benteng. Ketika perdagangan rempah-rempah menyadi komuditas utama di nusantara, Belanda mengubah fungsi benteng menjadi bangunan pertahanan dari serangan kapal-kapal asing.

salah satu bagian selekoh dari benteng | Foto: Yola
salah satu bagian selekoh dari benteng | Foto: Yola

Saya berdiri di salah satu selekohnya sambil memandang benteng secara keseluruhan, membawa nuansa samar-samar tentang keserakahan bangsa asing terhadap tanah Maluku. Secara bergantian bangsa asing datang untuk memanfaatkan kekayaan Maluku dan merugikan masyarakat asli.

Jejak Rumphius tergambar samar

Setelah lelah menjelajah luar benteng, saya dan seorang teman memasuki bangunan. Setelah beberapa langkah masuk, saya merinding. Ternyata suasana di dalam lebih senyap. Hawanya tidak seperti saat pertama kali menginjakan kaki, meskipun pertama kali datang memang hanya ada saya dan teman saya yang berkunjung. Saya sendiri sebenarnya ragu untuk naik ke lantai dua, namun sudah terlanjur jauh-jauh ke sini setidaknya saya harus melihat keseluruhan bangunan.

Tangga menuju lantai 2 | Foto: Yola
Tangga menuju lantai 2 | Foto: Yola

Saya pun menaiki anak tangga kokoh yang terbuat dari kayu. Mengamati tiap sudut bangunan dan langit-langitnya. Usia bangunan yang tua sangat tercermin hanya dengan melihatnya. Dari lantai dua kami disajikan pemandangan yang indah. Letak benteng yang berhadapan langsung membuat angin leluasa berlari kesana-kemari.

Saya berdiri di balkon dan melihat ke dalam bangunan. Ternyata di sini lah seorang Georg Everhard Rumphius, seorang naturalis asal Jerman pernah tinggal. Awalnya ia seorang pegawai di East Indies Company (EIC) milik Inggris. Di benteng ini dia meneliti flora dan fauna yang ada di Maluku, sebelum ia menikahi gadis Ambon dan pindah di Hitu, daerah pesisir utara Jazirah Lehitu.

Rumphius telah jatuh cinta kepada flora dan fauna. Hingga mengabdikan 50 tahun hidupnya untuk meneliti beragam jenis flora dan fauna. Kecintaannya ini didukung oleh istri dan anak-anaknya. Jatuh hatinya terhadap tanah Maluku harus berkali-kali diuji. Karena kesehatannya terganggu, ia mengalami kebutaan. Namun, ia tidak menyerah. Penelitiannya terus berlanjut dengan bantuan keluarga.

Tidak hanya sampai disitu, cintanya diuji lagi dengan kebakaran yang menghanguskan sebagian karyanya. Seperti ditimpa bumi di atas kepala, 4 tahun setelah penglihatannya lenyap, ia harus kehilangan salah satu putrinya akibat gempa dahsyat saat itu.

Namun, kecintaannya pada flora dan fauna membawa ia kepada pengabdian yang membuatnya menyelesaikan sebuah buku berjudul Herbarium Amboinense.

Tsunami terbesar

Setelah menyelesaikan lamunan saya akan Rumphius. Kami mengambil beberapa foto dari jendela dan balkon. Saya sering melihat orang-orang melakukan foto prewed di sini, saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah lelah berfoto, kami duduk di salah satu balkon memandang ke arah laut.

Angin berhembus kuat, menyingkirkan rasa lelah kami yang lupa membawa perbekalan. Saat itu ombak bergulung cukup deras karena sedang musim angin laut. lagi-lagi saya dibawa kisah tsunami yang pernah melanda daerah ini.

Rumphius, dalam salah satu karyanya menceritakan kisah pahit yang harus di alaminya. Ketika itu gempa  mengakibatkan tsunami dan meluluhlantakan sekitar 11 desa di pulau Ambon dan Seram. 2.332 nyawa terenggut dari bencana tsunami ini.

Ketika itu pergantian tahun baru. Tiba-tiba bumi bergoncang dengan kuatnya, membuat bukit-bukit runtuh dan tanah terbelah. Orang-orang berjatuhan karena guncangan kuat yang membuat gulungan ombak setinggi tiga meter.

Bangunan benteng yang berhadapan langsung dengan laut | Foto: Yola
Bangunan benteng yang berhadapan langsung dengan laut | Foto: Yola

Menurut catatan Rumphius, tsunami ini adalah bencana terbesar dalam perjalanan nusantara pada tahun 1674. Di Hila, tempat benteng Amsterdam berdiri sebanyak 1.461 orang tewas. Dari banyaknya korban tsunami, putri Rumphius salah satunya. Kehilangan putri yang disayangi sangat memukul batinnya.

Teman saya menyadarkan saya dari lamunan. ternyata ia sudah merasa lapar dan meminta pulang untuk makan dan salat. Saya tidak melanjutkan pengamatan di lantai tiga karena rasa takut yang dari tadi mengikuti. Saya tidak membayangkan bagaimana jika malam tiba. pencahayaan di benteng hanya mengandalkan cahaya matahari.

Bangunan ini pernah dipugar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku. Namun, keadaan benteng sekarang sangat tidak terawat. Cat bangunan sudah pudar dan kurang mendapat perawatan. Seharusnya bangunan yang banyak mengandung sejarah diperhatikan lebih baik lagi. Bangunan hebat yang berumur sangat senja ini, harus mendapat banyak perhatian agar tetap bisa hidup dalam sejarah Maluku.

Cat bangunan yang sudah luntur dan terkelupas | Foto: Yola
Cat bangunan yang sudah luntur dan terkelupas | Foto: Yola

Gerbang masuk | Foto: Yola
Gerbang masuk | Foto: Yola

Tithy berpose dengan prasasti | Foto: Yola
Tithy berpose dengan prasasti | Foto: Yola

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun