Jejak bangsa Asing
Semilir angin terasa menyentuh kulit, ketika saya berdiri di antara bangunan berumur 508 tahun ini. Suasana sepi menyelimuti benteng dari pagi hingga sore hari. Di samping pesisir laut, benteng Amsterdam setia berdiri dengan kisah kelamnya. Benteng amsterdam menjadi saksi bisu, mencatat banyak sejarah tentang tsunami dan si tuna netra dari Portugis yang mengabdikan hidupnya untuk mempelajari flora dan fauna.
Pada awalnya bangunan yang berdiri pada Juli 1512 diberi nama Castel Vanveree oleh bangsa Portugis. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan hasil pala dan cengkih yang banyak dihasilkan oleh tanah Maluku. Lambat laun, masyarakat Maluku merasa dirugikan dan membuat perlawanan terhadap keberadaan Portugis.
Hal ini dimanfaatkan bangsa Belanda untuk mengambil alih benteng. Ketika perdagangan rempah-rempah menyadi komuditas utama di nusantara, Belanda mengubah fungsi benteng menjadi bangunan pertahanan dari serangan kapal-kapal asing.
Saya berdiri di salah satu selekohnya sambil memandang benteng secara keseluruhan, membawa nuansa samar-samar tentang keserakahan bangsa asing terhadap tanah Maluku. Secara bergantian bangsa asing datang untuk memanfaatkan kekayaan Maluku dan merugikan masyarakat asli.
Jejak Rumphius tergambar samar
Setelah lelah menjelajah luar benteng, saya dan seorang teman memasuki bangunan. Setelah beberapa langkah masuk, saya merinding. Ternyata suasana di dalam lebih senyap. Hawanya tidak seperti saat pertama kali menginjakan kaki, meskipun pertama kali datang memang hanya ada saya dan teman saya yang berkunjung. Saya sendiri sebenarnya ragu untuk naik ke lantai dua, namun sudah terlanjur jauh-jauh ke sini setidaknya saya harus melihat keseluruhan bangunan.
Saya pun menaiki anak tangga kokoh yang terbuat dari kayu. Mengamati tiap sudut bangunan dan langit-langitnya. Usia bangunan yang tua sangat tercermin hanya dengan melihatnya. Dari lantai dua kami disajikan pemandangan yang indah. Letak benteng yang berhadapan langsung membuat angin leluasa berlari kesana-kemari.
Saya berdiri di balkon dan melihat ke dalam bangunan. Ternyata di sini lah seorang Georg Everhard Rumphius, seorang naturalis asal Jerman pernah tinggal. Awalnya ia seorang pegawai di East Indies Company (EIC) milik Inggris. Di benteng ini dia meneliti flora dan fauna yang ada di Maluku, sebelum ia menikahi gadis Ambon dan pindah di Hitu, daerah pesisir utara Jazirah Lehitu.
Rumphius telah jatuh cinta kepada flora dan fauna. Hingga mengabdikan 50 tahun hidupnya untuk meneliti beragam jenis flora dan fauna. Kecintaannya ini didukung oleh istri dan anak-anaknya. Jatuh hatinya terhadap tanah Maluku harus berkali-kali diuji. Karena kesehatannya terganggu, ia mengalami kebutaan. Namun, ia tidak menyerah. Penelitiannya terus berlanjut dengan bantuan keluarga.
Tidak hanya sampai disitu, cintanya diuji lagi dengan kebakaran yang menghanguskan sebagian karyanya. Seperti ditimpa bumi di atas kepala, 4 tahun setelah penglihatannya lenyap, ia harus kehilangan salah satu putrinya akibat gempa dahsyat saat itu.
Namun, kecintaannya pada flora dan fauna membawa ia kepada pengabdian yang membuatnya menyelesaikan sebuah buku berjudul Herbarium Amboinense.
Tsunami terbesar
Setelah menyelesaikan lamunan saya akan Rumphius. Kami mengambil beberapa foto dari jendela dan balkon. Saya sering melihat orang-orang melakukan foto prewed di sini, saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah lelah berfoto, kami duduk di salah satu balkon memandang ke arah laut.
Angin berhembus kuat, menyingkirkan rasa lelah kami yang lupa membawa perbekalan. Saat itu ombak bergulung cukup deras karena sedang musim angin laut. lagi-lagi saya dibawa kisah tsunami yang pernah melanda daerah ini.
Rumphius, dalam salah satu karyanya menceritakan kisah pahit yang harus di alaminya. Ketika itu gempa  mengakibatkan tsunami dan meluluhlantakan sekitar 11 desa di pulau Ambon dan Seram. 2.332 nyawa terenggut dari bencana tsunami ini.
Ketika itu pergantian tahun baru. Tiba-tiba bumi bergoncang dengan kuatnya, membuat bukit-bukit runtuh dan tanah terbelah. Orang-orang berjatuhan karena guncangan kuat yang membuat gulungan ombak setinggi tiga meter.
Menurut catatan Rumphius, tsunami ini adalah bencana terbesar dalam perjalanan nusantara pada tahun 1674. Di Hila, tempat benteng Amsterdam berdiri sebanyak 1.461 orang tewas. Dari banyaknya korban tsunami, putri Rumphius salah satunya. Kehilangan putri yang disayangi sangat memukul batinnya.
Teman saya menyadarkan saya dari lamunan. ternyata ia sudah merasa lapar dan meminta pulang untuk makan dan salat. Saya tidak melanjutkan pengamatan di lantai tiga karena rasa takut yang dari tadi mengikuti. Saya tidak membayangkan bagaimana jika malam tiba. pencahayaan di benteng hanya mengandalkan cahaya matahari.
Bangunan ini pernah dipugar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku. Namun, keadaan benteng sekarang sangat tidak terawat. Cat bangunan sudah pudar dan kurang mendapat perawatan. Seharusnya bangunan yang banyak mengandung sejarah diperhatikan lebih baik lagi. Bangunan hebat yang berumur sangat senja ini, harus mendapat banyak perhatian agar tetap bisa hidup dalam sejarah Maluku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H