Rumphius telah jatuh cinta kepada flora dan fauna. Hingga mengabdikan 50 tahun hidupnya untuk meneliti beragam jenis flora dan fauna. Kecintaannya ini didukung oleh istri dan anak-anaknya. Jatuh hatinya terhadap tanah Maluku harus berkali-kali diuji. Karena kesehatannya terganggu, ia mengalami kebutaan. Namun, ia tidak menyerah. Penelitiannya terus berlanjut dengan bantuan keluarga.
Tidak hanya sampai disitu, cintanya diuji lagi dengan kebakaran yang menghanguskan sebagian karyanya. Seperti ditimpa bumi di atas kepala, 4 tahun setelah penglihatannya lenyap, ia harus kehilangan salah satu putrinya akibat gempa dahsyat saat itu.
Namun, kecintaannya pada flora dan fauna membawa ia kepada pengabdian yang membuatnya menyelesaikan sebuah buku berjudul Herbarium Amboinense.
Tsunami terbesar
Setelah menyelesaikan lamunan saya akan Rumphius. Kami mengambil beberapa foto dari jendela dan balkon. Saya sering melihat orang-orang melakukan foto prewed di sini, saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah lelah berfoto, kami duduk di salah satu balkon memandang ke arah laut.
Angin berhembus kuat, menyingkirkan rasa lelah kami yang lupa membawa perbekalan. Saat itu ombak bergulung cukup deras karena sedang musim angin laut. lagi-lagi saya dibawa kisah tsunami yang pernah melanda daerah ini.
Rumphius, dalam salah satu karyanya menceritakan kisah pahit yang harus di alaminya. Ketika itu gempa  mengakibatkan tsunami dan meluluhlantakan sekitar 11 desa di pulau Ambon dan Seram. 2.332 nyawa terenggut dari bencana tsunami ini.
Ketika itu pergantian tahun baru. Tiba-tiba bumi bergoncang dengan kuatnya, membuat bukit-bukit runtuh dan tanah terbelah. Orang-orang berjatuhan karena guncangan kuat yang membuat gulungan ombak setinggi tiga meter.
Menurut catatan Rumphius, tsunami ini adalah bencana terbesar dalam perjalanan nusantara pada tahun 1674. Di Hila, tempat benteng Amsterdam berdiri sebanyak 1.461 orang tewas. Dari banyaknya korban tsunami, putri Rumphius salah satunya. Kehilangan putri yang disayangi sangat memukul batinnya.
Teman saya menyadarkan saya dari lamunan. ternyata ia sudah merasa lapar dan meminta pulang untuk makan dan salat. Saya tidak melanjutkan pengamatan di lantai tiga karena rasa takut yang dari tadi mengikuti. Saya tidak membayangkan bagaimana jika malam tiba. pencahayaan di benteng hanya mengandalkan cahaya matahari.