Mohon tunggu...
yolaagne
yolaagne Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Jurnalistik

sorak-sorai isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Anak Laki-laki dan Bintang Jatuh

29 Februari 2020   21:21 Diperbarui: 2 Maret 2020   17:25 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan sedang menumpahkan seember bintang di langit yang sebelumnya dicat dengan warna cahaya keemasan. Nelayan-nelayan sudah menyandarkan perahu ketepian dan bergegas pulang menemui anak-istri. Burung laut sudah pulang kesangkarnya. Air laut mulai pasang, menandakan malam tiba.

Seorang anak laki-laki dengan bau laut di tubuhnya yang juga memiliki hati langit, tengah mondar-mandir di tepi pantai mencari sesuatu. Saat itu senja baru saja tergelincir dari atas sana, berbekal kantong  dari anyaman bambu dan sebuah senter kecil anak itu terus menyisiri bibir pantai.

Kedua mata yang membawa ombak di dalamnya tak lengah menatap satu demi satu pasir dan batu karang. Entah apa yang ia cari di hari yang sudah gelap. Sesekali badan dan bibirnya bergetar menahan dingin angin malam. 

"Apa yang kau cari adik kecil?" tanya salah satu bintang jatuh. Anak kecil tersebut tidak heran lagi, karena ini bukan pertama kalinya ia mendengar bintang jatuh berbicara

"Aku mencari keadilan wahai bintang," jawabnya. 

Anak laki-laki itu sering melihat orang membuang keadilan dari kantong mereka. Ada yang datang hanya untuk membuang keadilan dan ada yang membuang sekaligus mengambil kekayaan dengan jaminan, itu mereka harus kembali dan membuang kemanusiaan mereka.

"Aku membutuhkan keadilan itu, ibuku sedang dihakimi penduduk kampung karena mematahkan ranting di hutan milik warga. Padahal ranting itu digunakan untuk menolong pendaki yang kedinginan," lanjut anak itu dengan air yang mulai menggenang di sudut matanya. Tangannya masih terus menelusuri pasir dan bebatuan.

Cahaya bintang semakin tegas terlihat. Telapak tangan dan kaki anak tersebut mulai keriput dihantam dingin air laut. 

"Percuma saja dik, walaupun kau membawa seribu keadilan pada mereka, mereka tidak akan menerima itu. Percaya padaku, setiap hari selalu kuawasi penduduk di desa ini". 

Anak laki-laki itu mulai kesal dan melempari bintang dengan pasir laut.

"Dasar bintang pengganggu! Kenapa tak kau pergi saja bermain dengan bintang jatuh lainnya. Biarkan aku mencari sendiri." Karena kesal anak itu mulai tidak khusyuk mencari keadilan. 

"Pulang dan cuci kaki saja, dik. Setiap malam aku melihat penduduk datang membuang keadilan dan tidak hanya sekali mereka datang, lagi dan lagi. semua orang di desa ini sudah membuang keadilan dan kemanusian terkecuali dirimu dik. Orang terakhir yang kulihat di pantai ini adalah ibumu, ia sudah membuang keadilannya demi membawa pulang beberapa bongkah kekayaan."

Anak lelaki itu baru tersadar, bahwa ibunya menolong pendaki dalam perjalanan ke pantai. Tangan yang semula cekatan mencari di tepian pantai mendadak terhenti. Angin berdesir kencang. 

Tubuhnya bergetar hebat, air mata yang menggenang kini tumpah menjadi air laut. Bintang jatuh merasa bersalah telah mengatakan yang sebenarnya. Tapi ia juga kasihan melihat anak lelaki itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun