Mohon tunggu...
Yokie S
Yokie S Mohon Tunggu... Freelancer - Adalah seorang Pelacur Spiritual yang merangkap sebagai Penulis Gelap secara fungsional.

Situs alamat saya ini, sejak awal, sudah saya rancang dengan konstruksi tanpa pintu. Jadi Anda, bebas mau keluar, atau mau masuk, atau mau jungkirbalik sekalian. Entah kenapa Admin Kompasiana yang cantik itu mengizinkan saya meluncurkan tulisan-tulisan tidak beres saya di sini. Saya kira sudah cukuplah semua basa-basi penghantar ini ya? Saya bukan ahli silaturahmi soalnya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Benarkah Fredrich Hegel Lebih Dulu Membunuh Tuhan sebelum Nietzsche?

29 November 2021   16:44 Diperbarui: 29 November 2021   17:03 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang Nihilis, bukan sudah tidak mau perduli lagi dengan apa yang terjadi di Bumi. Menjadi seorang Nihilis, bukan berarti Anda juga memandang segala sesuatu dengan kosong melompong saja. Misalnya, ketika perut Anda sedang mulas, lalu mentang-mentang Anda seorang Nihilis, lantas Anda berak di celana. Dasar tolol!

Orang-orang yang memandang Nihilisme adalah sebuah konsep tentang hidup tidak bermakna itu adalah hasil dari analisis yang dilakukan manusia awam dengan cara serampangan dan ugal-ugalan. Hanya masuk di level dasar, tapi sudah langsung ngomel-ngomel kesana-kemari.

Hidupnya Nihilisme di dalam mercusuar kesadaran Anda, bukan berarti matinya integritas personal. Jika Anda lakukan penelitian melalui Google, maka pemahaman manusia akar rumput terlihat bertengger bebas di situs-situs, biasanya ditulis dalam bentuk PDF atau dalam bentuk disertasi yang dipublikasi. Semakin tidak nyambung lagi jika disertasi itu ternyata ditulis oleh seonggok manusia lulusan Universitas bermerk Agama.

"Lalu, jika sudah menghancurkan semuanya dengan martil Nihilis, apa dong yang tersisa? Apa dong yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menabuh makna di dalam hidup? Bukannya semua yang bersifat esensial sudah dibabat habis tidak bersisa, Bung?"

Nah, kalau pertanyaan Anda begitu, artinya perangkat kesadaran Anda masih memerlukan sebuah tempat yang bernama sandaran, barometer atau sebuah penggaris untuk mengukur-ukur kadar kemutlakan esensi. Dalam pemahaman Anda, keluar dari Masjid maka harus masuk Gereja. Keluar dari Gereja, maka harus masuk Kuil. Itu artinya, Anda masih sakit jiwa.

Kalau saya inikan sudah capek dengan itu semua. Sudah bukan level saya lagi. Tidak punya waktu saya meladeni isyarat perdebatan sampah rendahan begitu. Apalagi melihat gelagat tawuran gelandangan maya facebook yang sok intelek kesana-kemari. Sudah muak saya.

Sudah ya, saya sudah muak berbicara dengan Anda.
.
Bung Plontos.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun