Sekira pukul 19.00, selepas makan malam, tetiba lampu kamar hotel mati. Lantai terasa bergerak-gerak. Sontak, aku bangun dari rebahan, menyambar tas, dan lari terbirit keluar hotel.
Aku mencoba bergerak ke jalan. Rupanya banyak orang yang nongkrong di tepi jalan.
"Mereka takut juga di dalam rumah," pikirku.
Aku terus bergerak sebuah warung kecil. Aku beli baterai untuk cadangan lampu penerang dan dua lilin.
Sekembali ke hotel, lobby nampak sudah sepi. Namun, ketika melangkah menuju kamar, bumi kembali bergerak. Aku pun kembali lari terbirit ke luar.
Malam itu, kuhabiskan tiduran di kursi lobby hotel. Tak nyaman memang, tapi itulah yang kurasa lebih aman.
Di malam ketiga, aku masih merasa belum nyaman dan aman. Kursi di lobby hotel pun menjadi pilihan untuk merebahkan badan. Kekhawatiran masih saja terus bergelanyut.
Kekhawatiran itu muncul berhadapan dengan kekuatan alam. Ketakutan pun merunduk di bawah kuasa-Nya.
Baru di malam keempat, aku sudah mulai terbiasa dengan bumi yang bergerak mendadak, mati lampu, serta sirene ambulans yang memekakkan telinga.
Sejak itu hingga malam ketujuh, aku benar-benar baru bisa merasakan kenyamanan istirahat di sebuah hotel. Meskipun kadang tiba-tiba jantung berdebar pasrah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H