Minggu siang, 4 Oktober 2009, aku tiba Bumi Minang. Kekhawatiran pertama baru terasa. Ya, mesti merebahkan badan di mana?
Beberapa penginapan di Kota Padang rusak, bahkan tak sedikit yang merata dengan tanah.
Setelah berputar-putar ditemani seorang teman di sana, akhirnya dapat juga penginapan.
Namanya Hotel Immanuel. Lokasinya di Jalan Hayam Wuruk No. 43, sepelemparan batu dari Pantai Padang, tak jauh dari Jembatan Siti Nurbaya yang ikonik itu.
Tampak luar, bangunan penginapan terlihat sudah tua, seperti bangunan milik Belanda. Tembok-tembok besar kokoh menompang bangunan. Pintu dan jendela berukuran besar pun menyergap menyapa.
Perabot di interior yang banyak menggunakan bahan baku kayu menambah nuansa masa lalu.
Masuk ke dalam kamar, ada tempat tidur satu berukuran besar. Meja dengan cermin yang super besar. Kamar mandi sudah berdesain sedikit modern.
Meski terasa nyaman, tapi check-in di tengah gempa tetap menyelipkan rasa khawatir.
Gempa susulan, bangunan roboh di sana-sini, dan gelombang tsunami terus berputar di pelupuk kekhawatiran. Atau yang lebih tepatnya adalah ketakutan.
Gempa susulan, mati lampu
Kekhawatiran pertama terlampaui. Malam pertama kulalui dengan cukup sempurna. Aku pun bisa menjalankan tugas dengan tenang.
Kekhawatiran kedua baru muncul di malam kedua.