Mohon tunggu...
Yohanes Prayogo
Yohanes Prayogo Mohon Tunggu... Penulis

Warga negara Indonesia yang ingin terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eni Rosita, Berlari dengan Kaki Terluka

17 November 2020   11:36 Diperbarui: 17 November 2020   11:43 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nama perempuan itu Eni Rosita. Dini hari menjelang pagi, Sabtu, 8 Oktober 2016. Eni berbaur dengan ratusan peserta gelaran Mesastila Peak Challenge. Mereka saling berbaku sapa dan berfoto ria di garis start. Kebanyakan peserta sudah saling mengenal satu sama lain, baik sesama peserta dari Indonesia maupun dari mancanegara.

Mesastila Peak Challenge merupakan perhelatan lomba lari yang unik dan ekstrem. Perlombaan ini mengambil start dan finish di Mesastila Hotel & Resort di kawasan Losari, Magelang, Jawa Tengah. Para peserta perlombaan ini tak lari di lintasan stadion atau di jalan raya, tapi ditantang berlari di alam terbuka. Peserta mesti menggapai lima puncak gunung di Jawa Tengah; Gunung Andong (1726 mdpl), Gunung Merbabu (3145 mdpl), Gunung Merapi (2930 mdpl), Gunung Telomoyo (1894 mdpl), dan Gunung Gilipetung (1400 mdpl).

Bendara start pun dikibarkan tepat pukul pukul empat subuh. Eni berlari santai diterpa cuaca yang cukup cerah. Menjelang siang, rute mulai dirundung mendung dan gerimis tipis mulai turun. Sebelum Puncak Kenteng Songo, tetiba cuacu berubah. Angin kencang, hujan kian lebat.

"Jalur ini cukup curam dan licin karena hujan. Butuh kehati-hatian ekstra untuk melaluinya. Sampai di Pos Selo, aku menyempatkan diri beristirahat sebentar sebelum lanjut ke puncak Merapi," kisah Eni.

Hujan masih terus mengguyur, ketika Eni berlari menuju puncak Merapi. Hari pun mulai gelap ditingkahi kabut tebal dan angin kencang. Bahkan di Pasar Bubrah, jarak pandang hanya satu sampai dua meter. Udara dingin kian terasa menggigit tulang.

Malam terus merangkak. Hujan agak mereda meninggalkan rintik gerimis. Saat itu sekira pukul delapan malam. Eni masih terus berlari sendiri. Lepas satu atau dua kilometer dari Pos Selo, menuju ke jalur penanjakan, Eni merasa ada sepeda motor hendak melintas dari belakang. Jalur itu memang biasa dilintasi sepeda motor penduduk setempat.

Eni pun menepi ke sisi kanan jalan agar sepeda motor bisa melintas. Tapi, ketika sepeda motor itu mendekat, tiba-tiba ada rasa dingin di kakinya. Sontak, Eni menoleh ke belakang untuk mencari tahu. Eni melihat sepeda motor itu berbalik arah dengan cepat.

Dalam hitungan detik rasa dingin yang menjalar di kakinya berubah menjadi rasa panas dan perih tak tertahankan. Eni panik. Ia berteriak minta tolong. Tapi, tak ada satu pun warga yang kelihatan.

Tanpa berpikir panjang, Eni berlari sekencang mungkin, berharap menemukan rumah warga yang bisa aku ketok untuk dimintai tolong. Seratus meter berselang, Eni melihat ada rumah warga yang masih terbuka pintunya. Ia pun langsung masuk dan minta tolong.

"Saat itu, aku sudah tidak memikirkan apa-apa lagi selain menahan rasa perih dan panas di seluruh kaki dan muka," kisah lulusan Teknik Sipil dari Universitas Indonesia ini.

Eni pun segera dilarikan ke Puskesmas setempat. Tapi ternyata di Puskesmas tak tersedia obat dan alat untuk luka di kaki Eni. Ia terpaksa dibawa ke Rumah Sakit Umum Boyolali, Jawa Tengah.

Di situlah Eni baru tahu bahwa ia disiram dengan air keras. Segera tim medis menangani luka-luka Eni. Semalam itu, ia berbaring di UGD. Esok paginya, dokter berujar, Eni mesti menjalani serangkaian operasi pengangkatan jaringan rusak dan mati akibat siraman air keras untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang terjadi. Tapi, operasi mesti dilakukan di Yogyakarta.

"Kakiku sudah menjadi hitam seluruhnya, sekeras batang kayu, serta sudah mati rasa," kata ibu dari dua anak ini.

Tapi Eni memutuskan untuk pulang ke Tangerang dan menjalani pengobatan di rumah sakit di sana. Jeda waktu untuk pengobatan kian bertambah. Dan zat kimia itu semakin menggerogoti tubuhnya.

"Ini sebuah perjalanan kembali ke arah yang sama sekali berlawanan. Aku harus finish di ranjang pesakitan rumah sakit," ujarnya.

Proses pemulihan luka-luka itu memakan waktu yang panjang. Padahal ia harus tetap bekerja dan mengurus keluarga. Tetapi, Eni tetap menebarkan semangat. Ia tak putus asa. Bahkan, selama proses pemulihan, meskipun menyakitkan, ia mencoba melupakan kejadian nahas itu.

Sejak ia ditolong penduduk setempat, ia telah memaafkan sang pelaku. Ia tak mau mengingat-ingat lagi kejadian itu. Ia juga tak peduli siapa pelakunya. Ia sudah memaafkan dan melupakan.

"Karena mengingat kejadian itu, sama saja membuka luka dan trauma," ucap perempuan yang lahir dan besar di sebuah desa di kaki Gunung Slamet, Jawa Tengah.

Meskipun dengan kaki penuh luka, Eni memutuskan berlari lagi. Di sela pekerjaan di kantor dan mengurus keluarga, ia berlatih. Beberapa ajang lomba lari trail dan ultra trail, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, ia taklukkan. Bahkan, ia terus menorehkan prestasi. Eni menjadi perempuan pertama yang menaklukkan Lintas Sumbawa 320K pada 2017.

Puncaknya, bersama dua rekannya, Eni mengikuti ajang Petite Trotte Lon (PTL), salah satu seri dalam perhelatan akbar lari trail dunia, Ultra Trail du Mont Blanc (UTMB), yang melewati wilayah Perancis, Swiss, dan Italia. Ia pun tercatat sebagai perempuan pertama Indonesia yang berhasil menaklukkan Petite Trotte Lon.

Selepas ajang Petite Trotte Lon, Eni terus menggapai prestasi. "Aku sudah seratus persen sembuh. Menatap bekas-bekas luka di kakiku, tak sedih, tak marah, atau bahkan dendam. Ketika menjalani proses penyembuhan, aku memang kerap menangis. Aku menangis bukan lantaran marah atau sedih. Tangis itu karena aku menahan sakit yang luar biasa."

"Kini, aku menanggap bekas-bekas luka di kakiku itu adalah "hiasan" yang menjadikan tubuhku lebih indah. Tak ada sakit, tak ada marah, tak ada sedih, tak ada trauma di sana," kata perempuan penerima Woman of the Year 2017 versi majalah Her World Indonesia.

Bagi Eni, lari telah mengajarinya tentang kerja keras, tentang pantang menyerah. Dari lari, Eni belajar menjadi pribadi yang rendah hati, sabar, dan tabah.

"Aku hanya ingin terus berlari, berlari, dan terus berlari. Aku ingin menjelajah bagian bumi yang lain lagi dengan berlari. Ke negeri-negeri seberang yang masih menjadi misteri buatku."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun