Di situlah Eni baru tahu bahwa ia disiram dengan air keras. Segera tim medis menangani luka-luka Eni. Semalam itu, ia berbaring di UGD. Esok paginya, dokter berujar, Eni mesti menjalani serangkaian operasi pengangkatan jaringan rusak dan mati akibat siraman air keras untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang terjadi. Tapi, operasi mesti dilakukan di Yogyakarta.
"Kakiku sudah menjadi hitam seluruhnya, sekeras batang kayu, serta sudah mati rasa," kata ibu dari dua anak ini.
Tapi Eni memutuskan untuk pulang ke Tangerang dan menjalani pengobatan di rumah sakit di sana. Jeda waktu untuk pengobatan kian bertambah. Dan zat kimia itu semakin menggerogoti tubuhnya.
"Ini sebuah perjalanan kembali ke arah yang sama sekali berlawanan. Aku harus finish di ranjang pesakitan rumah sakit," ujarnya.
Proses pemulihan luka-luka itu memakan waktu yang panjang. Padahal ia harus tetap bekerja dan mengurus keluarga. Tetapi, Eni tetap menebarkan semangat. Ia tak putus asa. Bahkan, selama proses pemulihan, meskipun menyakitkan, ia mencoba melupakan kejadian nahas itu.
Sejak ia ditolong penduduk setempat, ia telah memaafkan sang pelaku. Ia tak mau mengingat-ingat lagi kejadian itu. Ia juga tak peduli siapa pelakunya. Ia sudah memaafkan dan melupakan.
"Karena mengingat kejadian itu, sama saja membuka luka dan trauma," ucap perempuan yang lahir dan besar di sebuah desa di kaki Gunung Slamet, Jawa Tengah.
Meskipun dengan kaki penuh luka, Eni memutuskan berlari lagi. Di sela pekerjaan di kantor dan mengurus keluarga, ia berlatih. Beberapa ajang lomba lari trail dan ultra trail, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, ia taklukkan. Bahkan, ia terus menorehkan prestasi. Eni menjadi perempuan pertama yang menaklukkan Lintas Sumbawa 320K pada 2017.
Puncaknya, bersama dua rekannya, Eni mengikuti ajang Petite Trotte Lon (PTL), salah satu seri dalam perhelatan akbar lari trail dunia, Ultra Trail du Mont Blanc (UTMB), yang melewati wilayah Perancis, Swiss, dan Italia. Ia pun tercatat sebagai perempuan pertama Indonesia yang berhasil menaklukkan Petite Trotte Lon.
Selepas ajang Petite Trotte Lon, Eni terus menggapai prestasi. "Aku sudah seratus persen sembuh. Menatap bekas-bekas luka di kakiku, tak sedih, tak marah, atau bahkan dendam. Ketika menjalani proses penyembuhan, aku memang kerap menangis. Aku menangis bukan lantaran marah atau sedih. Tangis itu karena aku menahan sakit yang luar biasa."
"Kini, aku menanggap bekas-bekas luka di kakiku itu adalah "hiasan" yang menjadikan tubuhku lebih indah. Tak ada sakit, tak ada marah, tak ada sedih, tak ada trauma di sana," kata perempuan penerima Woman of the Year 2017 versi majalah Her World Indonesia.