Kemarin tanggal 14 Februari 2020. Beberapa teman masih merayakannya. Sisanya sudah tidak lagi. Alasannya sih, bermacam-macam. Ada yang karena -umur. Ada yang karena perayaan Valentine dianggap lebih banyak mudorotnya. Tidak ada gunanya merayakan hal-hal seperti itu. Apalagi dengan pesta pora membuang-buang makanan dan uang. Lebih baik memberi makan orang miskin saja.
"Ah, analogimu  terlalu sempit," kata Ana sambil meminum kopi pahit yang kini sudah dingin. "Bagaimana dengan orang-orang yang membuat coklat-coklat hadiah Valentine itu? Bukankah dengan membeli coklat-coklat itu kita telah memberi pemasukan pada mereka?"
"Benar, kamu tidak salah," ucap Sari. Mata Sari menatap gambar bungkus kopi hitam Lampung yang tergantung di dinding caffee. "Kita memang memberi para penjual coklat, pembuat coklat, dan penghias coklat. Kita juga mungkin telah melepaskan mereka semua dari jerat kemiskinan. Mungkin. Tapi, apa kamu yakin kamu telah menolong mereka? Maksudku, apa kamu yakin kamu membeli coklat-coklat tersebut dari pedagang kecil eceran di pinggir jalan yang menggantungkan hidupnya dari lakunya coklat  yang ia jual? Apa kamu yakin kamu beli coklat-coklat itu dari pembuat coklat tradisional rumahan yang bergantung dari coklat itu? Bukan dari pebisnis bermodal jutaan dengan untung jutaan?" Sari nyerocos sambil menghitung jumlah pisang coklat yang ia makan di caffee tempat mereka biasa nongkrong. Kepalanya menghitung dengan cepat. Ia ingat isi dompetnya yang mulai menipis. Kepalanya pening.
"Tetap saja, menurutku dengan bisnis coklat Valentine ini dapat membantu banyak orang. Hitung saja berapa banyak pegawai yang disewa untuk menjual coklat-coklat ini. Mereka dibayar dengan uang. Artinya, mereka terbantu untuk menghidupi dirinya atau keluarganya," Ana berkeras. "Kebayang kan, kalau bisnis ini tak ada, akan berkurang permintaan akan coklat. Artinya, coklat tidak laku dan petani tidak dapat penghasilan."
Sari tidak menanggapi ucapan Ana. Kepalanya makin pening. Uang di dompetnya bahkan tak cukup untuk membayar dua pisang coklat. Apalagi ia tanpa sadar telah makan empat pisang coklat sangking laparnya.Â
Dari tadi malam ia tak makan karena tak ada makanan di kosannya. Ia mendesah. Terpaksa ia pakai kartu debit yang ia simpan rapi di dompetnya. Tabungan satu-satunya yang ia punya untuk keadaan darurat. Hanya saja ia tak menduga saat darurat itu datang begitu saja. Hanya karena pisang coklat dan segelas coklat hangat.Â
Tapi, biarlah, bisiknya dalam hati. Hidup itu sesaat. Nikmati yang ada di hadapanmu. Seperti apa pun keadaannya. Sementara Ana tetap berceloteh tentang coklat dan bagaimana Valentine telah menyelamatkan petani dan keluarga coklat! Ana tak tahu bahwa keluarga Sari adalah petani coklat yang harus menjual kebun coklat mereka karena harga coklat yang terus turun di pasar. Bahkan, kalau pun harga coklat naik, keluarga Sari tak pernah sempat menikmati hasilnya karena sudah terlanjur terlilit hutang yang terus berbunga.Â
Bunga yang bahkan belum terbayar lunas hingga hari ini. Meski Sari telah bekerja keras memeras keringat membantu membayar hutang keluarganya. Keluarga Sari bahkan tak pernah menikmati manisnya coklat. Padahal mereka adalah keluarga petani coklat. Ironis. Tapi itulah kenyataannya. Bagi keluarga Sari, coklat itu pahit. Coklat Valentin atau bukan, sama saja.Â
"Sari, coklat panasmu kelihatan enak. Aku mau pesan juga." Ana membuyarkan lamunan Sari. Ia melihat kopi Ana sudah tandas. Begitu pun semangkuk soto ayam yang dagingnya terlihat gemuk di mata Sari. "Kamu mau pesan juga?" Ana memandanginya. Sari menggeleng. Dalam hati ia merangkum rencana untuk membeli sepotong oncom seharga tiga ribu rupiah dan sekilo beras seharga sembilan ribu rupiah. Jatah untuk dua hari. Sari tersenyum mengingat hangatnya oncom dan nasi putih yang akan ia makan malam ini.
"Yowes, kalau nggak mau." Ana memanggil pelayan caffee dan memesan coklat panas dan pisang coklat lagi. Sari mengerutkan dahinya. Heran dengan selera makan Ana yang tinggi.
"Kamu bisa makan sebanyak itu? Belum kenyang?"Â
Ana tersenyum. "Eh, nanti kamu yang bayar dulu ya? Aku nggak bawa dompet," kata Ana sambil mengangkat cangkir coklat panas dan meminumnya. Mata Ana terpejam. Menikmati coklat panas yang memang enak sekali itu. Sementara Sari hanya memandangi sahabatnya itu. Tasnya yang bermerek. Sepatunya yang mengkilap dan make up yang terlihat flawless. Lalu, mata Sari jatuh ke sepatunya. Coklat seperti warna minuman kesukaannya. Sayang, manisnya tak seperti hidupnya. Ia pun bersahabat dengan pahit.
Bandarlampung. 15 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H