Mohon tunggu...
yoha risna
yoha risna Mohon Tunggu... Guru - pembelajar

guru SMK yang baru belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jangan Menangis, Kiyai

30 Desember 2019   06:05 Diperbarui: 1 Januari 2020   18:09 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pun memandangi tanah kelahirannya, Pekon Kenali yang mulai hilang di balik bukit Pesagi. Angin seolah berhenti, tak ada kicau burung dan suara gemerisik dedaunan kopi yang memenuhi udara. Hanya keheningan. Pun mengusap matanya. Tangannya menggenggam foto kedua orang tua kandungnya yang kata orang tinggal di kota Bandarlampung. Pun dan Kiyai akan mencari mereka di kota.

"Kiyai, kapan kita sampai kota?"

"Entahlah, Pun. Mungkin besok siang. Kita akan singgah dulu di rumah Mak Cik di Liwa. Kata Mak Cik ada titipan kopi Corolla buat Penyimbang yang tinggal di Bandarlampung."

Pun mengangguk. Kepalanya mulai terangguk-angguk karena kantuk.

"Tidur saja, Pun. Kiyai akan jaga kamu."

"Ya, Kiyai."

Pun tertidur lelap. dan bermimpi tentang Mak dan Bak yang mereka cari. 

"Mak, Bak, Pun rindu. Kenapa tak pernah menjenguk di kampung?" Pun memeluk tubuh Mak yang tegap. Pun mengusap matanya.

"Mak dan Bak akan pulang kampung. Tunggulah." Mak mencium dahi Pun lembut. Pun tersenyum. 

"Pun, bangun! Kita sudah sampai." Kiyai menepuk pipi Pun. "Ayo, turun." Kiyai mengambil tas besar di bagasi, dan memegang tangan Pun. Perlahan ia memandangi kerumunan orang di  terminal Liwa. Mencari Mak Cik yang menjemput mereka. 

"Itu Mak Cik, Kiyai!" Pun menarik ujung kemeja Kiyai. Pun, lalu berlari ke orang seorang wanita yang melambai ke arah mereka. Kiyai tersenyum sambil terus berjalan ke arah Mak Cik yang langsung memeluk Pun dengan erat.

"Assalamualaikum, Mak Cik." Kiyai mencium tangan Mak Cik dengan hormat. Mak Cik yang ia anggap seperti orang tuanya yang merantau sejak mereka kecil. 

"Apa kabarmu, Kiyai?" Mak Cik memandang Kiyai dengan sayang.

"Alhamdulillah, Mak Cik sendiri gimana?"

"Mak Cik sehat, berkat doa kamu dan Pun." Mak Cik menoleh ke arah Pun yang menggamit lengannya. 

"Sudah makan?"

"Tadi sudah makan di bis, Mak Cik." kata Kiyai mengangguk.

"Tapi, Pun lapar lagi," rengek Pun.

Mak Cik tertawa. "Ya, ayo kita pulang ke rumah. Mak Cik sudah masakkan masakan kesukaan kalian. Pindang baung dan sambal sruit."

"Ayo, Mak Cik!" Pun setengah berlari melangkah ke mobil Mak Cik yang diparkir di pinggir Terminal Liwa. "Perut Pun sudah dangdutan, nih." Mak Cik dan Kiyai tertawa mendengar suara perut Pun yang keras. Pun tersipu. Ia berlari ke mobil, mendahului Pun dan Mak Cik.

Saat Pun berada beberapa langkah di depan mereka, Mak Cik memegang bahu Kiyai. Menghentikan langkahnya. 

"Mak Cik.."

"Kiyai, ada yang ingin Mak Cik sampaikan ke kamu. Tapi, Pun belum boleh tahu." Mak Cik menghembuskan napasnya.

"Ada apa, Mak Cik?"

"Mak dan Bak sekarang ada di Rumah Rakit Abdoel Moeloek di Bandarlampung. Maafkan Mak Cik, tak tahu bagaimana menyampaikan ke kamu." Mak Cik mengusap matanya yang memerah. 

"Apa yang terjadi, Mak Cik?"

"Mak dan Bak ingin mengunjungi kamu, tapi mengalami kecelakaan. Saat itu hujan deras, tapi Mak dan Bak nekat menembus hujan. Mereka begitu ingin bertemu kalian."

Kiyai menutup wajahnya. "Bagaimana keadaan mereka?"

"Masih di ruang perawatan," kata Mak Cik. "Kita berdoa saja mereka cepat sadar." Mak Cik mengusap bahu Kiyai dengan sayang. 

"Semua akan baik-baik saja," bisik Kiyai. Mak Cik mengangguk, menarik napas perlahan dan menghembuskannya. Lalu, mereka berjalan tanpa bicara menuju mobil. Pun melambaikan tangan ke arah mereka.

"Kiyai, tadi ada yang bilang kalau ada korban karena diserang gajah di Umbul Kuyung."

"Pekon Sidomulyo?" Kiyai menatap wajah adiknya. Pun mengangguk. 

"Kakinya patah karena berusaha menyelamatkan diri. Padahal, korban itu petugas yang biasa menyusuri daerah hutan." Kiyai mengangguk, matanya memandang ke arah jendela. Pemandangan Liwa yang indah, hijau kebiruan. Bukit yang mengelilingi Liwa menjadikan tempat indah ini sebagai destinasi wisata favorit di Lampung. Teringat masa kecilnya saat bermain bersama Pun untuk memetik kopi di kawasan hutan lindung dan berpapasan dengan rombongan gajah. Kenangan yang indah karena dapat melihat langsung rombongan gajah itu berjalan menuju hutan di depan mereka. Kiyai ingat kesedihan Edi, sahabatnya yang rumahnya hancur diserang gajah. Lalu, ingatan Kiyai melayang pada Mak dan Bak yang lama tak berjumpa. Mak dan Bak yang terbaring di RSAM Bandarlampung. Air mata Kiyai menetes tanpa ia sadari. 

"Kiyai, jangan menangis.." Pun memandanginya. Tangan Pun menyodorkan saputangan ke arahnya. Kiyai tersenyum, dan mengangguk.

"Ya, Pun. Semua pasti akan baik-baik saja. Asalkan kita masih peduli." 

Bandarlampung, 31 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun