"Assalamualaikum, Mak Cik." Kiyai mencium tangan Mak Cik dengan hormat. Mak Cik yang ia anggap seperti orang tuanya yang merantau sejak mereka kecil.Â
"Apa kabarmu, Kiyai?" Mak Cik memandang Kiyai dengan sayang.
"Alhamdulillah, Mak Cik sendiri gimana?"
"Mak Cik sehat, berkat doa kamu dan Pun." Mak Cik menoleh ke arah Pun yang menggamit lengannya.Â
"Sudah makan?"
"Tadi sudah makan di bis, Mak Cik." kata Kiyai mengangguk.
"Tapi, Pun lapar lagi," rengek Pun.
Mak Cik tertawa. "Ya, ayo kita pulang ke rumah. Mak Cik sudah masakkan masakan kesukaan kalian. Pindang baung dan sambal sruit."
"Ayo, Mak Cik!" Pun setengah berlari melangkah ke mobil Mak Cik yang diparkir di pinggir Terminal Liwa. "Perut Pun sudah dangdutan, nih." Mak Cik dan Kiyai tertawa mendengar suara perut Pun yang keras. Pun tersipu. Ia berlari ke mobil, mendahului Pun dan Mak Cik.
Saat Pun berada beberapa langkah di depan mereka, Mak Cik memegang bahu Kiyai. Menghentikan langkahnya.Â
"Mak Cik.."