Mohon tunggu...
Yoga Mahardhika
Yoga Mahardhika Mohon Tunggu... Konsultan - Akademisi, Budayawan & Pengamat Sosial

Pembelajar yang ingin terus memperbarui wawasan, mempertajam gagasan, memperkaya pengalaman dan memperbesar manfaat untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia di Tengah Covid-19 dan Perubahan Global

14 April 2020   18:40 Diperbarui: 14 April 2020   19:20 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam wawancara dengan BBC, Yuval Noah Harari menyebut pandemi Covid-19 membawa dampak lebih serius dibanding krisis politik. Sejarawan dan penulis best seller asal Israel ini menyebut pertarungan pandemi Covid-19 terjadi pada dua lingkup, yaitu level domestik dan internasional. 

Di level domestik ada dua pendekatan, yaitu penanganan totaliter secara terpusat dan model solidaritas serta pemberdayaan masyarakat. Sementara di level internasional ada dua model saling beradu, yaitu isolasi nasionalistik dan solidaritas internasional.

Tarik ulur antar skenario itu terjadi di seluruh dunia. Ada negara yang mengutamakan kepentingan nasional sembari bersikap agresif terhadap negara lain, tapi ada juga yang mengutamakan komunikasi dan kerja sama antar negara. 

Di level domestik, ada yang mengandalkan represi negara untuk menekan sebaran virus, tapi ada juga yang mengutamakan kesadaran dan partisipasi semua lapisan untuk menangkal pandemi. Bagaimana gambaran situasi global, dan seperti apa posisi Indonesia?

1. Puncak Perang Dagang

Banyak pakar sependapat, perseteruan Amerika dan Tiongkok yang telah diawali perang dagang dalam beberapa tahun terakhir akan mencapai puncak di tengah pandemi ini. Beberapa saat terakhir, Donald Trump gencar menyebut bahwa Tiongkok bertanggung jawab sebagai penyebab pandemi. 

Sebaliknya, Tiongkok melempar wacana bahwa virus Covid-19 dibawa oleh tentara Amerika yang Oktober 2019 lalu mengikuti olimpiade militer di Wuhan. Di luar manuver yang saling menyalahkan, kedua negara juga sangat berbeda dalam menangani pandemi.

Di dalam negeri, Tiongkok menerapkan kontrol negara yang sangat ketat dengan menutup paksa kota Wuhan serta belasan kota lain sejak awal deteksi kasus Covid-19. Adapun Amerika lebih mengandalkan social restriction atau pembatasan sosial yang tak seketat Tiongkok. 

Di level internasional, kebijakan keduanya juga berbeda. Donald Trump menerapkan langkah America First, dengan mendominasi jalur distribusi global. Sebaliknya, Tiongkok yang sudah melewati masa terburuk pandemi mulai berkomunikasi dengan negara-negara lain sembari mengirim misi bantuan.

Dan ternyata, perang manuver dan saling sikut juga terjadi di negara-negara Eropa. Serbia menyebut persaudaraan yang selalu dikampanyekan Uni Eropa hanya omong kosong. Belanda dan Jerman ramai-ramai disudutkan karena menolak penangguhan utang untuk negara-negara anggota. Banyak pengamat makin khawatir dengan masa depan Uni Eropa, apalagi setelah preseden Brexit yang memilih keluar dari persatuan negara eropa itu.

2. Pergeseran Kompetisi Menjadi Kolaborasi

Melihat sebaran pandemi dan juga dampaknya yang menyebar ke seluruh pelosok dunia, dipastikan Covid-19 akan diikuti perubahan dunia. Hampir semua pengamat sependapat, bahwa pandemi ini telah menjungkirbalikkan kemapanan global. 

Amerika dan negara-negara Eropa Barat yang selama ini sangat digdaya dan berkuasa, tiba-tiba menjadi sangat tidak berdaya. Sebaliknya, negara-negara Asia yang selama ini dipandang sebelah mata justru terlihat perkasa, seperti: Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, dll.

Kondisi itu membuat para pengamat global mulai menyangsikan tradisi individualisme dan kebebasan ala barat yang selama ini diunggulkan. Di tengah pandemi ini, ternyata tradisi individualistis sagat rentan berujung tragedi, di mana sikap skeptis terhadap pemerintah memicu sebaran virus yang tak terkendali. Sebaliknya, tradisi Asia yang mengutamakan ketertiban dan keteraturan malah menunjukkan efektivitasnya dalam penanganan pandemi,

Tak urung, para pakar mulai menimbang ulang pengaruh kultur barat yang selama ini menghegemoni tatanan dunia. Presiden Prancis, Emanuel Macron menyebut banyak kepastian dan keteraturan akan luntur, dan situasi akan berubah ketika pandemi ini berakhir. 

Di saat yang sama, dunia mulai mengakui bahwa kolaborasi sangat penting untuk menghadapi pendami. Ke depan, mungkin dunia akan mengajarkan semangat kolektif dan kolaboratif sebagai etos yang tak kalah penting dari semangat kompetisi dan kebebasan.

3. Indonesia di Tengah Perubahan Global

Di dalam negeri, Indonesia memilih pendekatan non-sentralistik dalam menangani pandemi, sembari mendorong pelibatan dan pemberdayaan publik secara luas. 

Cara ini sangat akrab dengan kultur dan keseharian masyarakat yang masih terikat budaya timur dengan modal sosial yang kokoh. Adapun sikap Indonesia dalam pergaulan internasional terpotret jelas dalam pernyataan presiden Jokowi beberapa saat terakhir.

Pada KTT G-20 akhir maret lalu, Jokowi secara lugas meminta para pemimpin dunia saling bekerja sama menghadapi pandemi. Ungkapan ini secara tidak langsung juga menyindir hubungan Amerika dan Tiongkok yang tengah memanas. Jokowi menekankan bahwa pandemi ini hanya bisa dilawan dengan kolaborasi antar bangsa.

Dan sikap itu kembali dipertegas dalam KTT Asean hari ini (14/04/2020), di mana presiden mengajak negara-negara Asean memperkuat sinergi dan kolaborasi kawasan. Jokowi mengajak seluruh negara kawasan Asia Tenggara bersatu melawan corona.

Kebijakan pemerintah Jokowi itu menunjukkan kosistensi Indonesia menjaga semangat solidaritas dan kolaborasi, baik di dalam negeri maupun dalam pergaultan internasional. Dan memang, semangat itu mengakar sangat kuat dalam bangunan kebangsaan kita. Kita memiliki tradisi kolaborasi yang biasa disebut gotong royong.

 Memang, ikatan kolektif dan tradisi gotong royong mulai luntur seiring arus modernitas dan gencarnya pengaruh budaya barat. Maka saat inilah momentum untuk merekatkan kembali semangat gotong royong sebagai fondasi solidaritas dan kolaborasi. Pasalnya, tradisi inilah yang akan menjadi mainstream pergaulan global dalam tatanan baru pasca Covid-19.

4. Penutup: Ujian Solidaritas Nasional

Pada akhirnya, kita harus kembali mendudukkan persoalan hari ini dalam kerangka lebih luas secara bijak. Jika dilihat sepotong-potong, mungkin spektrum kita akan sarat dengan masalah. 

Tapi dengan kacamata lebih luas serta pemikiran yang jernih, kita sebenarnya tengah memainkan peran penyeimbang menuju tatanan dunia baru pasca pandemi.

Pemerintah sudah melakukan bagiannya. Realokasi dan refocusing anggaran bukanlah persoalan mudah. Bahkan menteri keuangan Jerman sampai bunuh diri gara-gara tak sanggup melakukan penyesuaian anggaran di tengah pandemi. 

Untungnya, negara kita sudah menyelesaikannya. Dalam waktu dekat, imbas kebijakan hal itu akan menolong banyak kelompok rentan yang penghidupannya terancam oleh Covid-19.

Kartu Pra kerja, PKH, bantuan sembako, listrik gratis, dll semua itu dilakukan demi menjamin penghidupan warga. Banyak negara yang gagal melindungi warganya, sementara kita masih sanggup menjamin penghidupan masyarakat hingga kelas bawah. 

Sekarang bola di tangan kita sendiri. Mampukah kita turut andil dalam revitalisasi kegotong-royongan ini? Jika kita turut andil, dan pandemi ini dapat segera teratasi, kita akan turut memetik bandul geopolitik yang tengah mendekat.

Rujukan : [1] [2] [3]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun