Istriku suka pelatihan pengembangan diri. Ya semacam seminar-seminar gitu dengan tujuan secara garis besar: hidup jadi lebih baik. Namun kali ini istriku menawarkan pelatihan ini padaku. Dia kesulitan jika harus ikut pelatihan ini sambil handel 2 anak dan 2 anak bayi. Ya, bayi-bayi selalu membutuhkan perhatian lebih.
"Kamu harus ikut" katanya
"Kenapa?" tanyaku
"Karena ini bagus, dan kamu Direktur perusahaan. Member-membermu banyak ikut pelatihan pengembangan diri, dan kamu tidak. Biar kalau ngomong nyambung." jelasnya
"Kita punya banyak rafia... tanpa pelatihan itu mereka bisa aku sambung" candaku
Bekerja pada sebuah perusahaan pemasaran langsung dengan konon jumlah member terbesar di Indonesia membuatku selalu berinteraksi dengan berbagai macam karakter member dengan tantangan dan problematikanya sendiri-sendiri. Seru sebenarnya. Berkontribusi positif pada kehidupan banyak orang adalah keasyikan sendiri yang baru aku sadari setelah usia 40an ini.
"Ya, biar kontribusinya lebih maksimal!" kata istriku.
"Asal kamu ikut, kita semua ikut. Kalian jalan-jalan, aku ikut pelatihannya" kataku
Ya ini jenis permintaan yang semua anggota keluargaku pasti setuju, karena suka jalan-jalan.
...
Dan akhirnya kami semua, rombongan berangkat ke Jogja: Aku, istriku, 4 anak, 1 rewang, dan 1 sopir. Ya, pelatihannya di Jogja. Kota yang selalu jadi tempat kami 'melarikan diri' dari kesibukan Surabaya.
...
Singkat cerita, pada suatu momen acara Pembicara bertanya pada seluruh peserta: “Pikirkan dan tulislah masalah Anda”
Aku diam cukup lama.
"Apa masalahku?" tanyaku dalam hati. Dan aku sedang tak menemukan jawabannya.
Lalu aku coba bertanya: “Pak, harus ada masalah?”
“Anda tidak punya masalah?” tanya pembicara
“Saya tidak ada masalah” - Sekilas kudengar seseorang menyeletuk "Sombong!"
“Perut Anda yang besar itu bukan masalah bagi Anda?” sambil beliau menunjuk kearah perut saya. Hahahaha. Seluruh ruangan berusaha memperhatikan perutku yang 'aduhai' lebamnya itu.
“Ya ini perut saya, sedang ideal-idealnya untuk dibentuk. Saya sedang mengganti pola makan. Tapi ini bukan masalah bagi saya”
Sang pembicara yang sangat berpengalaman ini langsung berkata: “Oke, Anda tulis saja apa yang sedang menjadi intention (perhatian) bagi Anda”
Lalu saya tulis diatas kertas:
5T
Sebenarnya ini impian omsetku untuk perusahaanku. Bukan masalahku. Ini tujuan. Ini tantangan. Tapi ini bukan masalah. Akan jadi masalah kalau dalam usaha mencapai impian ini aku menghalalkan segala cara. Faktanya tidak begitu.
...
Ya, aku pernah dikhianati orang-orang yang aku besarkan. Dari produk atau jasanya tidak laku, lalu kita bekerjasama; lalu hidupnya menghebat, berpenghasilan besar. Kemudian dia mengkhianati akad perjanjian aku dan dia. Ya itu masalah dia, bukan masalahku. (Ini kita bahas ranah akad kerjasama dan akad moral tak tertulis ya, bukan ranah: “Yang membesarkan dia adalah Allah SWT, bukan Anda; makanya dia berhak melanggar akad; eh :p”)
Ya banyak mantan muridku yang datang kalau pas bisnisnya lagi jatuh saja. Waktu berjaya tak berkabar. Aku tak minta apa-apa se. Cuma unik saja jika hanya didatangi saat butuh konsultasi saja. Aku yang salah, lupa mengajari etika-adab mungkin. Aku sendiri juga kurang punya. Apa yang bisa aku ajarkan di tema itu? Hahaha.
Iya kemudian dengan pengkhianatan itu aku sempat kesulitan membayar biaya persalinan anakku. Tapi itu bukan masalah bagiku. Itu masalahnya rumah sakit tempat istriku melahirkan jika kami kesulitan membayar. Hahahaha.
Lalu bagaimana dengan orang yang berkhianat itu? Seumur hidup tercatat dia hidup dan menafkahi keluarganya dengan uang haram. Entah bagaimana mempertanggungjawabkannya. Kasihan. Dan tampaknya dia dan keluarganya yang akan bermasalah. Bukan aku.
Aku pernah berurusan dengan orang yang sedemikian membenci hidupku. Oke. Lalu masalahnya dimana? Dia yang menanggung beban itu. Dia yang membangun fitnah itu dan tentu hanya perihal waktu bagi dia untuk menanggung resiko atau karmanya. Lalu masalahnya dimana bagiku?
Atau ada orang yang mencuri barang-barangku. Masalahnya dimana? Dia hidup dengan barang curian, aku tinggal minta pengganti lebih baik dengan Rabbku.
Ya seseorang dalam keluargaku ada berkarakter khusus sehingga membuat beberapa anggota keluarga kami harus ekstra sabar saat berhubungan atau berinteraksi dengan dia. Lalu masalahnya dimana? Yang menanggung sikap dan sifat tersebut bukan aku. Yang kelelahan dengan sifat tersebut bukan aku. Yang hidupnya selalu menyimpan marah dendam dan pikiran-pikiran melelahkan bukan aku. Tentu dia yang hidup dengan karakter khususnya itu.
Lalu masalahnya dimana bagiku?
Kenapa harus ada masalah?
Kenapa harus sempurna?
...
“Pak, suami saya itu kadang-kadang mendukung saya dalam bisnis ini kadang-kadang tidak mendukung saya dalam bisnis ini,” kata seseorang di Medan bulan beberapa waktu yang lalu saat aku tugas disana dengan mendengarkan mereka, member-memberku.
“Masalahnya dimana?” tanyaku
“Ya itu Pak, suami saya”
“Ibu maunya suami ibu selalu mendukung Ibu 24 jam?”
“Iya”
“Masalahnya di Ibu, bukan di suami Ibu”
“Kok bisa Pak?
“Menurut saya, saat suami mendukung, ya Ibu jalani saja bisnis Ibu. Saat suami lagi minta perhatian lebih, ya Ibu fokus memperhatikan suami. Jangan yang lain. Itu bukan masalah. Hidup sebaiknya 'selang-seling', tidak harus fokus mikirin bisnis. Sekali-kali fokus bahagiakan suami. Itu keren”
Tidak perlu menunggu kondisi atau situasi sempurna untuk kita baru mau bergerak. Justru kondisi-kondisi yang kesan awalnya ‘tidak ideal’ itu akan jadi ‘kekuatan lebih’ kita dalam memulai dan terus bergerak.
Menurutku begitu
I love You
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H