Bahagia itu sederhana. Ketika ada kasih dan kesetiaan, maka bahagia menjadi istilah yang tepat, untuk disematkan dalam orkestrasi kehidupan. Sesederhana saat cinta seorang pria disambut gembira kekasihnya. Sesederhana ketika seorang ibu pertama kali melihat bayi yang dia kandung. Seperti saat seorang Ayah membacakan dongeng, kepada anak-anaknya sebelum tidur. Atau bahkan, ketika kurir JNE, mengantarkan kiriman dengan senyuman. Seluruh cerita romantika itu memancarkan kesetiaan, lewat pengorbanan dan ketulusan. Begitulah bahagia dilukiskan.
Tentu, bahagia tidaklah egosentris. Apalagi selfsentris. Keangkuhan sama sekali tidak menjadi akar dari kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan layaknya sinar harapan, yang menembus masuk ke dalam gubuk tua kehidupan. Dengan kata lain, kebahagiaan berarti memberi kepada sesama, agar mereka berpengharapan. Menolong mereka yang lemah. Membantu mereka yang menderita, terlepas dari tusukan duri penderitaan.
Bersama JNE, Aku bersyukur, memiliki kesempatan untuk menceritakan petualangan berbagi kebahagiaan di kampung halaman. Lokasinya, di tanah Batak, Desa Ambarita, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Tepat di pinggir Danau Toba.
Ekosistem Kebahagiaan
Sebelum kita berpetualang, dengan kisah berbagi kebahagiaan bersama JNE. Izinkan Aku memulainya dengan memperkenalkan istilah ekosistem kebahagiaan. Ya, bagiku JNE telah berhasil membuat suatu ekosistem kebahagiaan. Mimpi dan harapan, menjadi mudah tergenapi, karena adanya ekosistem kebahagiaan itu.
Bayangkan saja! Visi JNE, “Menjadi perusahaan rantai pasok global terdepan di dunia.” Suatu gagasan orisinil laksana bintang penuntun, yang akan membawa JNE dan Indonesia menuju peradaban yang gemilang. Terus terang, ini bukan sekadar pernyataan retoris. Melainkan, sebuah wujud kekaguman, kala mengetahui target JNE menjadi perusahaan logistik kelas dunia di tahun 2030. Ini visi besar, yang kita harapkan segera terwujud.
Visi besar itu, tentu akan terrealisasi, jika setiap orang memiliki akses yang sama untuk menggunakan layanan JNE. Di kampung halamanku misalnya, di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Akses ke sana sangatlah tidak mudah. Aku yakin, Kang Maman mengetahuinya. Aku pernah melihat beliau, di Festival Literasi Nusantara di Danau Toba tahun 2019. Memotivasi anak-anak, untuk semakin giat menulis dan membaca. Mantul Kang! ***
Oke, kembali ke “laptop”!
Jika kita ingin melakukan perjalanan, sampai ke Kabupaten Samosir, maka rute yang harus ditempuh tidaklah mudah. Luasnya Danau Toba harus dilalui menggunakan kapal. Ada kapal berukuran besar, kapal Feri atau kapal Ihan Batak namanya. Ada pula yang berukuran kecil, persis seperti kapal motor Sinar Bangun, yang pernah tenggelam tahun 2018 silam.
Jadi, Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kerja keras kurir JNE, yang dengan setia melalui perjalanan panjang itu setiap hari. Mengantarkan barang kiriman sampai ke rumah tujuan, dengan melewati dentuman konstan gelombang Danau. Apalagi jika hujan deras keluar dari persembunyiannya, maka kapal bisa berayun akibat amplitudo ombak yang bergerak tiada henti.
Paling tidak, saat ini, sudah ada sekitar 6.000 titik layanan JNE, dengan jumlah karyawan lebih dari 40.000 orang (JNE.co.id). Dengan sumber daya yang terbatas, hebatnya jagkauan dan akses layanan yang ditawarkan, telah sampai menyentuh daerah pelosok. Sungguh, hanya dengan komitmen untuk menabung kebahagiaan di dalam celengan pengabdian, tugas berat itu menjadi dapat dikerjakan dengan utuh.