Cuitan Siti Nurbaya tentu bukan tanpa alasan. cuitan yang telah mengundang cercaan public kemudian di "bantah" Â dengan pembelaan yang penyampainnya mendasari UU agar terlihat berdasar. Kita berusaha melihat sejauh mana pembelaan ini disebut berdasar. Dalam cuitan selanjutnya Siti Nurbaya juga menyebut bahwa menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation adalah tindakan yang melawan mandat UUD 1945.
 "Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.
Jika ceroboh melihat statement ini masyarakat sipil bisa saja menilai sikap ini sebagai sebuah alasan yang omong kosong. Bagaimana tidak, jika dikaji lebih jauh pernyataan mentri LHK ini mencoba mengangkat sifat logis pembangunan dan konsekuensinnya yang pada periode jokowi ini tengah gencar dilaukan di berbagai pulau dan sektor di Indonesia. Ibu kota negara di Kalimantan tidak akan pernah ada dan terwujud jika hutan yang ada tidak di tebang, ini adalah konsekuensi, kira kira seperti itu maksud mentri LHK.
"Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,".
Lantas bagaimana membantah kalimat siti nurbaya tersebut seandainnya hari ini kita berada dalam ruang dialog akan perdebatan keberpihakan pemerintah pada kelestarian lingkungan. Apakah mungkin kalimat tersebut dapat dipandang murni sebagai sebuah kejujuran bukan tanpa sentimen pada pemerintah dengan rekam jejak yang memilukan atas kerusakan lingkungan dan bencana alam yang muncul akhir akhir ini? Mari melihatnya lagi.Â
Temuan betahita dan beberapa media juga organisasi berlainan sisi dengan Menteri Siti. Investigasi TEMPO 2020 soal jalan menyebut: Area restorasi Hutan Harapan yang menjadi perlintasan satwa endemis Sumatera itu akan dibelah sepanjang 26 kilometer selebar 60 meter. Tak hanya akan menyebabkan hilangnya kayu hutan sekunder yang besar-besar senilai lebih dari Rp 400 miliar, pembukaan jalan tambang juga mengancam keberagaman hayati dan masyarakat adat serta membuka celah bagi para perambah untuk masuk ke area hutan produksi yang sedang dipulihkan itu.
Laporan Investigasi Rainforest Action Network (RAN) menyebutkan Perusahaan kelapa sawit nakal milik menantu mantan Penjabat Gubernur Aceh, PT. Nia Yulided Bersaudara (NYB), terus melakukan perusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Menurut Kajian RAN perusakan ini dilakukan di hutan hujan dataran rendah di Kawasan Ekosistem Leuser, Kabupaten Aceh Timur.Â
Investigasi RAN sepanjang Januari hingga Agustus 2021 menunjukkan terdapat 600 hektar lahan hutan kawasan itu telah dibabat. Di lapangan, dipergoki juga alat berat yang digunakan melakukan penggundulan hutan.
Tidak hanya itu, Investigasi Greenpeace menyebut Korindo Grup diduga telah melakukan penghancuran hutan di Provinsi Papua, seluas sekitar 57 ribu hektare, sejak 2001 silam. Dugaan penghancuran hutan itu disebut-sebut juga termasuk yang dilakukan untuk pembangunan perkebunan sawit oleh anak usaha Korindo Grup, PT Dongin Prabhawa, di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Mappi. Penghancuran hutan dimaksud di antaranya diduga dilakukan mengunakan api atau dengan cara dibakar, demikian hasil investigasi Greenpeace International bekerja sama dengan Forensic Architecture.Â
Jika kemudian komentar masyarakat akan Siti nurbaya dibantah dengan pernyataan nya di atas yang dalam arti lain menyebutkan bahwa sebuah kesalahan jika pembantahan itu ditujukan padanya terlebih masyarakat yang memberi komentar tidak memfasilitasi diri dengan data akurat. Namun, Data mana yang dimaksud Menteri Siti salah? Sementara hasil temuan diambil dari lapangan dengan bertanggung jawab.
Bantah membantah ini memberi kesimpulan yang semakin jelas tentang bangsa yang sedang dibangun ini sedang berada dalam proses demokrasi yang jelas. Namun siapa yang dapat memastikan data dan semuannya dapat kita katakan benar dan menilai nya sebagai kebenaran yang mutlak. Pemerintah menguasai semua elemen penting dari negeri ini. Data statistic pun diperoleh nya sendiri untuk melihat progres pembangunan nya. Namun dalam pelaksanaanya tubuh kekuasaan terkesan rapuh dalam menopang tekanan tendensi yang ada dalam dinamika negara demokrasi.