Oleh : Yohanes Tola
Mahasiswa Institut Teknologi Yogyakarta
Perkembangan teknologi pada zaman ini telah membentuk perilaku mmasyarakat yang beranekaragam. Arus globalisasi yang bergerak begitu cepat memunculkan varian teknologi baru dan mengintervensi masyarakat pada kecenderungan perubahan ideologi dan budaya masyarakat iitu sendirisendiri
Pengaruh teknologi tersebut menjadi masalah aktual yang hari ini telah muncul pada permukaan realitas masalah di masyarakat. Kebutuhan akan teknologi menjadikan media sosial sebagai salah satu alat bantu untuk hidup dimasa ini. Media sosial membentul masyarakat yang berubah secara cepat, pandangan masyarakat merepresentasikan aktifitas intimnya pada ruang digital, yang di baca, maupun yang di tonton, banyak jenis intervensi media sosial pada masyarakat hari ini.
Tulisan ini mecoba untuk mengangkat mengenai pengaruh perilaku  selfie terhadap masyarakat dan begaimana realitas pada kehidupan sosial  masyarakat yang muncul akibat perilaku ini. Pada realitasnya selfie adalah perilaku yang muncul akibat dari adannya perkembangan teknologi yang terus memenuhi kebutuhan  masyarakat secara berkesinambungan.
Swafoto, selfie atau  foto narsis adalah cara foto dengan cara potret diri yang diambil sendiri dengan menggunakan kamera digital atau  ponsel  cerdas (Wikipedia). Perilaku selfie sering dijatuhi penilaian sebagai perilaku narsisme, tepatkah disebut demikian? Freud (dalam Alwisol, 2011:19) menjelaskan narsisme adalah cinta kepada diri sendiri, sehingga cinta yang dibarengi kecenderungan narsisme menjadi mementingkan diri sendiri.
Dibalik pemahaman dan pengertian periaku selfie yang telah diterangangkan diatas dapatkah pula selfie disebut sebagai perilaku narsistik? Ataukah aktfitas itu ingin menceritakan tentang fenomena sosial yang lebih kompleks? Tentu pertanyaan mendasar ini perlu dijawab pada ruang berfikir masyarakat dalam melihat fenomena ini sebagai perilaku yang akan mempengaruhi manusia lainnya.
Kata narsistik merupakan turunan dari kata narsisme. Kata narsisme diambil dari nama pemuda tampan yang bernama Narcissius pada zaman Yunani kuno. Narcissius sangat kagum  pada dirinnya sendiri setelah melihat bayangan wajahnnya pada air tenang ditengah hutan.Â
Dalam kehidupannya Narcissius sangat membanggakan ketampanan dirinya secara berlebihan keadaan ini membentuk suatu sikap dan perubahan pada perilaku Narcissius sebagai seorang yang  mengakui diri nya sebagai seorang yang paling tampan, sehingga sepanjang hidupnnya dia tidak dapat menemukan pasangan hidup yang sepadan dengannya secara fisik, Narcissius memutuskan untuk bunuh diri karena kesulitan untuk mencari pasangan hidup dan mati dalam kesendirian.
Setelah melihat sejarah singkat narsistik yang ditandai dengan selfie sebagai perilakunnya, ini menjadi menarik untuk membahas apakah perilaku selfie sebagai salah satu wujud manusia kehilangan eksistensi dirinya? Fenomena  perilaku selfie erat kaitannya dengan citra yang dipersepsikan seseorang  atas dirinya sendiri, karena dengan melakukan selfie seseorang ingin menampilkan sisi terbaik dari dirinya kepada  orang lain. Karen Horney dalam New ways in Psychoanalysis (London: Routledge & kegan Paul, 1939:99-100). Horney menyebut bahwa selfie merupakan ekspresi, bukan dari cinta diri, tetapi keterasingan dari diri sendiri.
Melihat pengertan Horney, dia bermaksud menilai bahwa selfie datang pada pengguna (seseorang) yang menciptakan gambaran dirinnya pada ilusi tentang dirinya sendiri, dalam artian dia telah kehilangan dirinnya sendiri.Â
Perilaku selfie dapat dengan sangat mirip dianalogikan seperti perilaku saat menghadap sebuah cermin, sesorang dapat melihat tampak dirinnya dengan jelas saat melakukan selfie. Pada kadar perilaku selfie yangg wajar atau tidak berlebihan, selfie tidak dianggap sebagai kemunduran manusia dalam melihat dirinnya sendiri.
Perilaku ini menjadi perhatian ketika melihat realitas pengguna media sosial yang menampilkan foto selfie mereka dengan begitu banyak (ini berarti perilaku selfie sering dilakukan oleh pengguna gadget dan media sosial). Begitu kehilangan dirinya kah manusia sampai sering melakukan perilaku selfie ini dalam aktifitas sosial medianya?. Â
Jika keseringan perilaku ini diterapkan semakin besar seseorang menciptakan ilusi atas dirinnya sendiri dan kemudian membentuk sebuah perasaan cinta berlebihan atas dirinya di iringi dengan keinginan untuk mengagungkannya, selalu ingin mencari perhatian dan pujian orang lain.Â
Ingin mendapatkan perilaku spesial, kurang peka terhadap kebutuhan orang lain dan memiliki khayalan yang berlebihan atas dirinnya walaupun dalam pandangan orang lain biasa-biasa saja (orang ini disebut seorang narsistik). Jika telah mencapai keadaan ini, akan muncul sebuah perilaku baru sebagai reaksi penguna atas perilaku selfie nya, perilaku-perilaku ini ditandai dengan munculnya gangguan kepribadian akibat narsistik.
Dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-Fourth edition) seorang dikatakan mengalami gangguan kepribadian narsistik jika memiliki lima dari kesembilan ciri, yaitu merasa paling hebat, seringkali merasa iri hati kepada orang lain, memiliki fantasi yang berlebihan terhadap kelebihan diri sendiri, ingin dikagumi secara berlebihan, kurang memiliki empati pada orang lain, ingin memperoleh keistimewaan, selalu ingin memperoleh keistimewaan, memiki sikap angkuh, sensitif terhadap kritik memiliki kepercayaan diri secara semu, memiliki keyakian secara berlebihan bahwa dirinnya memiliki keunikan dan hannya dapat dimengerti oleh orang-orang terentu.
Dalam keadaan ini seorang narsistik atau pelaku selfie telah kehilangan eksistensinnya sebagai manusia dan makhluk sosial yang sejatinnya didorong memiliki jiwa sosial dan pandangan positif dalam melihat kehidupan sosial masyarakat yang harus di kerjakan dengan aksi aksi kolektif masyarakat itu sendiri.
Makna kemunculan filter kamera pada perilaku selfie ditambah lagi foto selfie diintervensi oleh munculnnya varian teknologi baru dengan ditandai munculnnya fitur filter lensa pada kamera handphone. Â Filter lensa adalah salah satu aksesoris kamera yang dipasang pada lensa yang berfungsi untuk melindungi lensa dan menambah keindahan foto (wikipedia). Akibatnnya, potensi munculnnya perilaku narsistik semakin besar. Tidak hanya itu dampak munculnnya filter ini dimaknai sebagai sebuah kemunduran perlawanan perempuan pada konteks feminisme .
Perilaku selfie  sebagian besar di lakukan perempuan, penambahan filter pada foto seorang wanita pengguna kamera dimaknai secara eksplisit sebagai usaha untuk memenuhi standar yang di ciptakan kebudayaan patriarki atas perempuan. Penggunaan filter adalah sebuah usaha untuk memperindah gambar dan mempercantik tampilan dalam sebuah foto dengan bantuan teknologi filter itu sendiri. Ketika itu dilakukan oleh seorang perempuan dapat di pastikan foto yang "diperindah" oleh filter itu untuk menarik pujian dan perhatiaan lawan jenis (laki laki), ini adalah sebuah kemunduran seorang feminis jika turut melakukan perilaku ini secara berlebihan.
Apa artinnya?
Perilaku selfie yang dianggap sebagai sebuah akibat muculnnya permasalahan sosial baru kini di perparah dengan kemunculan instrumen teknologi yang memiliki dampak tidak jauh berbeda dari perilaku selfie itu sendiri yang membawa masyarakat sebagai masyarakat pengguna teknologi atau media sosal yang narsistik juga selfitis. Pada tahun 2014 silam, Time merilis daftar kota-kota dengan penduduk paling gemar mengambil pose solo dan selfie diseluruh dunia. Peringkat pertama diduduki oleh Makati  City, Filipina, dengan prevalensi 258 pengambil selfie per 100.000 orang.
Ada beberapa  kota di Indonesia juga yang masuk dalam daftar tersebut. Di peringkat 18, bertengger Denpasar dengan prevalensi 75 per 100.000 orang, peringkat 43 ada Yogyakarta dengan prevalensi 51 per 100.000 orang, Bandung bercokol di peringkat 88 dengan prevalensi 33 per 100.000 orang.
Pemberitaan Time ini tentu adalah sebuah keprihatinan terhadap fenomena perilaku selfie yang marak terjadi di Indonesia, butuh sebuah pandangan kolektif untuk melihat fenomena perilaku ini sebagai sebuah perilau awal yang dapat menimbulkan masalah-masalah sosial baru yang membawa perubahan pada kondisi kehidupan sosial. jika dapat terwujud niscaya perilaku selfie dapat ditanggapi lebih bijak oleh masyarakat yang menggunakannya dan penerapannya menjadi tidak berlebihan.:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI