Perilaku ini menjadi perhatian ketika melihat realitas pengguna media sosial yang menampilkan foto selfie mereka dengan begitu banyak (ini berarti perilaku selfie sering dilakukan oleh pengguna gadget dan media sosial). Begitu kehilangan dirinya kah manusia sampai sering melakukan perilaku selfie ini dalam aktifitas sosial medianya?. Â
Jika keseringan perilaku ini diterapkan semakin besar seseorang menciptakan ilusi atas dirinnya sendiri dan kemudian membentuk sebuah perasaan cinta berlebihan atas dirinya di iringi dengan keinginan untuk mengagungkannya, selalu ingin mencari perhatian dan pujian orang lain.Â
Ingin mendapatkan perilaku spesial, kurang peka terhadap kebutuhan orang lain dan memiliki khayalan yang berlebihan atas dirinnya walaupun dalam pandangan orang lain biasa-biasa saja (orang ini disebut seorang narsistik). Jika telah mencapai keadaan ini, akan muncul sebuah perilaku baru sebagai reaksi penguna atas perilaku selfie nya, perilaku-perilaku ini ditandai dengan munculnya gangguan kepribadian akibat narsistik.
Dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-Fourth edition) seorang dikatakan mengalami gangguan kepribadian narsistik jika memiliki lima dari kesembilan ciri, yaitu merasa paling hebat, seringkali merasa iri hati kepada orang lain, memiliki fantasi yang berlebihan terhadap kelebihan diri sendiri, ingin dikagumi secara berlebihan, kurang memiliki empati pada orang lain, ingin memperoleh keistimewaan, selalu ingin memperoleh keistimewaan, memiki sikap angkuh, sensitif terhadap kritik memiliki kepercayaan diri secara semu, memiliki keyakian secara berlebihan bahwa dirinnya memiliki keunikan dan hannya dapat dimengerti oleh orang-orang terentu.
Dalam keadaan ini seorang narsistik atau pelaku selfie telah kehilangan eksistensinnya sebagai manusia dan makhluk sosial yang sejatinnya didorong memiliki jiwa sosial dan pandangan positif dalam melihat kehidupan sosial masyarakat yang harus di kerjakan dengan aksi aksi kolektif masyarakat itu sendiri.
Makna kemunculan filter kamera pada perilaku selfie ditambah lagi foto selfie diintervensi oleh munculnnya varian teknologi baru dengan ditandai munculnnya fitur filter lensa pada kamera handphone. Â Filter lensa adalah salah satu aksesoris kamera yang dipasang pada lensa yang berfungsi untuk melindungi lensa dan menambah keindahan foto (wikipedia). Akibatnnya, potensi munculnnya perilaku narsistik semakin besar. Tidak hanya itu dampak munculnnya filter ini dimaknai sebagai sebuah kemunduran perlawanan perempuan pada konteks feminisme .
Perilaku selfie  sebagian besar di lakukan perempuan, penambahan filter pada foto seorang wanita pengguna kamera dimaknai secara eksplisit sebagai usaha untuk memenuhi standar yang di ciptakan kebudayaan patriarki atas perempuan. Penggunaan filter adalah sebuah usaha untuk memperindah gambar dan mempercantik tampilan dalam sebuah foto dengan bantuan teknologi filter itu sendiri. Ketika itu dilakukan oleh seorang perempuan dapat di pastikan foto yang "diperindah" oleh filter itu untuk menarik pujian dan perhatiaan lawan jenis (laki laki), ini adalah sebuah kemunduran seorang feminis jika turut melakukan perilaku ini secara berlebihan.
Apa artinnya?
Perilaku selfie yang dianggap sebagai sebuah akibat muculnnya permasalahan sosial baru kini di perparah dengan kemunculan instrumen teknologi yang memiliki dampak tidak jauh berbeda dari perilaku selfie itu sendiri yang membawa masyarakat sebagai masyarakat pengguna teknologi atau media sosal yang narsistik juga selfitis. Pada tahun 2014 silam, Time merilis daftar kota-kota dengan penduduk paling gemar mengambil pose solo dan selfie diseluruh dunia. Peringkat pertama diduduki oleh Makati  City, Filipina, dengan prevalensi 258 pengambil selfie per 100.000 orang.
Ada beberapa  kota di Indonesia juga yang masuk dalam daftar tersebut. Di peringkat 18, bertengger Denpasar dengan prevalensi 75 per 100.000 orang, peringkat 43 ada Yogyakarta dengan prevalensi 51 per 100.000 orang, Bandung bercokol di peringkat 88 dengan prevalensi 33 per 100.000 orang.
Pemberitaan Time ini tentu adalah sebuah keprihatinan terhadap fenomena perilaku selfie yang marak terjadi di Indonesia, butuh sebuah pandangan kolektif untuk melihat fenomena perilaku ini sebagai sebuah perilau awal yang dapat menimbulkan masalah-masalah sosial baru yang membawa perubahan pada kondisi kehidupan sosial. jika dapat terwujud niscaya perilaku selfie dapat ditanggapi lebih bijak oleh masyarakat yang menggunakannya dan penerapannya menjadi tidak berlebihan.: