Mohon tunggu...
Yohanes Andrianto Sir
Yohanes Andrianto Sir Mohon Tunggu... Desainer - Sebuah Catatan Perjalanan

Ingin berbagi dengan dunia; belajar menuangkan sebuah perjalanan ke media tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ohoi Elat, Menelusuri Jejak Eksistensi Gerabah di Kepulauan Kei

29 September 2023   21:39 Diperbarui: 30 September 2023   06:26 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fatima Suatrean menunjukkan hasil karya gerabahnya dengan bentuk yang lebih fungsional serta kontemporer *Dok. Pribadi

Perjalanan kali ini mengantarkan saya untuk mengunjungi salah satu desa yang berada di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, yaitu Desa Elat. Desa dalam bahasa Kei disebut Ohoi, oleh karena itu Desa Elat disebut juga Ohoi Elat yang dapat rekan-rekan akses melalui kapal cepat yang berlokasi di Watdek-Langgur.

Dari Watdek ke Ohoi Elat dapat ditempuh selama kurang lebih satu jam perjalanan. Untuk tiketnya adalah Rp. 70.000 per orang untuk satu kali perjalanan. Ini adalah perjalanan ketiga saya menjelajah Kepulauan Kei untuk mencari keberadaan dan eksistensi gerabah Kei yang semakin susah untuk ditemukan. 

Setelah bertanya kepada warga sekitar, akhirnya saya dapat bertemu dengan dua orang dari beberapa perajin gerabah yang saat ini masih bertahan di Ohoi Elat. Sebut saja Ibu Fatima Suatrean dan Ibu Hadijah  Suatkab. Ya, dua perajin ini masih mencoba mempertahankan tradisi turun temurun pembuatan gerabah dari kepunahan.

Kurangnya modal, bahan dasar dan peminat dari produk gerabah ini adalah beberapa faktor yang membuat gerabah ini seolah meredup. Saat ditemui, Fatima bercerita bahwa membuat gerabah melalui proses yang panjang dengan jenis tanah yang khusus. 

"Kami harus ke kampung sebelah dulu untuk mengambil bahan tanah. Cuman mengambil itu juga perlu dana ya, tidak gratis, tentunya kami harus membayar untuk sejumlah tanah yang kami ambil," katanya.

Hal senada juga diungkapkan Hadijah. "Iya kakak, nggak bisa sembarangan tanahnya, kami harus mengambil dari puncak bukit di desa sebelah," ungkapnya.

Fatima Suatrean menunjukkan hasil karya gerabahnya dengan bentuk yang lebih fungsional serta kontemporer *Dok. Pribadi
Fatima Suatrean menunjukkan hasil karya gerabahnya dengan bentuk yang lebih fungsional serta kontemporer *Dok. Pribadi
Keberadaan gerabah ini semakin tergerus dengan jaman seiring kurangnya peminat serta peralihan fungsi dengan material berbahan plastik dan aluminium.

Hadijah mengungkapkan bahwa ia siap mengerjakan gerabah lagi bahkan bisa menggerakkan rekan-rekannya di desa jika memang didukung dengan modal dan dana.

"Ya karena ini kerjaan sampingan ya, kalau modal dari kantong kami sendiri juga berat. Karena yang beli juga belum tentu ada, sementara kebutuhan pokok kami harus terus dipenuhi," tuturnya prihatin.

Di sela diskusi, Hadijah menunjukkan hasil karyanya. Memang karyanya adalah hasil modifikasi dengan bentuk yang lebih kontemporer serta menggunakan bahan campuran pewarna estetis.

Hal itu ia lakukan setelah dirinya mengikuti pelatihan gerabah di Bali yang diinisiasi oleh pemerintah daerah beberapa tahun lalu untuk menambah fungsional dan ragam dentuk dari gerabah itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun