Mohon tunggu...
Yohanes Andrianto Sir
Yohanes Andrianto Sir Mohon Tunggu... Desainer - Sebuah Catatan Perjalanan

Ingin berbagi dengan dunia; belajar menuangkan sebuah perjalanan ke media tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lukisan Kamasan yang Tak Lekang Dimakan Zaman

16 Oktober 2021   15:15 Diperbarui: 17 Oktober 2021   11:22 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses Nyawi Lukisan Kamasan | Dok. Suprapta Gallery

Jauh sebelum pandemi tatkala berkunjung ke Bali, mata saya selalu dialihkan dengan lukisan/ilustrasi klasik di beberapa Pura maupun Puri (istana raja-raja Bali) yang berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun.

Lukisan itu nampak pudar karena termakan usia memang, namun dengan melihatnya saja seolah kita dibawa ke Bali di masa lalu. 

Bagaimana “orang Bali” memvisualkan cerita rakyat, epos serta keagungan Sang Hyang Widiwase dalam manifestasi Dewa / Dewi ke dalam media lukisan yang sarat akan makna serta budi pekerti yang luhur.

Kekaguman itu menimbulkan rasa ingin tahu saya, dan sayapun berusaha mencari lebih jauh dari mana lukisan dengan kombinasi warna-warna cerah itu dibuat dan berasal.

Rasa penasaran saya terjawab setelah beberapa kali mencocokkan gambar, mencoba mengingat-ingat karakter lukisan yang saya lihat di pura (yang pernah saya kunjungi) dengan berselancar di internet dan media sosial. 

Hasil pencarian di dunia maya mengantarkan saya pada sebuah Desa bernama Kamasan di Kabupaten Klungkung.

Ya, daerah ini dikenal sebagai sentra kerajinan lukisan klasik khas Kamasan; lukisan yang selama ini saya cari.

Pun media sosial mempertemukan saya dengan Wayan Suprapta, pengelola akun Instagram @Supraptagallery yang menawarkan jasa pembuatan lukisan khas Kamasan.

Sebenarnya membedakan lukisan khas Kamasan dengan lukisan yang lain cukuplah mudah. Lukisan ini menggambarkan beberapa karakter yang sekilas terlihat seperti wayang. Cerita dalam lukisannyapun kebanyakan menggambarkan tentang epos Ramayana, Mahabaratha dan cerita klasik masyarakat Bali kuno yang erat kaitannya dengan religi agama Hindu.

Setelah melihat galeri yang dikelola Wayan di media sosialnya, sayapun tertarik untuk memesan lukisan yang berjudul Mandaragiri; kisah pencarian tirta amerta/air kehidupan oleh para dewata.

Kisah tentang Kurma Awatara tersebut muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa, beserta Purana lainnya. 

Untuk memesan lukisan ini ternyata saya harus bersabar. Setidaknya membutuhkan satu bulan lamanya untuk mengerjakan lukisan berukuran 110 x 75cm yang saya pesan. Beberapa tahapan atau proses panjang harus dilalui salah satunya adalah proses “ngerus” pada kain blacu. 

Proses ditekannya kulit bia (kerang-kerangan laut) pada kain blacu dengan tujuan mengencangkan sekaligus membuka pori-pori kain agar nantinya cat acrylic dapat menyerap dengan sempurna. 

Setelah kain blacu siap, kemudian dilanjutkan dengan proses sketsa pada kain, pewarnaa’an, hingga berakhir pada proses “nyawi”. Proses nyawi sendiri adalah bagian akhir yakni memberikan detail pada setiap karakter lukisan menggunakan outline / garis tegas, titik maupun arsir dengan tintan warna hitam. 

Proses pewarnaan dasar | Dok. Suprapta Gallery
Proses pewarnaan dasar | Dok. Suprapta Gallery

Proses pewarnaan  yang hampir selesai | Dok. Suprapta Gallery
Proses pewarnaan  yang hampir selesai | Dok. Suprapta Gallery
Semua proses pengerjaan lukisan dikerjakan langsung oleh Ayah Wayan; I Ketut Suparta. Wayan menyampaikan bahwa ayah’nya sudah membuat lukisan Kamasan sejak berusia 12 tahun.

Jika saat ini Beliau berusia 60 tahun, artinya Beliau sudah bergelut dengan lukisan tersebut lebih dari separuh usianya. 

Tidak hanya sebagai mata pencaharian, namun sebuah dedikasi mengingat pekerjaan tersebut sangat membutuhkan ketelitian serta kesabaran yang tinggi.

Lukisan Kamasan karya Ketut Suparta dihargai ratusan ribu hingga jutaan rupiah tergantung tingkat kesulitan serta ukuran dari lukisan yang dipesan. 

Media lukis'pun berkembang seiring dengan permintaan pasar yang diaplikasikan pada kipas untuk souvenir, sangkar burung, berbagai peralatan untuk persembahyangan dan lain sebagainya. Selama proses pengerjaan, kami berkorenposndesi melalui pesan singkat Whatsapp, pun tidak mengurangi kepercayaan saya karena Wayan cukup sering mengupdate proses demi proses pengerjaan lukisannya. 

I Ketut Suparna berfoto dengan lukisan yang saya pesan | Dok. Suprapta Gallery
I Ketut Suparna berfoto dengan lukisan yang saya pesan | Dok. Suprapta Gallery

Di masa pandemi seperti ini, banyak seniman dan pelaku UMKM di Bali dan daerah lainnya yang merasakan dampaknya secara langsung.

Salah satu inovasi yang dilakukan Wayan yang menawarkan jasanya melalui online adalah solusi untuk menghadapi tantangan yang ada. 

Setelah lukisan yang dikirim melalui paket saya terima, saya langsung memasangnya di dinding meja kerja saya di rumah. Wah, sepertinya saya harus mengunjungi Desa Kamasan di Kab. Klungkung jika kembali lagi ke Bali nanti, coming soon ya..hhe.. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun