Depresi sering kali muncul dari tekanan hidup yang berat, hilangnya tujuan, atau perasaan terasing. Dalam budaya Jawa, terdapat filsafat hidup yang mengajarkan ketenangan batin, penerimaan diri, dan harmoni dengan alam semesta. Ajaran-ajaran ini dapat menjadi panduan untuk mengelola emosi dan mengurangi depresi.
1. Ajian "Sumeleh"
Tokoh seperti Ki Ageng Suryomentaram, seorang bangsawan sekaligus filsuf Jawa dari Keraton Yogyakarta, mengajarkan konsep sumeleh atau pasrah. Sumeleh bukan berarti menyerah pada keadaan, melainkan menerima kenyataan dengan lapang dada dan fokus pada hal yang bisa dikendalikan. Ia menekankan pentingnya menyelaraskan pikiran dan hati agar bebas dari tekanan yang tak perlu.
Dalam ajaran Ki Ageng, manusia diajak untuk melepaskan keterikatan terhadap sesuatu yang berada di luar kendali, seperti masa lalu atau kekhawatiran berlebihan akan masa depan. Dengan praktik ini, seseorang dapat merasa lebih ringan dan tenang.
2. "Urip Iku Sawang-Sinawang"
Ungkapan ini mengingatkan bahwa hidup adalah soal persepsi. Apa yang terlihat indah pada orang lain belum tentu bebas dari masalah. Menyadari hal ini membantu kita untuk tidak membandingkan diri secara terus-menerus, yang sering kali menjadi pemicu depresi.
Tokoh Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang pujangga besar Jawa, mengembangkan konsep ini dalam karya-karyanya, seperti Serat Kalatidha. Ia menekankan pentingnya bersikap rendah hati dan bersyukur atas keadaan yang ada, sembari tetap berusaha memperbaiki diri.
3. "Hamemayu Hayuning Bawana"
Filosofi ini mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan lingkungan dan berkontribusi pada kebaikan dunia. Dengan menjalankan prinsip ini, seseorang dapat merasa lebih berarti karena ia memiliki tujuan untuk memberikan manfaat, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain dan alam sekitar.
Para pemimpin spiritual Jawa, seperti Sunan Kalijaga, sering mengajarkan nilai ini melalui pendekatan seni dan budaya, seperti wayang kulit. Menanamkan rasa tanggung jawab terhadap harmoni ini dapat membantu mengalihkan fokus dari kesedihan pribadi ke tindakan nyata yang lebih positif.
4. Meditasi Jawa: "Tapa Brata"
Meditasi atau tapa brata merupakan cara untuk merenungkan makna hidup dan mencari kedamaian batin. Praktik ini melibatkan diam, menjauh dari keramaian, dan memusatkan pikiran pada hakikat kehidupan. Selain membantu seseorang untuk introspeksi, tapa brata juga mengajarkan pentingnya jeda dalam hidup, sehingga pikiran tidak terus-menerus terjebak dalam rutinitas yang melelahkan.
Mengintegrasikan Filsafat Jawa ke Kehidupan Modern
Dalam era modern, penerapan filsafat Jawa ini tetap relevan. Ketika dunia semakin sibuk, praktik seperti meditasi, refleksi diri, dan penerimaan dapat membantu mengurangi tekanan mental. Budaya lokal seperti ini juga memiliki nilai universal yang dapat dipelajari oleh siapa saja.
Dengan kembali ke akar kebijaksanaan Jawa, kita diajak untuk mengenali bahwa ketenangan sejati tidak datang dari dunia luar, melainkan dari hati yang damai. Seperti yang dikatakan Ki Ageng Suryomentaram, "Kunci kebahagiaan ada di dalam dirimu sendiri."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI