"Tidak. Ada satu hal yang tidak akan pernah bisa aku pelajari."
"Oh, soal itu ya rupanya. Ya aku paham."
Pelayan datang, mengantarkan segelas teh tawar hangat. Dengan teh tawar hangat itu pula mereka semakin larut dalam pembicaraan mereka berdua. Layaknya sepasang kekasih yang sedang kecanduan akan pertemuan hati, mereka mencoba mencecap setiap detik pertemuan mereka. Mereka berdiskusi, bercanda tawa dan hampir lupa akan siapa mereka sebenarnya. Orang-orang di sekitarpun juga tidak terlalu memperdulikan siapa mereka.
"Selalu teh tawar."
"Iya. Karena gula selalu mengganggu rasa sedang lidah butuh kenetralan rasa."
"Iya. Aku setuju. Apalagi setelah lidah lelah akan banyak rasa makanan yang kita makan. Tapi kenapa Teh Tawar? Menurutku teh tawar itu juga unik. Kadang orang tidak peduli definisi tawar. Mereka hanya menyebutkan tanpa rasa. Sedangkan teh yang sedang kau nikmati itu pasti masih memiliki rasa. Lalu apakah definisi teh tawar selalu berarti teh tanpa gula?"
"Mungkin begitu. Orang kadang tidak peduli dengan detail. Kadang menyamaratakan rasa. Apalagi kadang mereka menyamakan rasa pahit dengan tawar. Padahal kedua situasi itu sungguh sangat berbeda."
"Lalu apa yang kau tunggu untuk tulisanmu berikutnya? Mengapa tidak kau bahas saja tentang Teh Tawar ini?"
"Sedang mencoba. Sedang mencari jalan. Tulisanku yang akan berjalan sendiri. Tetapi aku tetap butuh bantuanmu untuk menerangi jalan tulisanku, seperti biasa."
"Iya. Aku selalu menikmati masa-masa dimana kamu kecanduan menulis dan tak pernah bisa berhenti. Kamu unik."
"Oh ya? Unik menurutmu, tetapi sakit bagiku. Kamu tidak pernah tahu rasanya gelisah setiap saat dan tak pernah bisa beristirahat. Pikiranku penuh. Mungkin aku juga butuh Teh Tawar."