Oleh: Yohanes Manhitu
Kau yang setiap saat
mengayuh tanpa kenal lelah.
Kau yang selalu bermandikan peluh
di bawah pancaran cahaya sang surya
di musim panas yang melelahkan
dan mengundang sejuta keluhan.
Kau yang selalu jadi sasaran empuk
tetesan air mata sang langit
di musim hujan
yang datang tak beraturan.
Dan kau yang sering disingkirkan
karena semakin padatnya arus lalu lintas
yang dikuasai pengemudi kendaraan modern
yang miskin tenggang rasa.
Dahulu kau masih bisa nikmati sebentuk kebahagiaan
yang terpancar lewat senyuman di wajah dan kayuhanmu
yang lincah menerjang jalan berbatu-batu
yang menanjak.
Dahulu kau masih bangga
menjadi pahlawan pelestarian lingkungan hidup
walau tak selalu disukai,
apalagi menyandang tanda penghargaan bertaraf nasional.
Namun, sekarang tak tega kubayangkan nasibmu,
istrimu, dan anak-anakmu 'tuk tahun-tahun yang 'kan tiba.
Akankah kau terus bertahan manja?
Seiring dengan meningkatnya kebahagiaan manusia
'tuk ciptakan embusan asap tebal
dari pipa mesin angkutannya,
dan hiasi segala penjuru jalan kota dan desa
dengan kendaraan superelok,
engkau harus bergelut 'tuk cari jalan lain ke Roma.
Ya, jalan lain kepada terpenuhinya segala idaman
dan impian kau, istri, dan anak-anakmu.
Bila pada suatu saat kau merasa tak berarti lagi
atau tersingkir karena desakan jaman,
jangan kau jadikan setiap keping kayu
yang bentuk kendaraanmu kayu bakar
'tuk hangatkan tubuh kurusmu
yang kedinginan, dan roda-rodanya mainan anak-anakmu
yang bayangkan sebuah masa depan nan cemerlang.
Letakkanlah kendaraan antipencemaran udaramu seutuhnya
di salah satu sudut museum sebagai monumen
'tuk kenang masa lampau.
Biarlah angkatan yang akan datang
tetap mengenang kehadiranmu,
tetapi tidak untuk mengulangi saat-saat sulit
yang telah kaulalui.
Pugeran Timur, Yogyakarta, 4 Januari 2003
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H