Mohon tunggu...
Yohanes Jeng
Yohanes Jeng Mohon Tunggu... Novelis - Filsafat

Mengubah dunia dengan mengubah diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Sebagai Proses Humanisasi: Rekonstruksi Sistem Pendidikan Menurut Paulo Freire

9 November 2022   22:16 Diperbarui: 9 November 2022   22:28 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Melalui pendidikan seorang individu didorong dan dituntun untuk semakin mengenal diri, kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya, mampu mengaktualisasikan bahkan dan kemampuannya dan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial bermasyarakat. 

Namun pertanyaannya bagaimana jika pendidikan itu digunakan sebagai alat untuk menindas, sebagai alat untuk menjadikan manusia sebagai objek untuk kepentingan pihak tertentu? 

Pendidikan pada akhirnya kehilangan makna dan kehilangan nilai-nilai luhur yang disebabkan oleh sistem yang berpihak pada para penindas, kaum elit atau pihak-pihak-pihak yang berkuasa. 

Pendidikan tidak lagi sebagai proses yang memanusiakan melainkan sebagai proses yang semakin mempertegas tindakan-tindakan dehumanisasi, yang menurunkan dan menghancurkan martabat manusia sebagai pribadi pada titik yang paling rendah.

Masalah ini kemudian membangkitkan kesadaran dan keprihatinan dari berbagai pihak salah satunya Paulo Freire. Freire secara tegas melontarkan kritik atas sistem pendidikan yang berlaku di Brazil pada masa hidupnya. Freire melihat bahwa sistem pendidikan gaya bank yang sedang diberlakukan pada saat itu, semakin memperburuk kondisi hidup masyarakat.

Skripsi ini merupakan sebuah penelusuran atas gagasan-gagasan dan kritik Paulo Freire mengenai pendidikan. Secara khusus gagasan pedagogi kritis yang kemudian diaktualkan dalam sistem pendidikan "hadap masalah" sebagai sistem pendidikan alternatif untuk menggantikan sistem pendidikan tradisional, sistem pendidikan "gaya bank." Pedagogi kritis sebagai pedagogi pembebasan yang memperjuangkan dan mengangkat nilai-nilai humanisme.

ISI

Paulo Freire tokoh pendidikan Brazil lahir pada 19 September 1921 di Recife Brazil dari pasangan Joaquim Temistocles dari Rio Grande do Norte seorang polisi militer dan Edeltrus Neves Freire dari daerah Pernambuco seorang ibu rumah tangga.[1] Freire dibesarkan dan dididik dalam keluarga sederhana yang menekankan nilai-nilai cinta kasih, kelemahlembutan, sikap peduli dan mengedepankan dialog dalam relasi dengan orang lain.[2] Tahun 1930 ketika Brazil kembali mengalami krisis ekonomi yang hebat, Freire menyaksikan dan mengalami sendiri pederitaan atas krisis tersebut. Penderitaan yang dialaminya ini memotivasi Freire dan ia bersumpah mengabdikan seluruh hidupnya untuk berjuang melawan kelaparan, agar dikemudian hari anak-anak lain tidak mengalami nasib yang sama dengan yang dialaminya.

 

Krisis tersebut membuat Freire harus berhenti sekolah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan finansial keluarganya. Setahun kemudian Freire kembali melanjutkan pendidikannya. Tahun 1959 Freire menyelesaikan pendidikannya  dan diangkat menjadi profesor dalam bidang sejarah dan filsafat pendidikan di Universitas Pernambuco.[3] Tahun 1960 Freire diangkat menjadi Direktur Pelayanan Extension Kultural Universitas Recife. Sejak saat itu karier akademiknya terus meningkat, sampai pernah diangkat menjadi penasihat khusus Kantor Pendidikan Dewan Gereja se-dunia dan Ketua Komite Eksekutif Institut d' Action Culturelle (IDAC) yang berpusat di Jenewa.[4] Freire juga pernah mengalami hidup sebagai tahanan penjara. Daniel Schugurensky mencatat, Freire pernah berada dalam masa pengasingan di tiga negara selama lima belas tahun.[5]

 

Selama hidupnya Freire banyak menghasilkan karya-karya tulis berupa buku dan artikel-artikel ilmiah yang berdasarkan hasil pengamatan, pengalaman dan refleksinya atas kenyataan yang dihadapi dan dialaminya sendiri dan oleh masyarakat. Dua karyanya yang terkenal dan paling berpengaruh yakni Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan dan Pendidikan Kaum Tertindas. Pokok-pokok pemikiran Freire seperti pedagogi kritis, konsientisasi atau kesadaran, dialog dan kebebasan banyak dipengaruhi oleh pemikiran dari aliran-aliran filsafat seperti eksistensialisme, fenomenologi, personalisme, marxisme dan ajaran-ajaran Yesus dalam kekristenan. Freire menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Mei 1997 di Rumah Sakit Albert Einstein Sao Paulo dalam usia 75 tahun.[6]

 

Apa tanggapan dan kritik  Freire atas pendidikan model bank dan bagaimana ia membangun gagasan pedagogi kritis yang diaktualisasikan dalam model pendidikan "hadap masalah", sebagai alternatif untuk menggantikan model pendidikan gaya bank tersebut?. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengenal diri dan lingkungannya dalam mencapai kehidupan yang lebih baik dengan segala bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Demikian pendidikan berlangsung seumur hidup serta menjadi tugas dan tanggung jawab dari semua pihak tanpa terkecuali. Pendidikan dapat dijalankan di mana pun dan kapan pun, tidak terbatas pada ruang dan waktu.

 

Di sini fungsi dari pendidikan adalah humanisasi, di mana melalui pendidikan seorang individu didorong untuk mengenal, mengembangkan potensi diri secara maksimal dan bertumbuh menjadi manusia yang bebas, tidak terikat, mampu menentukan dan membuat pilihan-pilihan atas hidupnya.[7] Melihat ke dalam konteks hidup Freire, sistem pendidikan yang sedang berlangsung adalah sistem pendidikan  model bank. Pendidikan model bank merupakan pendidikan yang menjadikan guru sebagai pusat dalam keseluruhan proses pendidikan. Guru sebagai pemilik pengetahuan sedangkan murid sebagai objek atau wadah kosong yang siap diisi dengan pengetahuan dari gurunya. Guru menjadi subjek yang bercerita sedangkan murid sebagai objek yang patuh mendengarkan.[8] Terlebih lagi materi pembelajaran jauh dari kehidupan kongkrit peserta didik dan masalah-masalah aktual yang mereka alami, dengan demikian maka pendidikan tidak membarikan dampak apa pun untuk kehiduapan mereka.

 

Freire menilai bahwa model pendidikan yang demikian bukanlah pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang tidak memiliki visi kemanusiaan. Pendidikan gaya bank merupakan pendidikan yang menindas, menghapus kebebasan, menegakan dominasi antara penindas dan kaum tertindas, menjadikan manusia sebagai pribadi yang mengingkari tujuan hidup dan martabatnya sendiri.[9] Lebih berbahaya lagi pendidikan model bank ini pada akhirnya melumpuhkan pikiran kritis manusia, sebab di sana budaya diam atau anti dialoglah yang dikembangkan dan dihidupi serta menjadikan pendidikan sebagai instrumen dehumanisasi. Melihat situasi ini Freire kemudian membuat sebuah rekonstruksi dalam sistem pendidikan. Dengan didorong oleh motivasi masa kecilnya, serta situasi yang diwarnai tindakan-tindakan dehumanisasi, Freire bertekad untuk membuat perubahan melalui pendidikan. Mengapa rekonstuksi itu harus dimulai dari pendidikan? Bagi Freire pendidikan yang baik akan dengan sendirinya melahirkan masyarakat yang baik pula.

 

 Freire kemudian membangun pedagogi kritis sebagai ganti model pendidikan gaya bank. Pedagogi kritis berusaha memetakan hubungan-hubungan kekuasaan sehingga bisa mendorong terjadinya perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih terbuka, bebas dan adil.[10] Pedagogi kritis bukan sekedar usaha pemberantasan buta huruf, melainkan membangkitkan kesadaran baik kaum penindas maupun kaum tertindas akan situasi realitas yang menindasnya. Pendidikan kritis berusaha menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis segenap potensi yang dimiliki oleh peserta didik secara bebas dan kritis untuk mewujudkan transformasi sosial. Demikian gerakan pedagogi kritis selalu berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah aktual.

 

Freire kemudian mengaktualisasikan pedagogi kritis tersebut dalam sistem pendidikan "hadap masalah" sebagai model pendidikan yang dialogis humanis. Jika model pendidikan gaya bank memberikan penekanan pada dikotomi antara pendidik dan peserta didik, maka pendidikan "hadap malah" memberikan fokus pada relasi dilogis antara pendidik dan peserta didik. Pendidikan tidak lagi berjalan satu arah melainkan terjadi dalam dialog timbal balik antar keduanya. Guru menjadi rekan bagi murid-muridnya dan pada saat yang sama guru juga dapat belajar dari murid.[11] Selanjutnya jika pendidikan model bank menggunakan pengetahuan dari guru sebagai bahan pembelajaran maka pendidikan "hadap masalah" menempatkan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh peserta didik sebagai bahan pengajaran dan diskusi-diskusi. Tujuannya mendorong guru dan murid untuk berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya, memberikan kepercayaan dan kekuatan untuk membicarakan dan menghadapi masalah-masalah yang terjadi bukan patuh dan menyerah pada keputusan-keputusan.[12] 

 

Dalam model pendidikan "hadap masalah" perhatian utamanya pada aspek kesadaran peserta didik. Dalam analisisnya Freire mengelompokkan kesadaran dalam tiga tahap secara berurutan, kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran transitif (transitive consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).[13] Tahap kesadaran magis adalah kesadaran yang lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab. Kesadaran ini menyandarkan diri pada kekuatan "yang di atas" (Tuhan, mau pun kaum penindas). Kesadaran transitif merupakan kesadaran yang melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Sedangkan kesadaran kritis adalah kesadaran yang melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.[14] 

 

Kesadaran kritis merupakan tahap kesadaran tertinggi. Pada tahap ini masyarakat menjadi lebih kritis, mampu melihat masalah-masalah yang ada sebagai akibat dari struktur atau sistem yang tidak adil dan usaha mengubah relitas tersebut untuk menciptakan suatu dunia yang baru. Dalam konteks pendidikan, kesadaran kritis memampukan peserta didik dalam mengidentifikasi masalah, melihat keterkaitan atara masalah sosial dengan sistem yang tidak adil dan peserta diberi ruang untuk menciptakan sebuah struktur yang lebih baik.[15] Mengcu pada kesadaran peserta didik maka tahap-tahap pembelajaran dalam model pendidikan "hadap masalah" pun dilalui dalam tiga tahap yakni kodifikasi dan dekodifikasi (melalui media pembelajaran seperti gambar atau alat peraga lainnya), diskusi kultural (membicarakan apa yang sudah dikodifikasi) kemudian aksi kultural (refleksi dan penilaian kritis kemudian bergerak untuk melakukan praktis nyata).[16] Melalui model pendidikan "hadap masalah" humanisasi dapat dicapai, nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangakan dan diperoleh kembali. Sebab manusia adalah pencipta realitas bukan sebagai penonton realitas.

 

Akhirnya, Freire dalam karyanya Pedagogy of the Oppressed mengakui bahwa sistem pendidikan yang diusulkannya bukanlah sistem yang sempurna. Dengan demikian Freire dengan penuh kerendahan hati dan tangan terbuka untuk menerima kritik, saran dan masukan-masukan. Freire sendiri menegaskan bahwa dirinya akan merasa puas jika di antara pembacanya, ada yang cukup kritis untuk mengoreksi kesalahan dan kesalahpahaman, memperdalam penegasan dan menunjukkan aspek-aspek yang belum dirasakannya.[17] Menanggapi hal tersebut, beberapa tanggapan dapat diberikan atas gagasan-gagasan Freire seperti, mengakui kelebihan-kelebihan yang terkandung dalam teori pedagogi kritis Freire dan penemuan beberapa titik lemah dari teori pedagogi kritisnya.

 

Beberapa kelebihan yang dapat kita sebutkan diantaranya: pedagogi kritis Freire benar-banar merekonstruksi dan memperbaharui sistem pendidikan tradisional. Tujuan pendidikannya jelas yakni transformasi sosial, mengedepankan dialog dalam proses pembelajaran berlangsung, bersifat dialektis atar pendidikan dan peserta didik dan antara pendidikan dan realitas kongkrit. Hal  yang penting di sana adalah pedagogi kritis dalam sistem pendidikan "hadap masalah" perjuangan nilai-nilai humanisme menjadi nyata.

 

Sedangkan beberapa kelemahan yang ditemukan dalam pedagogi kritis terutama dalam sistem pendidikan "hadap masalah" yakni: sistem pendidikan yang dibangun oleh Freire berifat partikular dan situasional. Dalam konsep kosientisasi Freire tidak memberikan batasan yang jelas antar tiap tahap kesadaran, otoritas guru dalam kelas menjadi kabur, kurang memperhatikan aspek psikologis dan batin guru dan kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang semu.

 

 

Penutup

 

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, melalui gagasan pedagogi kritisnya Freire telah memberikan pengaruh yang luas dalam dunia pendidikan. Melalui model pendidikan "hadap masalah" Freire membuktikan bahwa perubahan sosial sangat mungkin terjadi melalui pendidikan yang baik. Pedagogi kritis menjadikan sekolah sebagai tempat perjuangan dan pemicu perubahan sosial. Freire mewujudkan harapan dan cita-cita rekonstruksinya yakni  yakni sebuah sistem pendidikan mampu membawa perubahan dalam diri peserta didik dan mengkondisikan mereka untuk terlibat dalam kehidupan sosial, dalam pengambilan keputusan-keputusan demi kesejahteraan bersama.

 

Pedagogi kritis Freire ini mendorong kita untuk berefleksi atas sistem pendidikan yang sedang berlangsung sekarang ini. Apakah sistem pendidikan yang sedang kita pakai, benar-benar mengantar kita untuk penemuan akan diri sendiri? Apakah pendidikan kita sekarang ini benar-benar memperjuangankan nilai-nilai humanisme atau bahkan sebaliknya semakin memperkuat dominasi satu pihak terhadap pihak lain? Freire membentuk gagasan pedagogi kritis berdasarkan refleksinya atas kondisi sosial masyarakat zamannya. Dengan demikian jika kita hendak menerapkan konsep pedagogi kritis pada masa sekarang ini, kita pun harus menerapkannya dalam konteks yang baru dan dengan cara yang baru. Namun satu hal yang pasti adalah pedagogi kritis masih sangat relevan untuk diterapkan dalam pendidikan kita sekarang ini.

 

 

 

 

Daftar Pustaka 

 

Freire, Ana Maria Arajo. Foreword dalam James D. Kirylo dan Drick Boyd, Paulo Freire: His Faith Spirituality, and Theology. Rotterdam: Sense Publishers, 2017.

 

Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed, terj. Myra. New York: The Continuum International Publishing Group Inc, 1993.

 

__________. Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: Pustaka LP3S, 2008.

 

__________. Pendidikan Yang Membebaskan, terj. Martin Eran. Jakarta Timur: Melibas, 2000.

 

Lewis, McRobert and Veronica Ponzio. "Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future" dalam Jurnal Ilmiah Peuradeun. 4/2 (Mei 2016).

 

Murtiningsih, Siti. Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book, 2004.

 

Paulo Freire: Kehidupan, Karya dan Pemikriannya, terj. Henry Heyneardhi dan Anastasia P. Cet. Ke-3. Yogyakarta: Komunitas Apiru Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, 2011.Rijal Abdillah, "Analisis Teori Dehumanisasi Pendidikan Paulo Freire" dalam Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 2/1 (2017).

 

Schugurensky, Daniel. Paulo Freire. London: Bloomsbury, 2011.

 

Topatimasang, Roem. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis, cet-6. Yogyakarta: Insist Press, 2015.

 

Wattimena, Reza A. A. Mendidik Manusia: Revolusi Pendidikan Indonesia Abad ke-21. Jakarta: Gramedia, 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun