Jean-Franois Lyotard (1924-1998)
Jean-Franois Lyotard (1924-1998) dalah seorang filsuf sosial asal Prancis. Menurut Lyotard, masyarakat diatur tidak hanya di sekitar teknologi tetapi juga di sekitar discourses atau wacana. Dalam masyarakat non-industri, mitos dan cerita memiliki kualitas religius dan membantu dalam reproduksi tatanan sosial. Namun, setelah Enlightenment atau abad Pencerahan, serangkaian narasi baru muncul di samping kebangkitan sains. Hal ini, menekankan pentingnya kemajuan, nalar, pengetahuan, dan teknologi dalam membawa kebebasan dari ketidaktahuan, keinginan, dan penindasan (inilah modernitas). Lyotard mengemukakan bahwa kita sekarang telah memasuki era baru postmodern. Sains, teknologi, sistem administrasi yang kompleks, dan komputer telah berkembang ke tahap di mana "pengetahuan telah menjadi kekuatan utama produksi selama beberapa dekade terakhir " Pergeseran ini memiliki dimensi kualitatif dan juga kuantitatif.
Lyotard menyebutnya decline of grand narratives "penurunan narasi besar". Dia percaya bahwa "narasi besar (sains) telah kehilangan kredibilitasnya, terlepas dari mode penyatuan apa yang digunakannya, terlepas dari apakah itu narasi spekulatif atau narasi emansipasi" (1984: 37). Kebanyakan orang tidak lagi percaya bahwa sains, akal, atau "kebenaran" akan memberikan jawaban atas masalah sosial atau memungkinkan kita membangun dunia yang lebih baik. Mereka juga tidak berpikir bahwa kita dapat menemukan satu teori atau pandangan dunia yang berhasil menyatukan semua pengetahuan dan pengalaman (misalnya, Marxisme). Selain itu, Lyotard berpendapat bahwa tidak ada yang membayangkan kemungkinan tempat "God's-eye" untuk membangun pengetahuan yang benar atau valid secara universal. Akibatnya pengetahuan (dan masyarakat) terpecah-pecah ke dalam bidang-bidang lokal.
Lyotard menggunakan gagasan filsuf Ludwig Wittgenstein tentang language game untuk membuat sketsa visinya tentang kegagalan narasi besar. Wittgenstein dengan Language game-nya telah menunjukkan bahwa arti kata-kata dalam bahasa tertentu tidak dapat dijelaskan secara memadai dengan mengacu pada definisi tetap dan bebas konteks. Sebab tidak ada kamus yang dapat memuat satu kata dengan konteks sosial yang tak terbatas yang dapat digunakan dengan beragam cara. Sebagai contoh, ada dua orang yang saling menggunakan dua kata yang berbeda, namun mempunyai arti yang sama jika diucapkan pada konteks yang sesuai atau tepat. Sehingga mereka tahu dalam konteks mana harus menggunakan kata mana. Penggunaan bahasa bergantung pada pengetahuan tidak hanya pada makna abstrak dari kata-kata, tetapi juga pada bentuk tindakan tertentu, atau permainan, di mana kata-kata tersebut digunakan pada waktu tertentu. Lyotard menggunakan perspektif relativistik tentang bahasa ini untuk berpendapat bahwa tidak ada narasi yang sepenuhnya dapat direduksi menjadi narasi lain, karena masing-masing pada dasarnya membentuk permainan bahasanya sendiri. Maksudnya Sains tidak bisa menjadi narasi yang kepadanya narasi lain direduksi. Segala sesuatu harus dilihat dari kaca mata sains.
Menarik juga dari Nietzsche, Lyotard berpendapat bahwa konflik, perbedaan pendapat, dan heterogenitas tidak dapat dihindari dalam wacana, tetapi kesimpulannya dari ini tidak hanya pesimis. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa keinginan untuk keadilan tetap kuat dalam masyarakat dan bahwa kita sekarang harus mencari jalan ke arah itu tanpa ilusi konsensus yang menghibur.
Jean Baudrillard (1929-2007)
Seperti Lyotard, Baudrillard berpendapat bahwa kita hidup di era (1960) di mana masyarakat tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang material (yang nyata) dengan nilai guna (yang berguna untuk dipakai) (khas Marxisme), melainkan, masyarakat yang melibatkan komoditas sebagai tanda dan simbol yang memiliki arti yang sepenuhnya yang disebutnya kode". Ide "kode" mengacu pada gagasan Barthesian tentang budaya sebagai tata bahasa kolektif penanda. Masyarakat hidup berdasarkan realitas baru, yakni gabungan dari elemen-elemen kode. Peristiwa di dunia "nyata" merupakan ekspresi material dari model dan mitologi yang berasal dari lingkungan budaya otonom atau mandiri dalam media sosial. Istilah yang dia gunakan untuk menangkap dinamika aneh ini adalah istilah simulasi dan simulacrum (citra atau gambaran). Ia memberikan contoh: Disney Company, merupakan model atau kode yang mempengaruhi masyarakat untuk bertindak. Ide-ide dongen dan mitologi yang ada dalam Disney mempengaruhi realitas nyata dalam masyarakat. Begitu juga media sosial dari TV yang menampilkan ide-ide (seperti kehidupan para artis, dan kegiatan dokumenter mereka) menjadi contoh untuk bertindak dalam masyarakat. Akibatnya melahirkan kosumerisme dan media bagi masyarakat. Dua cabang empiris penting dari penelitian kontemporer yang telah melibatkan bahasa konseptual Baudrillard, dan yang dibahas sendiri oleh Baudrillard, adalah yang berfokus pada Internet dan komunikasi yang dimediasi oleh komputer (CMC), dan yang membahas topik pariwisata.
Mengikuti penelitian dari Sherry Turkle, Life on the Screen (1995), Baudrillard berpendapat bahwa Internet dan komunikasi yang dimediasi oleh komputer (CMC) menunjukkan bagaimana interaksi dalam lingkungan simulasi dan virtualitas, seperti MUD online (Multi-User Domains), mempengaruhi konsepsi identitas, pengguna pada dasarnya dapat membuat identitas mereka sendiri, bermain bebas dengan jenis kelamin, ras, seksualitas, dan penanda identitas lain yang dianggap berasal. Seks online dan game online membuat orang sulit membedakan tindakan nyata dan simulasi virtual. Apa yang disajikan dan dikonsumsi serta dikomunikasikan lewat internet (dunia maya) juga dibuat dan bahkan dipakai sebagai ide untuk bertindak. Padahal itu semua hanyalah simulasi. Bukan hal yang riil dalam lingkungannya saat ini.
Selain itu Pariwisata juga memainkan peranan dalam menumbuhkan budaya simulasi. Orang tidak lagi mencari wisata yang nyata dalam arti pergi ke tempat wisata, melainkan mereka telah berwisata melalui wisata online. Ada acara-acara TV yang menunjukkan wisata online yang membaut orang merasa puas dan seolah-olah telah pergi berwisata.
Daniel Bells (1919-2011)
Ide-ide postmodern tentang tumbuhnya kekuatan pengetahuan dan budaya dalam masyarakat kontemporer secara tegas digambarkan sebelumnya dalam karya-karya Daniel Bells, yang ditulis pada tahun 1960-an dan awal 1970-an. karyanya seperti The Coming of Post-Industrial Society (1973) dan The Cultural Contradictions of Capitalism (1976) mendokumentasikan pergeseran yang menentukan dari modernitas industri ke modernitas yang didasarkan pada informasi. Dalam karya-karya ini, Bells menyarankan itu di karya keduanya yakni pada separuh abad ke-20 pertumbuhan kapitalisme yang terus berlanjut bergantung pada teknologi informasi dan pengetahuan yang diciptakan di pusat-pusat penelitian besar seperti universitas dan perusahaan teknologi tinggi. Pada saat yang sama, warga diubah menjadi konsumen dengan permintaan barang dan hiburan yang terus meningkat. Konsumen menuntut kesenangan dan kepuasan instan. Gambaran bersih tentang budaya menjadi tidak terikat. Ia menjadi lebih otonom dan lebih kuat dalam mendorong permintaan (konsumerisme) dan produksi (pengetahuan, teknologi).