"Dalam status hidup dan kedudukannya suami isteri mempunyai karunia yang khas di tengah umat Allah (Lumen Gentium, art. 11). Rahmat khusus Sakramen Perkawinan itu dimaksudkan untuk menyempurnakan cinta suami isteri dan untuk memperkuat kesatuan mereka yang tidak dapat diceraikan, berkat rahmat ini 'para suami isteri dalam hidup berkeluarga maupun dalam menerima serta mendidik anak saling membantu untuk menjadi suci' (LG 11)."[1]
Sakramen Perkawinan merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah, dan setiap pribadi yang terlibat di dalamnya berkewajiban mencerminkan suatu persekutuan Cinta Kasih yang utuh. Perkawinan yang sah sebagai sakramen yaitu perkawinan di antara dua orang (pria dan wanita) yang telah dibaptis dan berstatus liber (bebas, tidak terikat halangan perkawinan). Perkawinan demikian tak terceraikan, sebab Allah sendiri sebagai pemberi rahmat telah mengikatnya pula dengan kesetiaan-Nya.
Sejak zaman dahulu dalam kisah Kitab Suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), perkawinan mengalami kemajuan dalam penghayatan kesetiaan (contoh, kisah Rut dan mertuanya Naomi) tetapi adakalanya juga tidak sesuai atau bertentangan dengan kehendak Allah (contoh, Herodes yang mengambil istri Herodias). Hingga pada zaman Yesus, orang masih terus bertanya tentang hakekat perkawinan yang tak terceraikan dan monogami (bdk. Markus 10:1-12).Â
Tentu hal ini juga hingga kini masih dipertentangkan dan menjadi pertanyaan yang selalu diulang-ulang. Padahal sudah sangat jelas Yesus mengatakan tentang kehendak Allah bahwa perkawinan itu kudus dan apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Markus 10:9).Â
Baca juga: Tujuan Pernikahan Gereja
Lalu bagaimana dengan umat Katolik (orang yang beriman pada Allah) yang sudah jelas-jelas mengetahui tentang kekudusan Sakramen Perkawinan ini, tetapi masih mengajukan 'perceraian' sipil?Â
Padahal ketika menikah dalam gereja Katolik tidak ada yang namanya perceraian, melainkan disebut dengan pembatalan artinya ikatan perkawinan yang terdahulu dianggap tidak terjadi/ tidak sah, karena ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi yang mengakibatkan tidak sahnya sebuah perkawinan (tentu dengan penyelidikan dari otoritas gerejani).Â
Tetapi bagi perkawinan yang sah dan sakramen, tidak dapat diceraikan oleh kuasa manusiawi manapun juga. Apakah Perkawinan Katolik, yang monogami dan tidak terceraikan sudah tidak relevan dengan situasi kini?Â
Mengapa ada yang merasa sulit menjalani perkawinan demikian, bahkan menyerah? Siapa yang harus disalahkan? Perkawinan yang setia hanya satu pasangan, seolah-olah menjadi tembok pembatas terhadap pribadi yang ingin 'lebih', dengan alasan katanya untuk mengatasi perempuan yang sulit mendapat pasangan karena kekurangan laki-laki. Lalu bagaimana tanggapan atas peristiwa ini? Perlu kita mendalami apa yang menjadi makna perkawinan itu sendiri.
Makna Perkawinan Sebagai Sakramen
Perkawinan sebagai sakramen merupakan tanda dan sarana keselamatan bagi manusia. Penjelasan tentang perkawinan sebagai sakramen mempunyai dua pengertian. Pertama, Pengertian Sakramen secara Teologis dan kedua, Pengertian Sakramen secaraTeknis-Yuridis.[2]