Mohon tunggu...
Yohanes FDR Lagadoni
Yohanes FDR Lagadoni Mohon Tunggu... Mahasiswa - AM✒️ - Yohanes Filioenis de Res Lagadoni (Jo Filio), lahir di Samarinda, 30 Juli 1999. Giat menulis Puisi, opini dan artikel di beberapa media. Sekarang sedang menjalani masa pendidikan S1 Filsafat di salah satu Sekolah Tinggi yang ada di Jawa Timur.

Mengejar Langit Yang Tak Kunjung Amin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengisi Minyak pada Pelita: Memaknai Pawang Hujan dan MotoGP Mandalika

25 Maret 2022   01:22 Diperbarui: 25 Maret 2022   01:35 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai macam jenis berita dan juga opini yang berkaitan erat dengan peristiwa tersebut, tersedia dengan sangat mudah serta dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja di media sosial. 

Salah satu topik hangat dan menarik adalah topik tentang Pawang Hujan pada MotoGP. Keberadaan pawang hujan dalam kegiatan bergengsi seantero itu nyatanya mengundang banyak perhatian publik. Tak sedikit manusia-manusia Indonesia merespon ritual tersebut sebagai sesuatu yang "kuno" dan memalukan.

Memandang aktivitas pawang hujan sebagai sesuatu yang memalukan adalah gambaran dari pelita dengan kuantitas minyak yang sedikit. Suatu gambaran yang menunjukkan bahwa manusia belum mampu menggunakan matanya sebagai pelita yang sungguh-sungguh membawa cahaya cinta dan bukan derita. 

Aktivitas yang dilakukan oleh pawang hujan merupakan bagian dari kearifan lokal suatu budaya. Ini adalah kekayaan tradisi dan budaya yang sudah melekat erat dalam diri manusia Indonesia. Bersamanya memuat kesatuan, dan menjadi bagian integral yang tak bisa dilepas begitu saja dari manusia Indonesia. 

Maka ketika aktivitas pawang hujan dikatakan sebagai sesuatu yang memalukan, maka secara tidak langsung kita menampar diri kita sendiri; kita mengatakan bahwa diri kita juga memalukan; kita menolak keberadaan diri kita sendiri sebagai makhluk hidup yang berbudaya. Kita malu pada diri kita sendiri. 

Nah, kita mesti mengubah cara pandang kita; kita mesti mengisi lebih banyak pelita kita dengan minyak agar benderangnya kian terang, sehingga kita tidak tersesat pada jalan yang gelap. Apa yang dilakukan oleh Si Pawang Hujan pada waktu itu sejatinya merupakan sesuatu yang patut untuk diapresiasi. 

Ritual yang pawang hujan lakukan secara tidak langsung memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki ragam dan budaya dan kearifan lokal yang unik. Bahwa sebagai sebuah kearifan lokal, aktivitas pawang hujan bukanlah sesuatu yang rendah, tidak bernilai dan mistis. 

Aktivitas atau ritual pawang hujan mesti dianggap sebagai suatu kekayaan yang patut dibanggakan dan dilestarikan, bukan sebagi benalu yang dianggap memalukan.  
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun