Mohon tunggu...
Yohanes FDR Lagadoni
Yohanes FDR Lagadoni Mohon Tunggu... Mahasiswa - AM✒️ - Yohanes Filioenis de Res Lagadoni (Jo Filio), lahir di Samarinda, 30 Juli 1999. Giat menulis Puisi, opini dan artikel di beberapa media. Sekarang sedang menjalani masa pendidikan S1 Filsafat di salah satu Sekolah Tinggi yang ada di Jawa Timur.

Mengejar Langit Yang Tak Kunjung Amin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengisi Minyak pada Pelita: Memaknai Pawang Hujan dan MotoGP Mandalika

25 Maret 2022   01:22 Diperbarui: 25 Maret 2022   01:35 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mata sebagai pelita
Dalam salah satu ajaran iman Kristiani yang termuat di dalam Injil Matius, sering kita jumpai suatu kalimat yang berbunyi: "Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu." (bdk Matius 6:22-23).

Kalimat tersebut merupakan kalimat yang sarat akan makna. Keberadaan mata sebagai bagian dari anggota tubuh manusia, nyatanya memberi pengaruh yang teramat sangat bagi manusia sendiri. Bagaimana tidak? Tindakan, keputusan, ucapan, tingkah laku, dan perbuatan yang manusia tampilkan maupun sembunyikan, merupakan sesuatu yang bersumber dari apa yang manusia lihat; dari mata yang manusia gunakan.

Mata sebagai pelita memberi suatu pengertian bahwa mata menjadi penggerak utama yang menggerakan anggota tubuh lain manusia untuk bergerak. Mata mempunyai fungsi yang teramat urgent bagi seluruh anggota tubuh yang lain. Karena melalui mata, seluruh anggota tubuh dapat mengetahui tugas apa yang harus ia lakukan. Contoh saja kaki. 

Dengan bantuan mata, tubuh manusia bisa menghindari batu besar yang sedang menghalangi jalannya. Ketika mata menjalankan fungisnya (melihat keadaan di sekitar), kaki akan menggerakkan tubuh untuk berpindah ke tempat yang lain agar tubuh tidak mengalami benturan dengan batu besar tersebut. 

Lebih dari itu. Filsuf asal Perancis Jean Paul Sartre juga dengan sangat baik "melukiskan" arti dari sebuah tatapan mata. Baginya tatapan mata memiliki simbol keberanian yang bersifat menantang atau melawan, mempermalukan, mengekang, dan menjajah. 

Dengan kata lain, mata memampukan seseorang untuk menguasai serentak dikuasai. Di satu sisi mata bisa  menjadi penguasa atas segala sesuatu yang dijumpainya dan bisa menjadi tak berkuasa di satu sisi. Mata menjadi pengendara atas tubuhnya dan menentukan bagaimana cara tubuh harus bertindak.

Lalu sebagai sebuah pelita, kualitas dari bagaimana ia memberi terang sangat ditentukan dari seberapa besar kuantitas minyak yang ada pada pelita. Semakin banyak minyak yang ada, semakin baguslah kualitas cahaya yang dihasilkan oleh pelita tersebut. Sebaliknya semakin sedikit kuantitas minyak yang dimiliki pelita, maka semakin minim pulalah kualitas cahaya yang dihasilkan oleh pelita. Kuantitas mempengaruhi kualitas.

Maka dari itu penting bagi manusia untuk meningkatkan kualitas pelitanya; meningkatkan cara pandangnya. Yakni dengan cara meningkatkan kuantitas minyaknya. Cara pandang yang sempit dan tidak terbuka luas, hanya akan membawa manusia pada pengetahuan yang gelap; sesat dan tak tahu arah. Kesesatannya itu akan membuat orang lain dan dirinya sendiri berada pada ketidakpastian yang membinasakan. 

Sedangkan orang yang dengan cara pandang yang luas (memiliki kuantitas minyak yang memumpuni) akan menuntun dia dan juga orang lain pada jalan yang benar. Ia akan mencapai kesempurnaan hidup, sebab berkat matanya yang adalah pelita yang telah bersinar dengan sangat terang akibat cukupnya persediaan minyak, membantunya menemukan jalan yang benar dan menghindarkannya dari kesesatan melihat jalan akibat kegelapan yang teramat sangat.


"Melihat" MotoGP dan Pawang Hujan

Dalam beberapa hari terakhir topik berita mengenai perhelatan MotoGP di Mandalika pada Minggu, 20 Maret 2022 yang lalu, menjadi suatu topik yang hangat diperbincangkan banyak orang, terkhususnya oleh warga masyarakat Indonesia. 

Berbagai macam jenis berita dan juga opini yang berkaitan erat dengan peristiwa tersebut, tersedia dengan sangat mudah serta dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja di media sosial. 

Salah satu topik hangat dan menarik adalah topik tentang Pawang Hujan pada MotoGP. Keberadaan pawang hujan dalam kegiatan bergengsi seantero itu nyatanya mengundang banyak perhatian publik. Tak sedikit manusia-manusia Indonesia merespon ritual tersebut sebagai sesuatu yang "kuno" dan memalukan.

Memandang aktivitas pawang hujan sebagai sesuatu yang memalukan adalah gambaran dari pelita dengan kuantitas minyak yang sedikit. Suatu gambaran yang menunjukkan bahwa manusia belum mampu menggunakan matanya sebagai pelita yang sungguh-sungguh membawa cahaya cinta dan bukan derita. 

Aktivitas yang dilakukan oleh pawang hujan merupakan bagian dari kearifan lokal suatu budaya. Ini adalah kekayaan tradisi dan budaya yang sudah melekat erat dalam diri manusia Indonesia. Bersamanya memuat kesatuan, dan menjadi bagian integral yang tak bisa dilepas begitu saja dari manusia Indonesia. 

Maka ketika aktivitas pawang hujan dikatakan sebagai sesuatu yang memalukan, maka secara tidak langsung kita menampar diri kita sendiri; kita mengatakan bahwa diri kita juga memalukan; kita menolak keberadaan diri kita sendiri sebagai makhluk hidup yang berbudaya. Kita malu pada diri kita sendiri. 

Nah, kita mesti mengubah cara pandang kita; kita mesti mengisi lebih banyak pelita kita dengan minyak agar benderangnya kian terang, sehingga kita tidak tersesat pada jalan yang gelap. Apa yang dilakukan oleh Si Pawang Hujan pada waktu itu sejatinya merupakan sesuatu yang patut untuk diapresiasi. 

Ritual yang pawang hujan lakukan secara tidak langsung memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki ragam dan budaya dan kearifan lokal yang unik. Bahwa sebagai sebuah kearifan lokal, aktivitas pawang hujan bukanlah sesuatu yang rendah, tidak bernilai dan mistis. 

Aktivitas atau ritual pawang hujan mesti dianggap sebagai suatu kekayaan yang patut dibanggakan dan dilestarikan, bukan sebagi benalu yang dianggap memalukan.  
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun