Betapa sulitnya memulai menulis. Selalu ada kekhawatiran yang muncul di benak, susah amat, ya, untuk mendapatkan ide, menyusunnya menjadi kalimat yang runtut, terjalin dalam satu kesatuan paragraf, sehati, kata pakar bahasa biar menjadi paragraf yang homogen alias 'nyambung'.
Boro-boro menyusun ide menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, paragraf menjadi satu karangan. Untuk mendapatkan ide tulisan saja, harus saya akui kok amat sulit, ya. Mau menulis apa, ya? Padahal saya baru saja membeli domain blogger di Google selama setahun seharga Rp165.000-an. Ibarat orang bertani, sawahnya sudah tersedia, siap ditanami bibit ide tulisan. Lah, bibit tulisannya mana?
Saya jadi ingat tantangan guru bahasa Indonesia saya manakala saya masih menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Pangudi Luhur Sedayu Bantul Yogyakarta sekitar tahun 1985-an.Â
Beliau  getol menantang saya untuk ayo menulis, menulis, dan menulis. Zaman itu tulisan beliau banyak bersliweran di Mingguan Hidup yang diterbitkan oleh Komsos Keuskupan Agung Jakarta.Â
Selalu saja ada alasan yang 'menolongku' untuk berkilah, ah...tunggu aku punya mesin ketik dulu. Eh, pas sudah bisa kredit mesin ketik dobel folio merek Olivetti Linea 98 (mewah lho zaman itu) jika beli cash Rp75.000,00, kok ya belum  segera menelorkan satu tulisan pun. Niat menulis ternyata belum tergugah juga.Â
Ah, mesin ketik manual lumayan merepotkan untuk menuangkan ide. Jika salah ketik tidak bisa diedit, kecuali ditip-ex dengan cairan tip-ex. Sedikit lebih mudah jika dengan mesin ketik elektrik. Jika ada salah ketik, tinggal ditimpa dengan pita tip-ex. Bentuk pitanya putih, arahkan tuts mesin ketik ke huruf yang salah ketik.Â
Lalu diketik ulang sesuai huruf yang mau dikoreksi. Hilang sudah huruf tersebut. Tinggal ketik lagi huruf yang benar. Tapi mana tulisan yang ditunggu-tunggu itu? Kok tidak nongol satu tulisan pun? Ah, tunggu nanti kalau sudah punya komputer atau laptop.Â
Menuangkan ide tulisan dengan komputer atau laptop pasti jadi lebih mudah. Kalau terjadi salah ketik, tinggal diedit. Asyik. Eh, tapi mana tulisan yang ditunggu-tunggu itu?
Giliran saat sudah menjalani tugas menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dari tahun 2003 hingga sekarang, bisa dihitung dengan jari tangan saya, berapa tulisan saya yang layak dibaca. Tidak sampai sesuai jumlah jari jemari tangan saya.Â
Yang saya ingat, cuma ada dua tulisan yang layak dibaca, yaitu skripsi saya tahun 2002 sebagai syarat untuk meraih gelar S.Pd Bahasa Indonesia dan thesis  saya tahun 2019 lalu sebagai syarat untuk menyandang gelar M.Pd Bahasa Indonesia. Ha...ha...ha...kebangetan, ya.Â
Betapa keringnya saya dalam menulis. Padahal saya sejak tahun 2003 hingga sekarang tak jemu-jemunya mendorong-dorong murid-murid saya untuk menulis (cerpen).
Saya jadi ingat, ketika saya dipercaya menjadi guru bahasa Indonesia di suatu SMP di bilangan Lippo Karawaci, di kelas delapan ada materi pelajaran cerpen. Bagaimana cara saya 'meracuni' mereka anak-anak seputaran Lippo Karawaci agar mampu menulis cerpen?Â
Setelah sesi teori yang sebagian besar ilmunya saya adaptasi dari buku Creative Writing yang ditulis oleh Naning Pranoto, di mana di buku tersebut disajikan aneka jurus jitu menulis cerpen, antara lain meliputi: pemahaman 7 (tujuh) unsur cerita pendek; metode penulisan (banyak yang belum tahu penting dan artinya paragraf, serta penerapannya); eksplorasi imajinasi secara optimal, agar tidak meniru cerita yang sudah ada; penciptaan Judul; pengkayaan kosa kata (modal untuk menulis narasi, pelukisan); membangun konflik dan solusinya; proses menulis: plotting, writing and editing), semua muridku saya giring ke laboratorium komputer.Â
Setiap anak saya minta untuk 'menghadap' komputer yang kala itu tahun 2005-an masih menggunakan floppy disk untuk menyimpan filenya. Saya minta mereka mulai mengetik menuangkan ide menulis cerpen.Â
Tampak banyak anak yang hanya terdiam dengan muka berkecamuk, karena tidak kunjung menemukan sebaris kalimat atau dialog sebagai modal awal menulis. Memang benar, tidak mudah untuk memulai menulis, menuangkan ide cerita.Â
Beberapa anak saya pancing dengan pertanyaan, "Guys, kau mau cerita tentang apa, siapa tokoh rekaanmu di bakal calon cerita pendekmu. Sudah, kau mulai saja mengetik apa saja yang ada di kepala kamu.Â
Siswa saya malah ketawa, "Pak...di kepalaku cuma ada rasa bingung, gusar, apalagi teman-teman sebelahku sudah terdengar berisik dengan bunyi tuts keyboad komputer karena jemari-jemarinya telah "menari-nari' di atasnya dalam menuangkan ide."
Singkat cerita, setelah beberapa pertemuan, dengan tidak jemu-jemunya saya berkeliling ke masing-masing anak yang sedang mengetik cerpen mereka, akhirnya lahirlah antologi cerpen karya siswa klas 8.Â
Jangan bayangan mutu cerpen mereka, namun yang patut disyukuri, mereka telah memulai ( jadi ingat tagline t...pedia: mulai aja dulu). Sebagai guru, saya bangga pada pencapaian mereka. Sesuatu yang tidak pernah bisa saya lakukan. Tidak adil saya, ya. Bisa menyuruh-nyuruh menulis, tapi memberi contoh (tulisan) tidak pernah bisa. Hahaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H