Pekerjaan, keluarga dan kesehatan adalah hal-hal yang diburu oleh setiap orang. Bahkan, bagi mereka generasi milenial, selalu terus berpindah mencari pekerjaan yang ideal baginya, demikian pula dalam hal pasangan hidup, semua orang mencari yang terbaik. Banyak pula yang menjaga kesehatan dengan pola makan yang baik dan olahraga, salah satunya adalah Benedictus Widi Handoyo.
Widi, demikian nama sapaannya, mengaku memiliki hidup yang menyenangkan dengan pekerjaan yang ia jalani sebagai Network Engineerdi Jakarta 5 tahun lalu. "Hobiku itu di bidang IT (teknologi informasi) dan bekerja di IT membuat aku senang dan nyaman," kata Widi. Ia merasa memiliki hidup yang sewajarnya dan penuh kegembiraan.
Kenyamanan hidup Widi tiba-tiba terusik karena ia sempat sakit pada Juli 2012, dan memutuskan kembali ke Yogyakarta karena kondisi kesehatan yang semakin drop,"Tanggal 20 Agustus 2012 aku dilarikan ke IGD RS Panti Rapih, dokter memvonis aku mengalami gagal ginjal stadium 5, cuci darah langsung seminggu dua kali." Terang Widi sambil menghela nafas mengenang kejadian itu.
Pria kelahiran 11 Juli 1986 ini menggugat Tuhan, "Mana mungkin aku sakit ginjal? Aku tidak pernah minum alkohol, banyak minum air putih, tidak diabetes, tidak darah tinggi, hidupku sehat. Aku juga rajin pelayanan dan misa harian di gereja." Widi mengaku marah pada Tuhan yang ia anggap menghancurkan segala rencananya untuk memiliki rumah di Yogyakarta, bertunangan dan mempersiapkan pernikahan. Kekecewaan juga muncul karena ia merasa sudah rajin berdoa, perayaan ekaristi dan pelayanan di gereja.
"Perasaanku runtuh, aku sudah pacaran 5 tahun dan akan bertunangan September, Agustus aku divonis gagal ginjal. Bosku juga mengatakan untuk istirahat dulu sampai sembuh dan tidak cuci darah lagi, habis sudah hidupku," kenang Widi. Ia berpikir keras bagaimana caranya agar dapat sembuh dan tidak cuci darah lagi, sehingga ia dapat melanjutkan hidup seperti sebelumnya. Namun nasib mengatakan lain, "Ternyata cuci darah itu selamanya, selama aku ingin hidup, atau sampai melakukan cangkok ginjal, itu pun tidak menjamin akan cocok dan sembuh." Ungkap Widi.
Cobaan yang ia alami ini membuatnya mempertanyakan eksistensi Tuhan, "Ah, mana ada Tuhan. Aku sudah berusaha berobat, Tuhan pasti kasih kesembuhan, ternyata tidak," keluh Widi. Sakit fisiknya itu ditambah rapuhnya perasaan ketika setelah dua bulan tak ada lagi teman yang menengok, ia mengalami kesepian dan kerapuhan batin yang dalam. "Parahnya, tunanganku itu memutuskan hubungan karena dilarang oleh orang tuanya. Aku sudah kehilangan ginjal, kehilangan pekerjaan, sekarang kehilangan pasangan." Katanya.
Ia pun tidak lagi pernah berdoa dan merayakan ekaristi, hingga seorang teman dari agama Budha datang dan mengajaknya latihan meditasi, "Makin lama kok nyaman, aku diajak ikut kegiatan-kegiatan amal yang kemudian membuat aku semangat lagi," cerita Widi. Kakak dari Theodora Widi Prihantari Rahayu ini semakin tertarik pada ajaran Budha dan mulai mencari informasi dengan membaca buku dan beinteraksi dengan pemeluk agama Budha, hingga ia merasa semakin nyaman dan mengambil keputusan penting dalam hidupnya, "Menjelang Waisak tahun 2013, aku minta seorang Bante untuk menahbiskan aku sebagai penganut agama Budha," ungkap Widi. Namun, menurut pengakuan pemilik CV. Gracia Cipta Teknologi ini, Bante tersebut mengatakan, "Kalau kamu ingin ditahbiskan menjadi penganut ajaran Budha, pulanglah dan pelajari Alkitab-mu dulu, setelah itu kembalilah kesini."
Perasaan Widi terasa diobrak-abrik, sebab ia telah nyaman dan yakin akan keputusannya itu  namun mendapat penolakan. "Jadi bingung, mau ke Budha tidak enak hati, mau kembali ke Katolik juga tidak enak karena sudah lama tidak aktif dalam perayaan ekaristi," jelasnya. Namun, lulusan Universitas Gadjah Mada ini memilih anjuran Bante, "Aku memaksa diri rutin misa harian supaya bisa baca Alkitab dengan rutin, tapi hanya duduk saja, tidak ambil bagian dalam ekaristi dan tidak sambut komuni. Pokoknya tujuanku untuk belajar Alkitab lalu kembali lagi ke Bante." Tegas Widi.
Walaupun maksud Widi mengikuti misa harian untuk memenuhi syarat nenjadi penganut agama Budha, ia justru mengalami kerinduan pada masa kecil saat ikut sekolah minggu, misdinar, pelajaran komuni dan menjadi lektor. Ia juga mengalami sentuhan Tuhan dalam kebimbangan hatinya, "Meski aku tidak ambil bagian saat misa, aku selalu tersentuh ketika doa Bapa Kami pada kata 'Jadilah kehendak-Mu seperti di dalam surga,' dan pasti menangis," kata Widi.
Anak pertama dari Maria Caecilia Sri Handayani ini merasa bersalah telah meninggalkan Gereja, ia pun mengaku dosa dan kembali mengimani sebagai Katolik. Perlahan-lahan ia juga menerima sakitnya, "Lalu muncul rasa empati, Tuhan Yesus waktu disalib rasanya pasti jauh lebih menderita dariku, aku masih beruntung bisa mendapat perawatan dokter dan perawat dengan peralatan yang steril. Penderitaanku tidak ada apa-apanya dengan Yesus," ungkap Widi. Semenjak mengaku dosa, Widi rutin misa Jumat Pertama di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. "Habis cuci aku dan mama langsung ke Ganjuran, ternyata yang memohon kesembuhan dari gagal ginjal itu banyak banget, dan aku merasa syukur karena tidak berjuang sendiri." Tambahnya.
Tetapi kepasrahan pada Yesus justru membuat Widi semakin menderita, di tahun 2014 sakitnya bertambah dengan infeksi yang menyebabkan kaki kirinya tak lagi bisa berjalan, puncaknya ketika ia mengalami pendarahan 3 bulan pasca operasi hingga masuk ICU dengan HB 3. "Aku sudah bilang mau ikut Yesus, kok penderitaanku bertambah. Dengan HP 3, mamaku juga sudah minta pengurapan orang sakit," tandasnya kecewa.