Mohon tunggu...
Yohanes Bara Wahyu Riyadi
Yohanes Bara Wahyu Riyadi Mohon Tunggu... Penulis -

Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan Sebagai Babu

25 Oktober 2017   15:44 Diperbarui: 25 Oktober 2017   15:57 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benedictus WIdi Handoyo bersama tunangannya, Griffin Theresia.

Pekerjaan, keluarga dan kesehatan adalah hal-hal yang diburu oleh setiap orang. Bahkan, bagi mereka generasi milenial, selalu terus berpindah mencari pekerjaan yang ideal baginya, demikian pula dalam hal pasangan hidup, semua orang mencari yang terbaik. Banyak pula yang menjaga kesehatan dengan pola makan yang baik dan olahraga, salah satunya adalah Benedictus Widi Handoyo.

Widi, demikian nama sapaannya, mengaku memiliki hidup yang menyenangkan dengan pekerjaan yang ia jalani sebagai Network Engineerdi Jakarta 5 tahun lalu. "Hobiku itu di bidang IT (teknologi informasi) dan bekerja di IT membuat aku senang dan nyaman," kata Widi. Ia merasa memiliki hidup yang sewajarnya dan penuh kegembiraan.

Kenyamanan hidup Widi tiba-tiba terusik karena ia sempat sakit pada Juli 2012, dan memutuskan kembali ke Yogyakarta karena kondisi kesehatan yang semakin drop,"Tanggal 20 Agustus 2012 aku dilarikan ke IGD RS Panti Rapih, dokter memvonis aku mengalami gagal ginjal stadium 5, cuci darah langsung seminggu dua kali." Terang Widi sambil menghela nafas mengenang kejadian itu.

Pria kelahiran 11 Juli 1986 ini menggugat Tuhan, "Mana mungkin aku sakit ginjal? Aku tidak pernah minum alkohol, banyak minum air putih, tidak diabetes, tidak darah tinggi, hidupku sehat. Aku juga rajin pelayanan dan misa harian di gereja." Widi mengaku marah pada Tuhan yang ia anggap menghancurkan segala rencananya untuk memiliki rumah di Yogyakarta, bertunangan dan mempersiapkan pernikahan. Kekecewaan juga muncul karena ia merasa sudah rajin berdoa, perayaan ekaristi dan pelayanan di gereja.

"Perasaanku runtuh, aku sudah pacaran 5 tahun dan akan bertunangan September, Agustus aku divonis gagal ginjal. Bosku juga mengatakan untuk istirahat dulu sampai sembuh dan tidak cuci darah lagi, habis sudah hidupku," kenang Widi. Ia berpikir keras bagaimana caranya agar dapat sembuh dan tidak cuci darah lagi, sehingga ia dapat melanjutkan hidup seperti sebelumnya. Namun nasib mengatakan lain, "Ternyata cuci darah itu selamanya, selama aku ingin hidup, atau sampai melakukan cangkok ginjal, itu pun tidak menjamin akan cocok dan sembuh." Ungkap Widi.

Cobaan yang ia alami ini membuatnya mempertanyakan eksistensi Tuhan, "Ah, mana ada Tuhan. Aku sudah berusaha berobat, Tuhan pasti kasih kesembuhan, ternyata tidak," keluh Widi. Sakit fisiknya itu ditambah rapuhnya perasaan ketika setelah dua bulan tak ada lagi teman yang menengok, ia mengalami kesepian dan kerapuhan batin yang dalam. "Parahnya, tunanganku itu memutuskan hubungan karena dilarang oleh orang tuanya. Aku sudah kehilangan ginjal, kehilangan pekerjaan, sekarang kehilangan pasangan." Katanya.

Ia pun tidak lagi pernah berdoa dan merayakan ekaristi, hingga seorang teman dari agama Budha datang dan mengajaknya latihan meditasi, "Makin lama kok nyaman, aku diajak ikut kegiatan-kegiatan amal yang kemudian membuat aku semangat lagi," cerita Widi. Kakak dari Theodora Widi Prihantari Rahayu ini semakin tertarik pada ajaran Budha dan mulai mencari informasi dengan membaca buku dan beinteraksi dengan pemeluk agama Budha, hingga ia merasa semakin nyaman dan mengambil keputusan penting dalam hidupnya, "Menjelang Waisak tahun 2013, aku minta seorang Bante untuk menahbiskan aku sebagai penganut agama Budha," ungkap Widi. Namun, menurut pengakuan pemilik CV. Gracia Cipta Teknologi ini, Bante tersebut mengatakan, "Kalau kamu ingin ditahbiskan menjadi penganut ajaran Budha, pulanglah dan pelajari Alkitab-mu dulu, setelah itu kembalilah kesini."

Perasaan Widi terasa diobrak-abrik, sebab ia telah nyaman dan yakin akan keputusannya itu  namun mendapat penolakan. "Jadi bingung, mau ke Budha tidak enak hati, mau kembali ke Katolik juga tidak enak karena sudah lama tidak aktif dalam perayaan ekaristi," jelasnya. Namun, lulusan Universitas Gadjah Mada ini memilih anjuran Bante, "Aku memaksa diri rutin misa harian supaya bisa baca Alkitab dengan rutin, tapi hanya duduk saja, tidak ambil bagian dalam ekaristi dan tidak sambut komuni. Pokoknya tujuanku untuk belajar Alkitab lalu kembali lagi ke Bante." Tegas Widi.

Walaupun maksud Widi mengikuti misa harian untuk memenuhi syarat nenjadi penganut agama Budha, ia justru mengalami kerinduan pada masa kecil saat ikut sekolah minggu, misdinar, pelajaran komuni dan menjadi lektor. Ia juga mengalami sentuhan Tuhan dalam kebimbangan hatinya, "Meski aku tidak ambil bagian saat misa, aku selalu tersentuh ketika doa Bapa Kami pada kata 'Jadilah kehendak-Mu seperti di dalam surga,' dan pasti menangis," kata Widi.

Anak pertama dari Maria Caecilia Sri Handayani ini merasa bersalah telah meninggalkan Gereja, ia pun mengaku dosa dan kembali mengimani sebagai Katolik. Perlahan-lahan ia juga menerima sakitnya, "Lalu muncul rasa empati, Tuhan Yesus waktu disalib rasanya pasti jauh lebih menderita dariku, aku masih beruntung bisa mendapat perawatan dokter dan perawat dengan peralatan yang steril. Penderitaanku tidak ada apa-apanya dengan Yesus," ungkap Widi. Semenjak mengaku dosa, Widi rutin misa Jumat Pertama di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. "Habis cuci aku dan mama langsung ke Ganjuran, ternyata yang memohon kesembuhan dari gagal ginjal itu banyak banget, dan aku merasa syukur karena tidak berjuang sendiri." Tambahnya.

Tetapi kepasrahan pada Yesus justru membuat Widi semakin menderita, di tahun 2014 sakitnya bertambah dengan infeksi yang menyebabkan kaki kirinya tak lagi bisa berjalan, puncaknya ketika ia mengalami pendarahan 3 bulan pasca operasi hingga masuk ICU dengan HB 3. "Aku sudah bilang mau ikut Yesus, kok penderitaanku bertambah. Dengan HP 3, mamaku juga sudah minta pengurapan orang sakit," tandasnya kecewa.

Hingga pada 2015 dalam komunitas Magis ia mendapatkan materi Sarana dan Tujuan dari seorang Jesuit. "Tujuan manusia diciptakan adalah memuliakan Tuhan, semua hal di dunia ini adalah sarana untuk memuliakan-Nya. Bagi sebagian orang, sehat adalah sarana untuk berkarya dan memuliakan Tuhan. Untukku, sakit adalah sarana untuk memuliakan Tuhan," kisah Widi. Ia menambahkan, dengan sakit ia bisa memberikan semangat bagi banyak orang sakit untuk terus  melanjutkan hidup, juga mengingatkan yang sehat untuk tetap menjaga kesehatan.

"Akhirnya setiap berdoa, aku tidak pernah lagi meminta, aku hanya mengucap syukur karena diberi hidup saja aku sudah maturnuwun. Tuhan kasih pekerjaan ya syukur, kalau tidak ya aku tidak akan ngoyo cari, demikian juga dalam hal pasangan hidup. Karena pekerjaan dan pasangan hidup memang penting, tapi hidup lebih penting," pasrah Widi. Sebab menurutnya jika kita berdoa lebih banyak untuk meminta, sama halnya menganggap Tuhan sebagai babu yang bisa diperintah seenaknya.

Tanpa itensi apapun, Widi sempat menulis kisahnya itu dalam media online dan keajaibanpun terjadi, "Ada perempuan yang baca dan mencariku, dia minta pertemanan Facebook, tanpa teman bersama dan aku gak kenal dia siapa. Dia tanya-tanya tentang cuci darah lalu aku tawarkan untuk datang melihat, dan dia datang, kami kenalan lalu sekarang kami pacaran. Ketika kita sudah pasrah 100% pada Tuhan, caranya selalu ajaib bantu kita. Demikian juga soal pekerjaan, tiba-tiba ada panggilan kerja dan memberikan kelonggaran waktu untuk cuci darah." Ceritanya.

Bagi Widi, menjadi penyintas gagal ginjal perlu dukungan banyak orang, "Mamaku selalu dukung aku, selain doanya yang sangat kuat, mama selalu memberikan kesempatan padaku untuk terus berkarya asalkan bisa jaga diri, karena perlakuan kasihan dan menganggap lemah penyintas justru membuatnya semakin sakit. Orang cacat sekalipun harus diberi kesempatan yang sama, karena mereka pasti tahu cara bertahan hidup," akunya.

Pria yang kini bekerja sebagai freelancer IT mengungkapkan, kehendak untuk tetap hidup harus datang dari diri sendiri, sebab menurutnya penyintas gagal ginjal ada yang hanya bertahan 3 bulan karena tidak menerima kenyataan dan melanggar pantang, "Kami hanya boleh minum maksimal 500 ml sehari, tidak boleh makan yang mengandung fosfat dan kalium, ya harus patuh. Jangan hanya kalau ada yang mengawasi," tutur Widi. Sebab, alat cuci darah hanya menggantikan 25% fungsi ginjal, "Ginjal sehat itu seperti auto pilot,serba otomatis. Gagal ginjal itu seperti pilot manual, semua dikendalikan oleh otak kita untuk selektif dan atur pola makan dan minum." Tambah Widi.

Widi berpesan pula untuk senantiasa bersyukur melalui hal-hal yang sederhana, "Bagi kami penderita gagal ginjal pipis itu anugerah, bagi yang tuna netra melihat itu impian, bagi yang cacat tangannya menyentuh adalah impian. Buat yang masih bisa merasakan semua itu marilah bersyukur, jangan kehilangan dulu baru bersyukur, konyol itu. Tuhan bisa ditemukan dalam segalanya, bisa menemukan Dia dari pipismu itu, bisa dari kita bisa menyentuh sesuatu." Ajaknya. Bagaiman kita bisa memahami dan menerima Tuhan yang sangat besar dan agung, kalau diri sendiri yang kecil ini saja tidak bisa kita pahami.  Kalau sudah bisa sungguh menerima diri, jadi gampang menerima yang di atas, karena Dia hadir melalui diri kita. Tutup Widi.

(Diterbitkan dalam Majalah UTUSAN April 2017)

Yohanes Bara

Pringgokusuman, 15 Maret 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun