Mangaji ka surau, bagurau ka lapau. Petikan petuah tersebut telah lama melekat di kehidupan sosial-budaya masyarakat Minangkabau. Secara dasar jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, "Mengaji ke surau, bergurau ke lepau." Paling tidak seperti itu.
 Masyarakat Minangkabau yang berada di Sumatera Barat dahulunya menjadikan surau dan lapau sebagai titik sentral pada kehidpuan bermasyarakat. Surau selain menjadi tempat beribadah bagi kaum muslim Minang, juga dijadikan sebagai tempat pembelajaran bagi kaum muda. Sesuai dengan adat Minang yang mengharuskan anak laki-laki tidur di surau. Juga sesuai dengan kontruksi bangunan rumah gudang yang tidak membuat kamar untuk anak laki-laki.
 Selain itu, surau juga dijadikan tempat kumpul yang bermusyawarah perihal kemaslahatan kaum maupun kampung. Di surau kata sepakat diambil dengan cara bermusyawarah. Sebagaimana petuah Minang yang sampai saat ini masih sering digaungkan, "Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mupakaik, nan bulek samo kito golongkan, nan picak samo kito layangkan.
 Jika alih bahasakan maka petuah tersebut berbunyi, "bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, yang bulat sama kita golongkan, yang penyek sama kita layangkan." Petuah ini memberikan pemaknaan terhadap kata sepakat didapatkan secara bermusyawarah.
 Di sisi lain, surau yang merupakan tempat ibadah, tempat bermusyawarah, tempat belajar mengaji, tempat tidur bagi anak laki-laki Minang, juga dijadikan tempat untuk belajar silat. Memang latihan bersilat di surau, namun bukan memberikan arti latihan tersebut di dalam surau. Latihan silat biasanya dilakukan di halam surau.
 Selain surau yang merupakan tempat sentral bagi masyarakat Minang dulu, ada namanya lapau. Lapau secara harfiah dapat dielaborasikan sebagai tempat yang menjual beragam kebutuhan kecil masyarakat atau tempat berbelanja selain pasar. Lapau di Minang menjadi tempat sentral bermasyarakat dikarenakan lapau tempat berkumpulnya hampir seluruh masyarakat. Masyarakat yang duduk di lapau tidak lagi memandang kelas, status, dan peranan sosial.
 Lapau dijadikan tempat bercerita. Tak heran jika adanya pemeo Ota Lapau di kalangan masyarakat. Memang secara mendasar lapau adalah satu tempat sentral berkumpulnya masyarakat. Masyarakat Minang dahulu, yang notabennya bekerja sebagai petani menjadikan lapau sebagai tempat hiburan.
 Meski lapau secara kulit luar terlihat sebagai tempat hiburan, tempat bercerita, tempat duduk-duduk masyarakat (terutama kaum bapak), bukan berarti lepau hanya menyajikan perkumpulan kosong tanpa bobot. Lapau menjadi ruang dialektika bagi masyarakat Minang. Di lapau, selain memesan minuman, juga sering adanya diskusi bahkan perdebatan. Walau diskusi dan perdebatan tersebut hanya dipandang sebagai ota lapau. Jika meminjam perkataan para akademisi, tak ubahnya seperti debat kusir.
 Meski hanya disebut ota lapau, pembicaraan yang dikandung tersebut bukan sepeti balon kosong. Jauh dari pada itu lapau dan ota lapau memberikan bobot. Baik itu bagi kaum bapak, pemuda, ataupun kaum ibu.
 Perbincangan di lapau sering membawa bobot atau isu-isu yang cukup penting. Seperti sosial, pemerintahan, politik, budaya, olahraga, bahkan persoalan agama. Sebenarnya, juga tidak jarang membahas kesuksesan orang-orang di rantau, atau orang kampung yang tak beradat. Maksudnya, orang kampung yang tidak peka terhadap kehidupan bermasyarakat. Tidak menerapkan kata yang empat.
 Juga tidak jarang berdebatan timbul di lapau. Lapau memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berbicara. Lapau tidak memandang apakah si bapak ini golongan sumando atau mamak rumah. Semua itu secara tak tertulis lepas ketika berada di lapau. Perdebatan/pembicaraan di lapau bisa dikaitkan sebagai pembelajaran berbicara. Pembelajaran mempertahakan argumen, dan yang tak kalah penting belajar mendengarkan pendapat orang lain.
 Jika kembali meminjam perkataan para akademisi, hal semacam itu bisa disebut sebagai ruang dialektika. Para masyarakat yang ada di lapau harus bertima dengan lapang dada apabila pendapat yang diberikan tidak diterima bagi beberapa orang. Juga apabila timbul olok-olok bukan berarti masyarakatyang tengah berada di lapau harus berkecil hati atau memendam dendam di hati. Karena kembali kepada pemeo masyarakat Minang bahwa semua itu hanya ota lapau. Habis ketika keluar dari lapau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H