Seorang sahabat mengungkapkan perasaannya saat menyaksikan anggota keluarganya di ruangan isolasi karena positip terpapar virus Corona.
"Kami berada dalam suasana cemas, gelisa dan penuh  haru. Perjumpaan kami  kala  itu bagaikan di ambang batas  kehidupan".
Pandemi virus  Corona (Covid-19) menjadi bencana dunia yang paling  besar abad ini. Nyawa ribuan penduduk dunia telah direnggutnya dan meninggalkan rasa cemas dan gelisa bagi manusia yang lain. Kegelisahan  karena  takut terpapar virus menjadikan manusia bagaikan berada diambang garis batas kehidupan  dan sedang menghitung  detik-detik kematiannya.
Lock down adalah  sebuah langkah yang dianggab strategis  untuk memutuskan mata rantai penyebaran  virus. Namun apa yang terjadi  setelah keputusan untuk lock down? Sebuah ancaman baru terhadap kehidupan manusia. Jutaan masyarakat dunia mengeluh  karena kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Roda pembangunan di setiap  sector menjadi lumpuh  dan industry penyedia kebutuhan pokok pun mandek. Perekonomi masyarakat merosot drastis.  Â
CORONA telah melahirkan sejumlah  'anak kembar' persoalan yang sungguh menggoncangkan dunia. Corona telah menjadi sebuah senjata pembunuh berdarah dingin  yang paling  sadis dan tragis abad ini.
Sampai detik ini BNPB masih mencatat data  pekembangan pasien  yang terpapar virus cenderung naik. Entah sampai kapan virus ini  akan berakhir dan kegelisahan ini  akan  berangsur pulih? Â
Sebuah pertanyaan yang masih sulit dicari jawabannya dengan berbagai spekulasi  dan  rekayasa hipotesa ilmiah.
Di tengah  rasa cemas ini, pemerintah telah mengambil  sebuah kebijakan untuk  membuka kembali  akses ke ruang  public (pemberlakuan New Normal). Para pemimpin tentu mempunyai pertimbangan yang matang dan akurat  dengan berbagai kendala dan konsekwensi yang akan dihadapi.
Dan disinyalir  bahwa public merasa  legah untuk  menyambut  new normal dengan penuh suka cita, seolah-olah telah bebas  dari  belenggu yang memasungnya.
Namun  perluh di ingat  bahwa pemberlakuan  new normal  membuka dua alternatip kemungkinan terhadap ancaman  pandemic covid-19. Di satu sisi semakin  meningkatnya  jumlah korban yang terpapar virus dan di pihak lain menurunnya jumlah korban karena kesadaran manusia untuk menjalankan  kebijakan protocol kesehatan.Â
Tidak terlepas dari semua latar belakang  dan  motivasi menyambut new normal saya hanya  ingin mencatat beberapa hal yang patut diapresiasi dan juga menjadi evaluasi  di balik 'krisis' Covid-19 dan Lock down.
Transformasi Iman  dan KepercayaanÂ
Bencana  Covid  dan  berbagai dampak ikutannya telah mempresentasikan pribadi  manusia  yang  serba terbatas dan tak berdaya. Di tengah situasi yang demikian, manusia  mengharapkan sebuah kekuatan lain di luar dirinya untuk segera memulihkan kembali  atau membawah-nya  keluar dari situasi krisis / kemelut yang ada.
Kesadaran itu serentak membangkitkan rasa  percaya  dan kebergantungan manusia kepada  sebuah wujud yang transendental  yang  melampaui daya  nalar dan logikanya. Bahwa ditengah krisis, manusia'mengalami' dan merasakan sebuah situasi yang mengharukan dan  membangkitkan rasa kagum  yang tak dapat  dijelaskan. Sebuah  pengalaman yang  'fasis' dari yang 'nominous' (meminjam istilah  Rudolf Otto- Jerman 1869-1937).Â
Solidaritas Dan  Keadilan Tanpa  sekatÂ
Ada banyak kisah dan ceritra  dibalik bencana Corona (COVID-19)  yang menyambangi  kita  dan mengisi  ruang media sosial dan  elektronik kala itu. Dari  kisah-kisah heroic para medis  dan relawan yang  kehilangan nyawa, sampai dengan  seruan moral  para ilmuwan dan paktisi kesehatan. Mereka  telah  menyumbangkan jasa-jasanya  dengan  memberikan sejumlah petunjuk praktis (protap) sebagai tindakan antisipatip pencegahan terhadap pemaparan virus.Â
Di sisi lain ada  sejumlah bantuan yang disalurkan  ke tengah  masyarakat  baik oleh Negara atau pun  kelompok-kelompok  paguyuban lainya. Berbagai  aksi  dan realitas  social  yang ada  menjadi  sebuah  rujukan bahwa  betapa  manusia  bersolider dan  kesetiakawanannya diuji sebagai  makhluk  social. Semuanya bekerja dalam satu semangat  dan motivasi  hanya  untuk  menyelamatkan   manusia  dari  ancaman kematian. Sebuah  solidaritas  transcendental yang  lahir  melampaui  nalar  dan logika normative.
Dibalik  ceritra dan kisah--kisah  'heroik'  ini,  terpapar  pula ceritra  miris  yang  'mencedarai'  nilai  solidaritas  dan rasa  keadilan  di tengah komunitas hidup bersama. Ada keluhan dan klaim sekelompok warga yang tidak mendapatkan  bantuan.  Ada  penyimpangan-penyimpangan yang mengundang rasa  tidak puas dari sejumlah warga. Dan berbagai  kasus lain  yang  mencederai semangat solidaritas dan rasa keadilan di tengah komunitas masyarakat. Sungguh  sangat  naf  jika  di tengah situasi  'ketak-berdayaan'  kita masih  menemukan  tindakan-tindakan yang menyimpang  dari  rasa keadilan.
Kebijakan Versus  NormatifÂ
Pemerintah  Indonesia  menempuh  beberapa langkah  bijak  diluar  standar normative untuk menanggulangi  krisis  ekonomi masyarakat saat ini. Mulai  dengan  menggelontorkan  dana  BANSOS,  Penggunaan Dana  Desa  untuk BLT bagi  para penduduk, larangan /toleransi  penagihan berbagai kredit,  toleransi  untuk pembayaran  rekening PLN dll- ( tentu melalui sebuah  mekanisme dan tata aturan tertentu).
Namun masih  saja terdengar  suara sumbang dari sekelompok masyarakat  yang  menganggapnya sebagai  sebuah 'penyimpangan'. Mungkin saja  benar sura-suara  sumbang yang 'mengclaim'  kebijakan  para pemangku  kepentingan pada  tataran  tertentu. Bahwa ada  sinyal yang berhembus  (mungkin saja) ada oknum  mengemas bantuan  dalam   sebuah  safari politik  demi kekuasaan.
Pembaharuan Pola HidupÂ
Bencana  di satu  sisi  melahirkan  krisis bagi manusia,  namun  serentak pula mengkondisikan manusia  tentang cara berpikir dengan paradigma baru  dalam menentukan sikap untuk menjalankan kehidupannya.  Â
Kita  mencatat  beberapa  sikap dan pola hidup  baru ditengah masyarakat untuk  menghadapi  pandemic  Covid-19; seperti  Penggunaan masker, sering  mencuci tangan,  penyediaan tempat/wadah air  untuk mencuci tangan  dirumah-rumah pribadi  dan di tempat-tempat  pelayanan  umum, menjadi  sebuah  pemandangan  yang cukup menarik dan interes.  Sebuah contoh kewajiban dan tanggung jawab moral komunitas hidup bersama yang harus  ditaati.  Â
Ketika melihat dan memperhatikan perilaku masyarakat saat ini,  saya  lantas berpikir tentang sebuah kebudayaan klasik  Yudaisme  di Timur Tengah masa lalu. Kaum Yudais menjalankan praktek mencuci tangan, menggunakan cadar (masker) sebagai tuntutan keagamaan  dalam konsep haram  dan najis. Namun di sisi lain sebuah ajaran/seruan  moral tentang  pola  hidup  yang bersih dan sehat, dari  konteks lokal padang gurun.
Saat  ini  kebijakan tentang  lock down  telah  beralih  kepada new normal. Dalam  arti tertentu kita  kembali menjalankan  aktivitas  keseharian hidup  sebagaimana  biasa, kendati  masih dalam 'ancaman' virus corona. Maka sebuah  pertanyaan mesti dijawab  bersama bahwa, "Apakah  kita mampuh menjadikan peristiwa ini menjadi  peluang di tengah tantangan  untuk  saling  berbenah hidup dari  nilai-nilai  yang ada?"
Kiranya pengalaman-pengalaman di tengah lock down dapat menginspirasi kita  dalam  perjuangan melawan krisis  yang  masih saja  berlanjut untuk  membela kehidupan  demi bonum commune.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H